Oleh DR. AJID THOHIR,
MA
Pada bab ini peneliti
ingin menunjukkan, bahwa secara akademik KMSA telah mengundang banyak
perdebatan yang hingga kini masih menyisakan dan melahirkan sikap yang pro dan
kontra. Bahkan kajian-kajian terdahulu untuk menjawab keberadaan KMSA secara
konseptual dan empirical serta posisi akademiknya dalam historiografi Islam,
belum tergarap secara tuntas dan sepenuhnya masih memunculkan banyak tanda
tanya. Mereka para pengkaji, pada umumnya masih membahas dan berkutat pada
sekitar aspek-aspek luarnya saja. Meskipun ada juga yang sudah mengkaji KMSA
dari aspek isi materinya, namun baru sebatas dalam perspektif fiqih saja,
sehingga dalam realitasnya telah terjadi pengadilan dan penghukuman terhadap
fenomena karya ini. Oleh karenanya peneliti perlu mengapresiasi dan melihatnya
secara objektif, yang selanjutnya untuk memposisikannya secara akademik dalam
historiografi Islam.
A. Ketokohan Syekh ‘Abd al-Qâdir al-Jîlâniy Dalam Sejarah Islam
Seorang penulis Khawaja Jamil Ahmad[1], telah menempatkan
al-Jilany dalam urutan pertama sebagai tokoh sufi. Dalam buku ini tokoh-tokoh
muslim dibagi berdasarkan profesi dan perannya dalam pengembangan kehidupan
dunia Islam; baik sebagai tokoh pemimpin, tokoh wanita, tokoh guru, ahli hukum,
tokoh sufi dan orang-orang sholeh, tokoh pemikir dan ilmuan, tokoh penyair dan
penulis, tokoh seniman, tokoh pembaru, negarawan, penakluk, jenderal, sejarawan
dan sebagainya. Lebih tegas ia menyatakan tentang keberadaan Syekh ‘Abd
al-Qâdir al-Jîlâniy dan peranannya dalam sejarah ia nyatakan:
“Abdul Qodir al-Jilany menetap di
Baghdad, dan memanfaatkan sisa hidupnya mengabdi Islam dan kemanusiaan. Ia
dianugerahi lidah lancar sebagai orator. Ceramahnya yang kaya akan pendidikan
duniawi dan kerohanian menarik banyak pengunjung, hingga mencapai 70 ribu
sampai 80 ribu setiap kali ia berceramah. Hadir para pemuka khalifah Abbasiyah,
sang khalif sendiri serta para muallaf yang telah memeluk Islam… ‘Abd al-Qâdir
al-Jîlâniy mengambil jalan tengah spiritualisme ekstrem Mansur al-Hallaj dan
rasionalisme Muktazilah. Dalam dirinya syari’at dan thariqat diwujudkan secara
sempurna. Pribadinya menunjukkan keseimbangan antara kedua hal itu. Sebab itu
pula ia dijuluki “muhyiddin”
pembangkit agama. Ia seorang penganut fiqh madzhab Imam Ahmad bin Hambal…
hidupnya sederhana, shaleh dan teratur. Hari-harinya dimanfaatkan untuk
berkhutbah sedang malam harinya ia berdoa dan bermeditasi. Ia merupakan contoh
kesederhanaan, tidak mementingkan diri sendiri dan hidup dengan penuh
kejujuran…”[2]
C.A.Qadir, memberi gambaran tentang arti
sufisme sebagai bagian dari di antara paradigma sains dalam Islam[3]. Ia menilai sufisme
sebagai sumber inspirasi pengetahuan hakiki dalam dunia Islam, yang berangkat
dari dalam diri manusia yang bersumber langsung dari Ilahy. Praktek-praktek
sufi dalam pengembangan diri manusia, terbukti bisa memperjelas pemetaan dalam
menemukan objektifitas antara subjek dan subjek yang sebenarnya. Ia menempatkan
al-Jilany sebagai model sufi yang bisa memberikan kontribusi bagi paradigme
keilmuan psikologi Islam. Lebih jelas ia menyatakan:
“Al-Jilany melukiskan empat tahap
perkembangan rohani manusia. Yang pertama mentaati hukum syari’at dan percaya
sepenuhnya pada Allah. Kedua wilayah kesucian, yakni mereka yang memenuhi
kebutuhan fisiologis hanya sekedarnya, menjauhi kenyamanan dan kemewahan serta
mendengarkan suara bathinnya. Ketiga pasrah hanya menyerahkan diri sepenuhnya
pada Allah SWT. Keempat fana, yakni peleburan diri dengan Tuhannya setelahnya
ia ma’rifah kepada-Nya…seperti al-Ghazaly, al-Jilany-pun menafsirkan nash-nash al-Qur’an dengan bahasa
mistik, dengan demikian ia telah memberi arti yang lebih luas dan dalam pada
kata-kata yang terkandung dalam Kitab Suci itu. Sekalipun ia memberikan
makna-makna baru dalam ritual dan ajaran Islam, ia tidak pernah menyimpang dari
jalan Islam yang resmi”[4]
Bagi
orientalis semacam AJ.Arberry menilai ketokohan Syekh Abdul Qodil al-Jilany dan
keberhasilan tarekatnya dalam panggung sejarah Islam menyatakan sebagai berikut[5]:
“Pada abad
ke 6 H./12 M., muncullah cikal-bakal orde-orde tarikat sufi kenamaan. Hingga
dewasa ini, pondok-pondok tersebut merupakan oasis-oasis di tengah-tengah gurun
pasir dan belantara kehidupan duniawi…mereka berjalin dalam suatu kekerabatan
para sufi yang tersebar luas yang mengakui seorang guru biasa dan menerapkan
disiplin dan ritus yang lazim. Yang pertama di antara tarekat-tarekat ini
adalah ciptaan Muhyiddin Abdul Qodir bin Abdullah al-Jilly. Ia dilahirkan pada
tahun 471 H/ 1078 M di Jilan, Persia. Pada usia 17 tahun ia pergi ke Baghdad
untuk studi keagamaan, khususnya dalam madzhab Hambaly. Setelah memasuki
masa-masa kehidupan shalihnya, ia memiliki berbagai keajaiban (karamat).
Tertarik oleh riwayat-riwayat tentang berbagai kejaibannya yang konon sering ia
tampilkan, orang datang berduyun-duyun ingin mendengarkan wejangan dan
khutbah-khutbahnya…pengaruhnya demikian besar hingga pondok-pondoknya
diberbagai kawasan selalu mengakui kewenangannya dan menamakannya sebagai kaum
“Qodiriyah” sesuai nama pendirinya.
Karyanya yang masyhur al-Ghunyah li
Thaliby Thariqi al-Haq, dan selama beberapa generasi menjadi pedoman
amalan-amalan favorit…Tak diragukan lagi faktor penentu keberhasilan tarekat
ini dan tarekat-tarekat sejenis lainnya (cabang Qodiriyah) adalah karena
ketaatan mereka yang teguh pada syari’at agama dan pemratekan-pemratekannya
pada ajaran ortodoks, dan kecaman gencar mereka terhadap antinomianisme dan tendensi-tendensi kaum inkarnasionisme. Hanya bagian kecil saja dari isi kitab Ghunyah-nya yang dikecam kelompok
puritanis ekstrem. Karena ajaran-ajarannya selalu dilandaskan secara kukuh pada
al-Qur’an dan Hadits, termasuk latihan-latihan keagamaan yang ditawarkannya tak
lagi terbantahkan”.
B. Komentar Puritanis
Tentang Historiografi Kewalian
Sebagai ulama
yang cukup besar pengaruhnya di kalangan masyarakat muslim khususnya dalam
bidang tasawuf, tentunya dari sekian banyak para cendekiawan tidak semuanya,
atau tidak seluruhnya bersikap simpati pada Syekh ‘Abd al-Qâdir al-Jîlâniy.
Sebagian dari mereka terutama para kelompok puritanis[6],
termasuk warisan kelompok Mu’tazilah yang rasionalis serta Salafy yang
membentuk diri dalam paham dan ideologi keagamaan Wahabiyah, menganggap
kehadiran sang tokoh sufi yang satu ini
sebagai manusia biasa saja, tidak sebagaimana kebanyakan yang dipahami para
pengagumnya, bahwa sang Syekh sebagai manusia “setengah dewa”[7]. Imran AM[8]
misalnya sebagai salah satu dari kelompok puritanis Indonesia yang cukup
kritis, memahami bahwa konsep kewalian yang ada dalam Islam yang selama ini
dipahami, khususnya di kalangan ahli tasawuf dalam menggambarkan Syekh ‘Abd
al-Qâdir al-Jîlâniy tidak bisa dipertanggungjawabkan secara benar berdasarkan
nash al-Qur’an dan hadits-hadits shaheh. Pemahaman para sufi tentang waliyullah
yang identik sebagai sebuah jabatan, seperti yang didefinisikan oleh As-Sayyid
Mahmud Abu al-Faidl adalah salah besar. Lebih tegas Imran AM menyatakan dalam
karyanya sebagai berikut:
“…wali atau
waliyullah itu sebenarnya hanya “sifat”, yakni sifat bagi setiap muslim yang
telah mencapai derajat keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, dan bukan
“jabatan” sebagaimana “Nabi” atau “Rasul”, sehingga tidak akan ditemukan
orang-orang tertentu yang disebutkan Allah atau Rasul-Nya, atau diangkat
sebagai wali atau waliyullah, misalnya wali A atau wali B dan sebagainya… Oleh
karena itu, baik dalam al-Qur’an maupun dalam hadits-hadits Nabi SAW, kita
hanya akan menemukan sifat-sifat bagi orang yang shaleh, atau orang-orang yang
baik pilihan Allah. Maka setiap muslim yang telah ada padanya sifat-sifat
sebagaimana disebutkan Allah SWT dan Nabi-Nya, maka dia itulah orang taqwa atau
dengan kata lain, “wali”.[9]
Jika wali itu
bersifat sebagai jabatan atau kedudukan, maka seorang wali bukanlah seorang
mukallaf lagi sebab ia sudah tidak memiliki wewenang ikhtiariyah, segala urusan
dirinya langsung Allah SWT yang mengurusnya. Padahal menurut ajaran Islam,
adanya prinsip tentang pahala dan siksa atau surga dan neraka adalah sebagai
keterkaitan dan merupakan sebagai kelanjutan atau konsekwensi dari adanya
taklif, atau wewenang ikhtiariyah dari seorang manusia muslim[10].
Oleh karenanya
pula sejak awal-awal ketika munculnya kitab manaqib Syekh ‘Abdul Qodir
al-Jilany yang ditulis oleh al-Syathnufy (w.1314 M) dengan judul Kitậb Bahjat al-Asrậr wa Ma’dan al-Anwậr fi Ba’di manậqib al-Quthb
al-Rabbậny wa al-Ghauts al-Shamadậny wa al-Bahr al-Zậkhir al-Nữrony Shậhib
al-Maqậm al-‘Aly Muhyi al-Dỉn Abi Muhammad ‘Abd al-Qodir al-Jaily beberapa bagiannya telah mendapat
penolakan dari sejarawan puritanis dan yang juga ahli di bidang ilmu hadits, di
antaranya Ali Ibn al-Wardy. Seperti dinyatakan oleh Ali ibn al-Wardy (w.762 H/1360
M) dalam karya sejarahnya yang ia tulis[11],
ia menolak isi penjelasan tentang beberapa karamah Syekh ‘Abd al-Qâdir al-Jîlâniy
yang ditulis dalam Kitậb Bahjật al-Asrậr-nya al-Syathnufy. Beberapa isi dan
penjelasan kitab tersebut yang berkait dengan karamah Syekh ‘Abd al-Qâdir
al-Jîlâniy mengandung penjelasan yang jelek dan cukup memalukan. Termasuk
penjelasan tentang shalat-shalat sunat yang biasa diamalkan oleh sang Syekh
‘Abd al-Qâdir al-Jîlâniy sendiri berdasarkan ahli hadits, sumbernya adalah
hadist-hadits maudlu dan atsar sahabat yang marfu[12].
Penjelasan
dalam Kitậb Bahjật al-Asrậr tentang
karamah Syekh Abdul Qodir al-Jailany yang bisa menghidupkan ayam jago yang
sudah menjadi tulang belulang, merupakan secara tidak langsung sebagai bentuk
pelecehan dan keingkaran. Berita ini
adalah ungkapan berlebihan, dan pendustaan akan keberadaan Syekh Abdul Qodir
al-Jailany sebagai Awliya Allah SWT. Meskipun menghidupkan orang telah mati
pernah terjadi dalam kasus mu’jizat, ia hanya untuk Nabi Isa AS seperti yang
dinyatakan dalam QS Ali Imran;49. Maka berdasarkan teks al-Qur’an di atas,
kasus keistimewaan menghidupkan sesuatu yang sudah mati, hanyalah khusus untuk
diri Nabi Isa AS saja, bukan untuk nabi-nabi yang lainnya. Apalagi bila
dikaitkan dengan ayat yang lainnya, maka dalam hal ini dengan keistimewaan
tertentu hanya yang terjadi pada diri Nabi Isa As saja, bukan untuk manusia
yang lainnya[13],
sebagaimana ditegaskan dalam Surat al-Maidah; 110. Namun demikian Imam al-Subky
seorang ahli hadits tetap mengakui kenyataan karamah tentang yang satu ini. Ia
menganggap seluruh karamah dengan bentuk apapun adalah sesuatu yang mungkin,
karena ia adalah bentuk dari perbuatan Tuhan Yang Maha Kuasa.[14]
Dengan demikian, secara umum menurut pandangan para puritanis terutama
dari kalangan Wahabiyyah mengenai jenis dan bentuk-bentuk karamah yang terjadi
pada diri Syekh Abdul Qodir al-Jilany dalam KMSA, adalah sebagai bentuk bualan.
Berita dan informasinya menurut mereka, sangat tidak masuk akal dan tidak
bedasarkan pada dalil-dalil naqli yang kuat. Bahkan hal ini dipandang sebagai
bentuk penyimpangan pemahaman keagamaan dalam mempraktekkan dan menggambarkan
seorang tokoh Islam. Sehingga sebagian besar isi KMSA tidak dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya, atau sekurang-kurangnnya sangat meragukan
kalau tidak boleh dikatakan sesat[15].
Dua pandangan
orientalis di atas nampaknya telah memberi penguatan tersendiri pada dimensi
keilmuan mengenai keberadaan dan status Kitab Manaqib Syekh ‘Abd al-Qâdir
al-Jîlâniy, baik yang mengarah pada nilai dan sisi positif maupun negatif[21].
Goldzihar menilai keberadaan Kitab Manaqib Syekh Abdul Qodri al-Jilany (KMSA)
secara antropologis maupun secara akademik dan keagamaan sebagai sesuatu yang
wajar. Sedangkan Carra de Vaux meskipun ia mengakui akan kehadiran karya model
manaqib (KMSA), namun cenderung meragukan keilmiahannya terhadap keberadaan
Kitab Manaqib Syekh ‘Abd al-Qâdir al-Jîlâniy. Bahkan Carra de Vaux menilainya
sebagai bagian dari historiografi Islam yang “absurd”.
Semua dinamika akademik ini nampaknya perlu
direspon secara ilmiah dalam batas-batas kemampuan yang sewajarnya. Karena pada
realitasnya, kemunculan berbagai jenis kitab manaqib di dunia Islam yang sangat
beragam itu, telah mencirikan kreatifitas dan karakternya yang khas yang perlu
dijelaskan. Secara lebih khusus, nampaknya KMSA agak berbeda dengan jenis-jenis
karya biografi lain dalam memberi penilaiannya. Mengapa demikian, karena
kehadirannya yang meskipun cukup beragam itu, namun cukup beralasan dalam
memberi fungsi dan makna serta manfaat tersendiri khususnya bagi para
penggunanya.
Dari kalangan
kelompok puritanis atau yang lebih populer menamakan dirinya sebagai kaum
Wahabiyah[22],
kehadiran berbagai kitab manaqib, khususnya KMSA telah dianggap dan dituduh
sebagai media yang bisa menyimpangkan aqidah islamiyah. Karena beberapa isi dan
cerita yang ada di dalamnya telah mengarah pada pengkultusan terhadap
seseorang. Satu hal lagi yang paling prinsip bagi mereka bahwa gelar kewalian
tidak akan menetap secara permanen pada diri seseorang, atau gelar kewalian
bukanlah sifat yang intrinsik yang melekat pada diri individu sebagaimana yang
selama ini dipublikasikan oleh KMSA. Gelar “wali” adalah sebagai sesuatu yang
bisa datang dan pergi begitu saja sebagai hadiah dari sebuah hasil pekerjaan
ketaatannya pada Allah. Kapan bahwa ia layak disebut sebagai wali dan kapan ia
akan tercerabut, itu hanya Allah SWT yang bisa menilai dan menetapkannya. Gelar
kewalian menurut Wahabiyah adalah sebagai suatu hadiah dari bentuk pekerjaan
yang bisa siapapun untuk melakukan dan memperolehnya. Dalam hal-hal tertentu
konsep kewalian yang selama ini telah diciptakan para sufi dan munculnya KMSA
sebagai sisi yang lain, telah memperkokoh bagi upaya penyimpangan ketauhidan
dalam Islam[23].
Pada sisi yang
lain bahkan hingga kini, keberadaan berbagai kitab manaqib khususnya KMSA dalam
realitas yang sesungguhnya nampak masih masih terus bisa dirasakan keberadaan
dan kehadirannya. Di kalangan para pengguna dan para penciptanya bahkan oleh
sebagian umat Islam masih dipandang sebagai bentuk dan jenis bacaan keagamaan
yang menarik dan signifikan, sehingga sampai kini dalam aspek-aspek tertentu
realitas sosial budaya seperti ini terus mendorong bagi lahirnya sejumlah
bentuk dan produk kitab manaqib dengan berbagai model dan coraknya. Hal ini
terlihat dari kenyataan banyaknya para apresiator dan kreator kitab manaqib
khususnya KMSA di dunia Islam yang terus berkembang, yang ditunjukkan dengan
munculnya berbagai percetakan lokal maupun nasional yang terus memproduk
karya-karya jenis KMSA, dengan tingkat cetak ulang yang sangat signifikan cukup
tinggi[24]. Semuanya
membuktikan KMSA terus diapreasi di berbagai kalangan sosial masyarakat Islam. Bahkan
secara theologis dan pragmatis, bagi para santri yang berada di berbagai
lingkungan pendidikan sufi Qodiriyyah,
KMSA bisa memberi manfaat yang sangat banyak terutama bagi pembentukan kesadarn
spiritual bagi para salik (calon-calon sufi) di dunia Islam[25].
Semuanya
realitas dan wacana di atas, nampaknya menarik untuk didiskusikan dan
dibuktikan lebih lanjut ke mana arah logika masing-masing untuk terus berupaya
bisa menggiring para pendukungnya dalam wacana akademiknya. Namun yang jelas
dari semua itu dengan alasan dan argumentasi apapun dari masing-masing mereka,
bahwa kehadiran KMSA merupakan bagian penting dari salah satu tradisi
pengembangan intelektual Islam dan memberikan nilai yang cukup signifikan bagi
perkembangan historiografi Islam di kemudian hari. Karena dalam beberapa hal, sesuatu yang bisa
masuk dalam kategori historiografi Islam adalah beberapa jenis karya sejarah
yang ditulis oleh umat Islam dari berbagai aliran dan komunitasnya, yang
meliputi berbagai aspek kehidupan dengan bahasa dan bentuknya yang sangat
beragam[26].
Persoalan yang
muncul adalah bagaimana cara membuktikan tingkat historisitas KMSA sebagai
sebuah karya sejarah, atau karya yang mengandung nilai-nilai historis baik
tentang posisi si pelaku maupun peristiwa yang dijelaskan para saksi dalam
setiap peristiwa yang pernah terjadi. Keistimewaan apa yang bisa ditunjukkan
oleh teks tersebut agar ia bisa memberi manfaat dalam upaya internalisasi
keagamaan bagi jalan sufisme serta bagaimana ia memiliki signifikansi yang kuat
sebagai bagian dari model perkembangan historiografi Islam? Untuk membuktikan
pernyataan di atas dibutuhkan dua temuan pokok yang aktual untuk mengarah pada
argumentasi faktual tentang historisitas dan signifikansi KMSA. Oleh karenanya,
rekonstruksi ilmiah dalam penelitian ini nampaknya diharapkan bisa memperjelas
problematika ilmiah yang hingga saat ini sepertinya masih belum terjawab secara
tuntas, yakni bagaimana KMSA historisitas dan signifikansinya dalam
historiografi Islam.
BAB III
Tinjauan Filosofis,
Teoritis dan Metodologis
Setelah melihat perdebatan
dalam menyikapi keberadaan KMSA, maka pada bab ini peneliti ingin membangun kesadaran
akademik dan menawarkan sebuah pendekatan yang diharapkan bisa mengantarkan
pada temuan yang objektif dalam mengkaji historiografi sufi. Mengingat rumit
dan peliknya dalam mengkaji berbagai fenomena karamat sufistik termasuk tentang
historiografinya, maka melalui persektif fenomenologi diharapkan bisa membentuk
kewaspadaan, kehati-hatian dan penghargaan peneliti terhadap objek atau subjek
yang dikajinya. Sebagai sebuah kegiatan akademik, peneliti perlu membekali
pengendalian diri dalam melihat secara objektif tentang berbagai fenomena
individual dan sosial, serta bagaimana sebaiknya menghadapi suatu objek atau
subjek yang ditelitinya.
A. Historiografi Sufi dalam Perspektif Fenomenologi
Mengkaji pengertian sejarah secara fenomenologis, akan
melibatkan berbagai hal yang berkait dengannya.[27] Pertama ia akan
berhubungan dengan situasi ke-masalalu-an (kajian filosofis). Kedua, akan berhubungan dengan berbagai
jenis tulisan yang menggambarkan peristiwa-peristiwa ke-masalalu-an dan para
sejarawan yang melibatkan dirinya dengan berbagai kajian atas masa lalu tersebut
(kajian historiografi). Ketiga,
berkaitan dengan rekaman sosial atau sikap masyarakat yang mengabadikan pada
ingatan masa lalu tersebut, baik yang ditunjukkan oleh cerita rakyat termasuk
mitologi yang selalu hadir di tengah-tengah masyarakat mengenai sesuatu masa
lalu tersebut (kajian antropologis). Keempat,
menunjukkan disiplin ilmu yang dikembangkan secara profesional dan akademik
terhadap studi masa lalu (epistemology). Kelima,
berkait dengan kajian metodologis terhadap berbagai aliran madzhab pemikiran
tentang sejarah, teori dan metodologinya. [28]
Mengingat objek kajian
tentang sufisme sebagai fenomena yang sangat unik dalam dimensi sejarah manusia
dan memerlukan kajian khusus termasuk juga dengan model historiografi yang
dimunculkannya, maka peneliti nampaknya perlu berupaya untuk memahami dan
menjelaskan secara utuh situasi dan kondisi apa yang melatarbelakanginya[29].
Memahami fenomena historiografi sufi meskipun semua itu dilakukan tentunya dengan keterbatasan
akademik, salah satunya adalah melalui “review”
atas karya-karya sejarah yang dihasilkan dari dunia mereka. Review terhadap
karya-karya mereka khususnya tentang Kitab Manaqib Syekh ‘Abdul Qôdir
al-Jilâniy (KMSA) dilakukan secara konkrit, tidak teoritis tapi lebih pada
aspek-aspek empirisnya. Hingga saat ini penulis menyadari bahwa seluruh
fenomena yang dilakukan para sufi, tentunya meskipun belum sepenuhnya dipahami
dan dijelaskan secara menyeluruh, apa lagi tentang hal-hal yang berkait dengan
berbagai keunikannya, masih memberi kesempatan dan peluang untuk melakukan
berbagai kajian secara tersendiri.
Beberapa karya tentang
sufisme dalam perspektif historiografi Islam sangat kompleks dan beragam, dari
mulai kajian tentang doktrin-doktrin yang berkembang di antara mereka sampai
tentang realitas historisnya, yakni refleksi mengenai pelaksanaannya oleh para
tokoh sufi yang banyak dijelaskan dalam berbagai kisah-kisah sufisme.
Karya-karya historiografi tentang sejarah sufisme ini, bukan hanya menyangkut
cerita perorangan, tapi juga kelompok sosial mereka, misalnya untuk sekedar
menyebut di antaranya karya Abu Nu’aim Hilyat
al-Awliyâ wa Thabaqât al-Ashfiyâ, Al-Sulamy Thabaqât al-Shûfiyyah, al-Hujwiry Kasyf al-Mahjûb, al-Sya’rany Thabaqât al-Kubrâ, Ibn al-Jauzy Multaqath al-Hikâyat, Fariduddin
al-Athar Tadzkirât al-Awliyâ dan
lain-lain maupun karya-karya khusus berupa kitab manaqib yang secara khusus
mengupas biografi tokoh sufi tertentu misalnya, Yahya al-Tadafy Qalâid al-Jawâhir fi Manâqib Syaikh ‘Abd
al-Qôdir, Muhammad Iyadl Mafâkhir
al-‘Aliyyah fi Ma’atsir al-Syâdziliyyah, Ibn Hajar al-Asqolany, Ghibthah al-Nâdlir fi Tarjamah al-Syaikh
‘Abd al-Qôdir dan lain-lain.[30]
Meskipun demikian kompleksnya pengertian sejarah secara ontologis
dan epistemologisnya dan realitas tentang karya-karya tentang sufisme seperti
dijelaskan di atas, namun kajian disertasi ini nampaknya akan dibatasi dan
diarahkan untuk mencari penjelasan secara spesifik mengenai temuan tentang
historisitas dan signifikansi Kitab Manaqib Syekh Abdul Qodir al-Jilany
(disingkat KMSA) dalam perspektif historiografi Islam. Meskipun demikian,
aspk-aspek pengenalan (ontologis) dan pengembangannya (epistemologis) seperti
yang disebutkan di atas, nampaknya secara tidak langsung akan terakumulasi dan
terlibat dengan sendirinya dalam pembicaraannya. Ketika berbicara tentang
historisitas KMSA, maka akan membicarakan pula tentang aspek-aspek kualitas
dari kelima unsur pengertian sejarah seperti disebutkan di atas, meskipun mungkin
hanya sambil lalu dan menempati penjelasan dengan sekedarnya saja.
Oleh karena itu menentukan grand theory yang tepat untuk bisa memotret secara objektif tentang
historiografi sufi --meskipun sebagiannya akan meminjam dari model dan metode
penelitian ilmu-ilmu sosial--, adalah sesuatu yang sangat penting untuk
dilakukan. Hal ini tentunya sebagai salah satu upaya untuk memudahkan dalam
memetakan dan melakukan pengkajian secara akademis dan filosofis dalam
membangun paradigma untuk mengnal secara detil dari unsur-unsur dalam subjek penelitian
ini. Beberapa teori dan metodologi atau bahkan beberapa aliran filsafat yang lain,
juga telah dicoba untuk bisa memotret subjek penelitian ini, namun mungkin dari
sekian banyak model perspektif yang penulis anggap relatif bisa mendekati untuk
melihat fenomena sufisme secara objektif adalah fenomenologi. Karena perspektif
fenomenologi mengajarkan mengenai subjek penelitian untuk membiarkan dirinya
berbicara apa adanya. Sebagaimana Maurice Merleau Ponty katakan, “fenomenologi
adalah daftar kesadaran-kesadaran, sebagai tempatnya alam. [31]
Dalam kajian antropologi dan sosiologi model penelitian
yang seringkali digunakan untuk memahami objek atau subjek penelitian “dari
dalam”, adalah apa yang biasa disebut sebagai “perspektif emic”, tinjauan dari dalam. Lawannya adalah “perspektif etic” yang biasanya melihat objek
penelitian dari luar objeknya. Terkadang dengan kaca mata etik, si peneliti
terus melakukan penilaian, pengadilan dan investigasi terhadap sejumlah apa
yang mereka lihat.[32]
Kali ini penelitian tidak akan diarahkan untuk mengadili atau mengkritisi objek
yang ada, namun ia akan mendeskripsikan dan memunculkan apa-apa yang ada di
dalam objek atau subjek penelitian tersebut.
Selama ini “kesalahan” yang seringkali muncul adalah
akibat terjadinya reduksi dan pengekangan terhadap objek penelitian atau subjek
materi yang dilakukan oleh sejumlah peneliti yang belum memahami posisi dan
keberadaan mereka sendiri dari dalam apa yang sedang dibicarakannya. Lantas
dengan cepat mereka membuat kesimpulannya sendiri, atau mereka memvonis dengan
kacamata si peneliti yang pada dasarnya seringkali berbeda dari dunia mereka
sendiri[33].
Dalam
kehidupan praktis sehari-hari, manusia memang bergerak di dalam dunia yang
telah diselubungi dengan penafsiran-penafsiran dan kategori-kategori ilmu
pengetahuan dan filsafatnya. Namun penafsiran-penafsiran tersebut seringkali
diwarnai oleh kepentingan-kepentingannya, situasi-situasi kehidupan dan
kebiasaan-kebiasaannya, sehingga ia telah melupakan dunia apa adanya, dunia
kehidupan yang murni, tempat berpijaknya segala bentuk penafsiran.
Dominasi
paradigma positivisme selama bertahun-tahun terhadap dunia keilmuwan, tidak
hanya dalam ilmu-ilmu alam tetapi juga terhadap ilmu-ilmu sosial bahkan ilmu
humanities, sehingga mengakibatkan munculnya berbagai krisis ilmu pengetahuan.
Persoalannya bukan penerapan pola pikir positivistis terhadap ilmu-ilmu alam, karena
hal itu memang sesuai, melainkan positivisme juga melanda dan banyak
mendominasi dalam pengembangan ilmu-ilmu sosial, yaitu masyarakat dan manusia
sebagai makhluk historis.[34]
Problematika
positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, yang menghilangkan peranan subjek dalam
membentuk ‘fakta sosial’, telah mendorong munculnya upaya untuk mencari dasar
dan dukungan metodologis baru bagi ilmu sosial dengan ‘mengembalikan’ peran
subjek ke dalam proses keilmuwan itu sendiri. Salah satu pendekatan tersebut
adalah pendekatan fenomenologi yang secara ringkas akan dibahas di bawah ini.
B. Fenomenologi Sebagai Metode
Ilmu
Fenomenologi
berkembang sebagai metode untuk mendekati fenomena-fenomena dalam kemurniannya.
Fenomena disini dipahami sebagai segala sesuatu yang ada dengan suatu cara
tertentu tampil dalam kesadaran kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan
maupun berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun kenyataan. Yang
penting ialah pengembangan suatu metode yang tidak memalsukan fenomena,
melainkan dapat mendeskripsikannya seperti penampilannya tanpa prasangka sama
sekali. Seorang fenomenolog hendak menanggalkan segenap teori, praanggapan
serta prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya: "Zu den Sachen Selbst" (kembali
kepada bendanya sendiri)[35].
Tugas
utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan
realitas. Bagi Husserl, realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas
dari manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut
ungkapan Martin Heideger, yang juga seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu
membutuhkan keberadaan manusia”. Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai
pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang
menampakkan diri menuju kepada benda yang sebenarnya. Usaha inilah yang
dinamakan untuk mencapai “hakikat segala sesuatu”. [36]
Untuk
itu, Husserl mengajukan dua langkah yang harus ditempuh untuk mencapai esensi
fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision. Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang
berarti: “menunda keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan
yang diperoleh dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan benar
salahnya terlebih dahulu. Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah
benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi
pengamat. Untuk itu, Husserl menekankan satu hal penting, yakni penundaan keputusan.
Keputusan harus ditunda (epoche) atau
dikurung dulu dalam kaitan dengan status atau referensi ontologis atau
eksistensial objek kesadaran.[37] Selanjutnya
menurut Husserl, epoche (pengosongan
diri) seorang peneliti memiliki empat macam, yaitu:
1.
Method
of historical bracketing; metode yang mengesampingkan aneka macam
teori dan pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik
dari adaptasi, agama maupun ilmu pengetahuan.
2.
Method
of existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap semua
sikap keputusan, atau melakukan sikap diam dan menunda.
3.
Method
of transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi
gejala yang transendental dalam kesadaran murni.
4.
Method
of eidetic reduction; mencari esensi fakta, semacam menjadikan
fakta-fakta tentang realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu.[38]
Dengan
menerapkan ke empat metode epoche tersebut,
peneliti diharapkan bisa memahami secara maksimal hakikat fenomena dari
realitas yang diamatinya. Dan secara akademik, mengkaji dan menghubungkan KMSA
sebagai bagian dari salah satu model historiografi Islam, nampaknya tidak bisa
dipisahkan dengan elemen-elemen yang ada di sekitar fenomena sufistik itu
sendiri, yakni ajarannya, realitas sejarahnya maupun cara-cara mereka
mengapresiasi sejarah tokoh-tokoh besarnya.
C. Kontribusi Fenomenologi Bagi Dunia
Ilmu Pengetahuan
Memperbincangkan
fenomenologi tidak bisa ditinggalkan pembicaraan mengenai konsep Lebenswelt (“dunia kehidupan”). Konsep
ini penting artinya, sebagai usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau
membuka jalur metodologi baru bagi ilmu-ilmu sosial serta untuk menyelamatkan
subjek pengetahuan.
Edmund
Husserl, dalam karyanya, The Crisis of
European Science and Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep
“dunia kehidupan” (lebenswelt)
merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi (mengatasi) ilmu pengetahuan
yang tengah mengalami krisis akibat pola pikir positivistik dan saintistik,
yang pada prinsipnya memandang semesta sebagai sesuatu yang teratur, seperti
halnya kerja mekanis jam. Akibatnya adalah terjadinya 'matematisasi alam'
dimana alam dipahami sebagai keteraturan (angka-angka). Pendekatan ini telah
mendehumanisasi pengalaman manusia karena para saintis telah menerjemahkan
pengalaman manusia ke dalam formula-formula impersonal.[39]
Dunia
kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami kurang lebih dunia sebagaimana
manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis tindakan komunikasi
antar subjek. Dunia kehidupan ini adalah unsur-unsur sehari-hari yang membentuk
kenyataan seseorang, yakni unsur dunia sehari-hari yang ia alami dan jalani,
sebelum ia menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis.
Konsep
dunia kehidupan ini dapat memberikan inspirasi yang sangat kaya kepada
ilmu-ilmu sosial, karena ilmu-ilmu ini menafsirkan suatu dunia, yaitu dunia
sosial. Dunia kehidupan sosial ini tak dapat diketahui begitu saja lewat observasi
seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu alam, melainkan terutama melalui pemahaman (verstehen). Apa yang ingin ditemukan
dalam dunia sosial adalah makna, bukan kausalitas yang niscaya. Tujuan ilmuwan
sosial mendekati wilayah observasinya adalah memahami makna. Seorang ilmuwan
sosial, dalam hal ini, tidak lebih tahu dari pada para pelaku dalam dunia
sosial itu sendiri. Oleh karena itu, dengan cara tertentu ia harus masuk ke
dalam dunia kehidupan yang unsur-unsurnya ingin ia jelaskan itu.[40] Untuk
dapat menjelaskan, ia harus memahaminya. Untuk memahaminya, ia harus dapat
berpartisipasi ke dalam proses yang menghasilkan dunia kehidupan
itu. Dalam penelitian sosial lain disebut “partisipant observer”, peneliti yang terlibat dalam subjek yang
ditelitinya.[41] Atau
dalam antropologi bisa juga dikenal “pespektif
emic”, yakni peneliti tidak akan memberi penilaian baik buruk, melakukan
pengadilan atau sejenisnya terhadap fenoma yang ditemukannya, namun ia
menyatakan apa yang terjadi sebenarnya menurut subjeknya.[42]
Kontribusi
dan tugas fenomenologi dalam hal ini adalah deskripsi atas sejarah lebenswelt (dunia kehidupan) tersebut
untuk menemukan ‘endapan makna’ yang merekonstruksi kenyataan sehari-hari. Maka
meskipun pemahanan terhadap makna dilihat dari sudut intensionalitas
(kesadaran) individu, namun ‘akurasi’ kebenarannya sangat ditentukan oleh aspek
intersubjektif. Dalam arti, sejauh mana ‘endapan makna’ yang ditemukan itu
benar-benar direkonstruksi dari dunia kehidupan sosial, dimana banyak subjek sama-sama
terlibat dan menghayati.[43]
Demikianlah
dunia kehidupan sosial dan realitas sufistik ketika dikaji dari sisi fenomenologi,
akan ditempatkan sebagai sistem simbol yang dipahami dalam kerangka konteks
sosio-kultur yang mengitari dan membangunnya. Ini artinya unsur subjek (sufistik
dengan segala perangkatnya) harus dilihat sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dari proses terciptanya suatu ilmu pengetahuan, sekaligus perlu mendapatkan
dukungan metodologisnya.
D. Oto Kritik Terhadap
Fenomenologi
Sebagai
suatu metode keilmuan, fenomenologi dapat mendeskripsikan fenomena sebagaimana
adanya dengan tidak memanipulasi data. Aneka macam teori dan pandangan yang
pernah diterima sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat, agama,
ataupun ilmu pengetahuan agar dikesampingkan untuk mengungkap pengetahuan atau
kebenaran yang benar-benar objektif.
Selain
itu, fenomenologi memandang objek kajiannya sebagai kebulatan yang utuh, tidak
terpisah dari objek lainnya. Dengan demikian fenomenologi menuntut pendekatan
yang holistik, bukan pendekatan partial, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh
mengenai objek yang diamati. Hal ini menjadi suatu kelebihan pendekatan
fenomenologi, sehingga banyak dipakai oleh ilmuwan-ilmuwan dewasa ini, terutama
ilmuwan sosial, dalam berbagai kajian keilmuan mereka termasuk bidang kajian
agama.[44]
Dibalik
kelebihan-kelebihannya, fenomenologi sebenarnya juga tidak luput dari berbagai
kelemahan. Tujuan fenomenologi untuk mendapatkan pengetahuan yang murni
objektif tanpa ada pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat,
agama, ataupun ilmu pengetahuan, merupakan sesuatu yang sedikit agak berat
dilakukan. Sebab fenomenologi sendiri mengakui bahwa ilmu pengetahuan yang
diperoleh tidak selalu bebas nilai (value-free),
tetapi bermuatan nilai (value-bound).[45] Hal
ini dipertegas oleh Derrida, yang menyatakan bahwa tidak ada penelitian yang
tidak mempertimbangkan implikasi filosofis status pengetahuan. Kita tidak dapat
lagi menegaskan objektivitas atau penelitian bebas nilai, tetapi harus
sepenuhnya mengaku sebagai hal yang ditafsirkan secara subjektif dan oleh
karenanya status seluruh pengetahuan adalah sementara dan relatif. Sebagai
akibatnya, bisa jadi tujuan penelitian fenomenologis tidak pernah dapat
terwujud secara sempurna,[46] dan
ini tentunya disadari oleh peneliti.
Selanjutnya,
fenomenologi memberikan peran terhadap peneliti untuk ikut terlibat dalam objek
yang diamati, sehingga jarak antara subjek dan objek yang diamati agak kabur
atau kurang jelas. Dengan demikian, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan
cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan
kondisi tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan
atau kebenaran yang dihasilkan tidak dapat digenaralisasi secara sempurna.
Namun demikian, seluruh penelitian ilmiah dan temuan yang dihasilkannya memang
bersifat demikian.
Terlepas
dari kelebihan dan kekurangannya, fenomenologi telah memberikan kontribusi yang
berharga bagi dunia ilmu pengetahuan. Ia telah mengatasi krisis metodologi ilmu
pengetahuan, dengan mengembalikan peran subjek yang selama ini dikesampingkan
oleh paradigma positivistik – saintistik. Fenomenologi berusaha mendekati objek
kajiannya secara kritis serta pengamatan yang cermat, dengan tidak berprasangka
oleh konsepsi-konsepsi manapun sebelumnya. Oleh karena itu, oleh kaum
fenomenolog, fenomenologi dipandang sebagai rigorous
science (ilmu yang ketat). Hal ini tampaknya sejalan dengan 'prinsip' ilmu
pengetahuan, sebagaimana dinyatakan J.B Connant, bahwa: "The scientific way of thinking requires the
habit of facing reality quite unprejudiced by and any earlier conceptions.
Accurate observation and dependence upon experiments are guiding principles."[47]
E. Fenomena Ruh dalam Pemikiran dan Historiografi Sufi
Di antara sekian banyak
persoalan yang berkait dengan penelitian Kitab Manaqib Syekh Abdul Qodir
al-Jilany (KMSA), adalah banyaknya fakta-fakta atau sumber-sumber yang
digunakan di dalamnya berkait dan menyangkut tentang fenomena ruhaniyah
manusia. Satu sisi realitas ini menyangkut pula sebagai fakta mental dan bagian
dari dinamika psikologi manusia sebagai pelaku sejarah dalam perjalanan dan pengalaman
keagamaannya (religious experience).
Namun pada sisi yang lain biografi-biografi yang berkembang dalam historiogrfai
modern, belum banyak yang mengungkapkan dan mengkajinya secara realistik dan
metodologis, mengenai banyaknya pengalaman keagamaan yang komplek itu. Bahkan
belakangan banyak muncul polemik akibat fenomene-fenomena serupa yang hingga
kini dunia Barat Modern belum bisa menjelaskannya secara tuntas.[48]
Oleh karenanya sebagaimana diakui oleh Wayne Proudfoot,
bahwa suatu contoh yang bagus untuk mendukung kesimpulan adanya fenomena
keagamaan sebagai sebuah realitas historis, adalah kriteria yang dikemukakan
Schleiermarcher, R. Otto dan William James, bahwa pengalaman keagamaan memiliki
sebuah sejarah sendiri dan menggunakan konsep-konsep yang baru (berdasarkan
temuannya) dan mempunyai budaya khusus.[49] Dalam hal ini KMSA nampaknya sebagai sesuatu bentuk
biografi yang telah jauh melampaui batas-batas biografi biasa pada umumnya,
sehingga kitab manaqib disebut bukan lagi biografi tapi “hagiografi”.
Dalam hal ini, karena sumber-sumber hagiografi banyak
memotret fenomena (sejarah) ruhaniyah sebagai bagian dari pengalaman keagamaan
seseorang, maka harus dipahami bahwa realitas tersebut sebagai kategori ingatan
sejarah (memorial of history). Memorial of history sebagai bagian ingatan
seseorang mengenai peristiwa masa lalunya, telah dinyatakan dalam teori dan
ilmu sejarah, termasuk sebagai fakta sejarah dan masuk sebagai bagian dari
lembaran dan catatan sejarah yang syah dalam diri manusia.[50]
Bagaimana para
sufi menggambarkan fenomena ruh dan ruhaniyahnya dalam kehidupan sejarah manusia,
lebih jelas seperti yang digambarkan oleh Muhyiddin Irbily dalam karyanya Tafrikh al-Khatir,[51] secara padat ia menguraikan sebagai berikut:
Perjalanan ruh manusia melalui 3 tahap dalam diri manusia:
Pertama, ketika ruh dalam alam kesendirin (arwah
mujarradah)
Kedua, ketika ruh
berinteraksi dengan jasad (arwah
mutasharrifah) untuk meraih kesempurnaan duniawi dan ukhrawinya. Bentuk interaksinya
seperti halnya hubungan antara pengendara dan kendaraannya, dan posisi ruh sama
sekali tidak menyatu dan tidak menetap dalam tubuh. Berbeda halnya dengan ruh
biologis (sel-sel senyawa) yang ada dalam setiap makhluk hidup.
Ketiga, ketika ruh terpisah
dari tubuh (arwah mufariqoh) saat
kematian, namun ia masih akan tetap berinteraksi lagi dengan tubuh pada saat
kebangkitan, pengumpulan (khasyr),
pengadilan (mizan), pengelompokan ke surga atau neraka (nasyr).
Sedangkan ruh orang-orang yang sempurna dalam proses spiritualitasnya,
memiliki tiga eksistensi dan potensinya;
Pertama fenomena ruh bisa menjelma secara material sebelum berinteraksi
dengan tubuhnya, seperti halnya yang terjadi pada ruh Sayyidina Ali bin Abi
Thalib ketika membebaskan Salman al-Farisi dari terkaman binatang buas. Maupun ketika
ruh sudah berinteraksi dengan tubuhnya dan sesudah ia terpisah dari tubuhnya,
seperti penjelmaan orang-orang sempurna (al-mursyid
al-kamil) kepada para pecintanya dan kepada para muridnya dalam keadaan
terjaga melalui kontak bathin (rabithah)
maupun ketika ia dalam keadaan tertidur melalui mimpi. Mereka bisa berdialog
dan memberi petunjuk kepada para murid-muridnya. Fenomena lain dari ruh orang
yang demikian, bisa menjelma menjadi beberapa person pada waktu yang bersamaan
di dalam ruang dan tempat yang berbeda. Seperti halnya yang terjadi pada Qodlib
al-Ban al-Maushily sebagaimana diceritakan oleh kitab-kitab yang mengkajinya.
Kejadian ini bisa juga terjadi pada ruh mereka setelah terpisah dari jasadnya,
seperti halnya saat Rasulullah SAW berada pada malam Mi’raj, ia melihat dan
bertemu dengan ruh para Nabi di langit dan shalat bersama mereka di Bait
al-Maqdis.
Kedua, fenomena ruh beraktifitas dalam jasad agar jasad bisa
merefleksikan diri menjadi ruhaniyah yang bercahaya (ruhaniyah nuraniyah). Seperti yang terjadi pada jasad Nabi Muhammad
SAW karena asal penciptaan beliau berasal dari nuraniyah dan ruhaniyahnya
berasal dari rahasia alam malakut (sirru
malakutiyyu) sehingga oleh karenanya beliau tidak terlihat bayangannya di
muka bumi, baik di pagi hari maupun sore harinya. Demikian juga jasad Bilal dan
Uais Qorny seperti apa adanya, sebagaimana diriwayatkan dalam Kitab Muntakhab Kanzul ‘Umal dari Abu
Hurairah ra. Bahwasanya Rasululullah SAW bersabda, wahai Bilal! Ceritakan
padaku amalan yang paling engkau andalkan manfaatnya dalam Islam, karena aku
tadi malam mendengar gerak sandalmu dihadapanku di surga. Dia menjawab, “aku
tidak melakukan amalan yang lebih aku harapkan kecuali bahwa setiap aku wudlu
baik siang maupun malam, pasti aku melakukan shalat sunat dengan wudlu itu
dengan sekemampuanku. Diriwayatkan juga dari Abdullah bin Buraidah ia berkata:
bahwa Rasulullah SAW berkata, surga ditampakkan padaku, dan aku lihat istri Abu
Thalhah (Ummu Sulaim) di dalamnya, kemudian aku mendengar suara sandal
dihadapanku, ternyata ia adalah Bilal. Dalam riwayat Jabir ra, Rasulullah
bersabda, “aku masuk surga lalu aku mendengar suara sandal, maka aku tanya
suara apa ini, mereka menjawab, itu suara sepatu al-Ghamisha binti Milhan.
Tertulis dalam sebagian catatan guru-guru sufi, Rasulullah
SAW melihat dari jarak yang sangat dekat sekitar dua meter, salah seorang
laki-laki duduk ditempat yang mulia di hadapan Allah SWT, dengan keadaan seluruh
tubuhnya berselimut. Maka aku (Nabi SAW) cemburu dan berkata, wahai Tuhanku ini
adalah tempat yang terhormat, siapa laki-laki ini? Maka terdengarlah suara dari
(arah) Allah SWT, “ini adalah Uais al-Qorny, ia istirahat setelah tujuh puluh
tahun dan ia meminta kepada-Ku agar Aku menyembunyikan dan merahasiakannya,
maka Aku mencintainya”.
Ketiga, fenoeman ruh berinteraksi dengan benda-benda materi
yang mewujud dalam bentuk yang lembut (jism
lathif). Terkadang hal ini dilakukan oleh para malaikat dan jin seperti
yang terjadi pada penampakan singgasana Bilqis ketika Nabi Sulaiman AS memintanya
agar singgasananya dihadirkan dihadapannya. Sebagaimana diceritakan dalam
al-Qur’an dalam sekejap mata singgasana itu muncul dihadapan keduanya.
Kehadiran singgasana dalam proses material nampaknya tidak mungkin bisa
terjadi, kecuali hal itu dilakukan oleh potensi jims lathif yang berinteraksi melalui do’anya Ashof bin Barkhiya
as, atau atas kerja ruhaniyahnya.
Ketahuilah bahwa emanasi ruh sempurna (yakni ruh
orang-orang yang telah disempurnakan) merefleksikan juga ke dalam tiga bentuk:
1).Memberikan pengajaran di alam lahir melalui perkataan dan berhadapan
(tatap muka) seperti biasa dalam pengajaran umum.
2).Tidak melalui menampakkan fisik, akan tapi proses pengajaran terus
berjalan antara si pendidik dan yang di didik, seperti halnya pengajaran Nabi
Muhammad SAW terhadap Uais al-Qorni yang juga hidup sezaman, tapi ia dengan
Nabi tidak sempat bertemu secara fisik. Bentuk pendidikan ruhani yang juga
tidak terjadi melalui pertemuan jasad fisik antara Imam Ja’far al-Shadiq
terhadap Abu Yazid al-Bisthomy yang berjauhan dalam kurun waktu kehidupannya,
namun antara keduanya terjadi proses penyampaian pengetahuan. Begitu juga
pendidikan Nabi Muhammad SAW kepada umatnya setelah beliau tiada.
3). Bentuk pendidikan melalui mimpi, sebagaimana biasa dilakukan oleh
ruh-ruh suci terhadap mereka-mereka yang dikehendaki Allah SWT.
Dengan demikian para ulama
tasawuf menyebut dua model komunikasi ruhani yakni jenis kedua dan ketiga
(tarbiyah ruhaniyah tanpa muwajahah
dan musyafahah serta pendidikan
ruhani melalui mimpi) disebut pendidikan ruhani melalui Emanasi Barakah (faidl al-barakah).
Pendidikan terhadap Ruh
yang masih di alam kesendiriannya, contohnya seperti ruh Nabi Muhammad SAW
memberikan pengajaran kepada ruh para nabi yang lain. Pengajaran demikian
dinamakan dengan tarbiyaturruh.
Pada dasarnya bentuk pendidikan ruhani yang sempurna
adalah adanya keselarasan yang hakiki antara pendidik dan yang dididiknya.
Keselarasan yang sempurna dicirikan oleh adanya tiga aspek, yakni dengan
melaksanakan dan merasakan (al-qidam),
dengan ucapan atau tutur kata yang benar (lisan
al-shidq) dan dengan hati yang benar (al-qalb
al-shadiq).
Al-qidam yakni melaksanakan dan merasakan seluruh perjalanan
ruhaninya dengan berpedoman pada etika tasawuf dan perjalanan suluk si salik
dalam rangka mengembangkan akhlak, ibrah dan maqamat jiwa, qolab, ruh, sirr,
khafi dan akhfa.
Lisan al-shidq adalah istilah penanaman kesempurnaan terhadap para
pencari kebenaran ruhani dengan sejumlah pengetahuan sebagaimana yang Allah SWT
ajarkan melalui wahyu, ilham dan melalui pendengaran ajakan dari Allah atau
dari para malaikat-Nya atau dari mereka-meraka yang memiliki penuturan yang
benar (para mursyid). Mereka para mursyid tersebut, perkataannya benar,
syafaatnya telah diterima, do’a-do’a-nya terkabul, ilmunya menapaki jalan
kebenaran, menjauhkan kebathilan, menyingkapkan berbagai rahasia makna,
kata-katanya terbukti, talqinnya bisa menembus dan mengantarkan kepada al-mathlub al-haqiqy (Allah SWT). Ia telah dianugrahi oleh karamah seperti itu.
Al-qolb al-shadiq bisa dipahami dengan dua pengertian, 1). Yakni
tersingkapnya berbagai peristiwa yang ghaib dan yang nampak di dalam hati orang
yang sempurna dan disempurnakan oleh Allah SWT, yang tergambar secara jelas
baik dalam keadaan terjaga maupun melalui mimpinya. Hal demikian karena
kapasitasnya sebagai insan kamil sehingga ia memiliki kemampuan untuk menangkap
fenomena kegaiban tersebut. 2). Yakni terkuasainya makna-makna hakiki tentang
sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dalam bahasa ilmiah. Dalil naqli tentang hal
ini sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an: ma
kadzaba al-fuadu ma ra’a; hati nurani tidak akan membohongi apa yang terlihat
dalamnya. Ayat berikutnya; fa auha ila
‘abdihi ma auha; maka Allah mewahyukan kepada hambaNya apa-pun yang akan Ia
wahyukan.
Mengetahui penjelasan tentang fenomena ruhani orang-orang
sempurna di atas, diharapkan bisa untuk menghilangkan keraguan dan kebimbangan
orang-orang yang lemah keyakinannya, ketika mendengarkan manaqib para
awliyaallah.
F. Penyikapan Akademik
Gambaran diatas menjelaskan tentang beberapa
persoalan penelitian yang mungkin pula dialami para peneliti lain ketika
menentukan potret yang hendak digunakan saat mengamati objek/subjek yang
ditekuninya. Dalam hal ini, ketika menemukan beberapa fenomena yang unik yakni
fakta-fakta yang ada di luar pikiran positivisme, peneliti perlu memandangnya
sebagai sebuah khazanah pengetahuan yang perlu dipahami dari dalam. Dari sekian
banyak fakta dalam kacamata fenomenologi, objek penelitian sebaiknya tidak lagi
disebut sebagai “objek penelitian”, namun sebaiknya dipandang sebagai sesuatu
yang lebih hidup dalam aspek ilmu-ilmu kemanusiaan (humanities - humaniora)
dalam memberikan kontribusi pengetahuan kepada peneliti. Sehingga fakta
tersebut harus diperlakukan sebagai “subjek penelitian”, bukan lagi dipandang
sebagai “objek”, karena keberadaannya yang akan mengantarkan pada objektifitas
sebuah penelitian.
Namun demikan, sebenarnya belum ada kata final bagi
para peneliti atau sejarawan dalam menggambarkan “tentang sesuatu” atau “objek
sejarah”, mengingat penjelasan sejarah selalu berangkat dari sejarawan sendiri
dengan berbagai multi interpretatifnya. Namun pesan moral dari pemikiran
fenomenologi ini, adalah untuk membekali kepada para peneliti atau sejarawan
agar tidak melakukan interpretasi dan rekonstruksi seenaknya terhadap apa yang
dikajinya.
Namun seiring dengan itu pula, bahwa penciptaan
sains dalam Islam tidaklah bebas nilai, dan juga tidak sepenuhnya selalu
mengusung universalitasnya secara membabi buta. Secara praktis, setiap aspek
dalam sains Islam telah dibentuk dan diwarnai oleh keyakinan dan sistem nilai
Islam yang pada ujung-ujungnya akan menambah keyakinan pada keagungan ilahiyah
(rabbanâ mâ khalaqta hâdzâ bâthilâ,
QS, Ali Imran, 191), suatu upaya yang mengarahkan sebagian aktivitasnya untuk
memenuhi berbagai kebutuhan religius spesifik. Sehingga dalam hal ini, sains
Islam dalam batas-batas tertentu berjalan antara dimensi-dimensi keuniversalan
dan kepartikularannya[52]. Untuk itulah dalam mengkaji isi kitab manaqib,
nampaknya akan terjadi tarik menarik antara dua kutub yang berbeda, yakni sesuatu
yang bisa dijelaskan secara universal dan aspek-aspek partikular yang mungkin
hanya para sufi pernah merasakan religiusitasnya saja yang betul-betul objektif
mengetahuinya, sebagai mana kata Dzu Nun al-Mishry, “man lam yadzuq lam ya’rif”, orang yang belum merasakan tidak akan
menemukan sejatinya kebenaran, termasuk dalam hal ini pengalaman karamah.
[1] KH Jamil Ahmad seorang wartawan Pakistan
dan karya ini telah mendapat sambutan luar biasa, baik dari kalangan muslim
maupun orientaslis seperti Arnold J.Toynbee, Rushbrook Williams, maupun dari
pemerintahan Arab Saudi Raja Faisal bin Abdul Aziz.. Karya ini ditulis pertama
kali tahun 1970-an dan mendapat penghargaan dari sejumlah pembaca dan beberapa
kali naik cetak. Karyanya berjudul The One Hundred Great Muslims, Ferozsons Ltd, Lahore Pakistan, edisi
3, tahun 1984. Edisi Indonesia di
terjemahkan dengan judul, Seratus Muslim Terkemuka, terj.Pustaka
Firdaus, 1994 edisi keempat.
[2] Jamil Ahmad, The One Hundred Great Muslims,
Ferozsons Ltd, Lahore Pakistan, edisi 3, tahun 1984, h.106-108
[3]Lihat karyanya
Philosophy and Scienca in the Islamic World, Croom Helm Limited, London,
1988. Karya C.A.Qadir ini
telah mendapat apresiasi dari Nurcholis Madjid sebagai pengantar dalam edisi
Indonesianya dengan judul, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam,
terj.Hasan Basari, Yayasan Obor Indonesia, 1991.Dalam pengantarnya Cak Nur
menyatakan: “Buku yang membahas filasafat dan Ilmu pengetahuan di dunia Islam
ini dikerjakan dikerjakan dengan mutu kesarjanaan yang dapat dihandalkan.
Sebagai panduan antara penerapan metodologi ilmiah modern dan penguasaan materi
dari khazanah klasik, buku ini sekaligus memberi contoh suatu kemungkinan bentuk
tradisi intelektual Islam zaman kini”. Hal;viii.
[4]
C.A.Qadir, Philosophy and Scienca in the Islamic World, Croom Helm
Limited, London, 1988 h. 107-108
[5]AJ.Arberry, Sufism; An Account of the Mystics of Islam,
Edinburgh University Press, 1979; 108-109
[6] Dalam kajian ini yang dimaksud kelompok
puritanis adalah mereka-mereka yang pada umumnya ingin mengembalikan pemulihan
pemahaman keagamaan pada dasar-dasar teks al-Qur’an maupun pada hadist-hadist shoheh atau menurut para ahli hadits dianggap shoheh.
Sehingga tidak jarang kelompok puritanis, kebanyakannya adalah mereka-mereka
yang memiliki latar belakang dan keahlian dalam bidang ilmu hadits, sehingga
kecenderungan mereka memiliki pemahaman yang sangat tekstual sangat jelas.
Lihat Ensiklopedi Islam, jilid 3.
PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994
[7] Lihat Abdur
Rahman Abdul Khalik, Penyimpangan-penyimpangan
Tasawuf, Rabbani Press, Jakarta, 2001. Abdul Qadir Djaelani, Koreksi Terhadap Ajaran Tasawuf, Gema
Insani Press, Jakarta, 1998. Hartono Ahmad Jaiz, Mengikis Penyelewengan Akidah
Islam, Pustaka Rabbani, Jakarta 2004. Abdussalam Qobbaz, Doktrin-doktrin
Wahabisme, Risalah Gusti, 2007.
[8] Imran AM
adalah salah seorang pemikir muda dari
Pesantren Persis Bangil. Ia sangat menguasai dalam bidang dakwah dan
menunjukkan pemikirannya yang sangat fundamental. Hal ini terlihat dari
kemampuannya dalam argumentasi dalam melakukan perdebatan yang
gagasan-gagasannya selalu disandarkan atas teks-teks al-Qur’an dan
hadist-hadits Nabi SAW yang sangat ketat.
[11] Hingga kini penulis belum temukan
karya sejarahanya. Informasi ini didapatkan dari ulasan Habibullah al-Sindy, seorang cendekiawan dari
kalangan Wahabiyah. Lihat Abd al-Qodir bin Habibullah al-Sindy, al-Tasawwuf
fi Mizan al-Bahts wa al-Tahqiq fi
Dlaui al-Kitab wa al-Sunnah, Tauzi’ Maktabah Ibn al-Qoyyim al-Madinah
al-Nabawiyyah, 1990;506
[12] Abdul
Qodir al-Sindy, al-Tashawwuf fi al-Mizân, h. 506
[13] Abdul
Qodir al-Sindy, al-Tasawwuf
fi al- Mizân, h.507 - 508
[14] Abdul
Qodir al-Sindy, al-Tasawwuf
fi al- Mizân,h. 509
[15] Imran
AM, Kitab Manaqib, h. 7
[16] Lihat
Majid Fakhry, Philosophy and Theology, dalam John L.Esposito, The Oxford Hitory of Islam, Oxford University Press, 1999; 269-303
[17]Lihat juga
komentar G.W.J.Drewes dan R.Perbatjaraka,
De Mirakelen van Abdulkadir Djaelani, Bandung 1938, terjemah oleh M.Amir
Sutarga, berjudul Kisah-kisah Ajaib Syekh Abdulkadir Jaelani, Pustaka
Jaya, 1990; 20-22.
[18] Carra de Vaux, “Abdul Qodir
al-Jilany” dalam Encyclopedia of
Religion and Ethics.Vol
1, ed.James Hastings, MA.DD, Edinburgh; T.&T. Clark, and New York,1908;11
[19] Gagasan Carra de Vaux tentang keberadaan
Syekh ‘Abd al-Qâdir al-Jîlâniy, bisa dillihat pada entri yang ia tulis dalam Encyclopedia
of Religion and Ethics.Vol 1, ed.James Hastings, MA.DD, Edinburgh;
T.&T. Clark, and New York,1908;10-12. Di sini disebutkan dalam aspek-aspek
tertentu karakternya sangat dipengaruh oleh model ajaran Kristiani seperti
kedermawanan, kehati-hatian, kerendahan dan kelembuatan hati dan sebagainya
yang ia rumuskan dan diaplikasikannya dalam pembinaan bagi para sufi.
[20] Ignac
Goldzihar, A Short History of Classical Arabic Literature, Translited,
revised, and enlarged by Joseph Desomogyi, (Georg Olm Verlagsbuchhandlung
Hildesheim, Berlin, Germany), 1966, h. 54-57
[21] Untuk perbandingan dan kritik terhadap
gerakan orientalisme dalam pembentukan wacana-wacana keislaman, lihat
Edward W. Said, Orientalisme (New York, Vintage Books) 1979. Kajian kritis tentang
orientalisme di http://www.darulkautsar.com/orientalis.htm/4/21/2008
[22] Kelompok-kelompk yang tergabung dalam gerakan
Wahabi sangat keras dalam menolak keberadaan berbagai jenis kitab manaqib,
bukan hanya terjadi di Saudi Arabia saja, tapi juga di Indonesia banyak
dipelopori oleh gerakan ormas keagamaan Persis (Persatuan Islam). Bahkan
keberadaan beberapa tokoh-tokoh sufi, telah mendapat kritikan dan tinjauan
ulang secara tajam berdasarkan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-haditas yang mereka temukan. Hingga
kini Kerajaan (mamlakah) Saudi Arabia
masih gencar untuk melakukan penghapusan dalam pemahaman tawasul, kewalian dsb.
Terbukti dengan masih disebarkannya secara gratis ke seluruh jama’ah haji untuk
mendapat buku-buku yang berisi pada penolakan terhadap sesuatu yang berbau
sufisme. Beberapa buku yang diedarkan tersebut di antaranya; Abdul Aziz bin
Abdullah bin Baz, al-Imậm Muhammad bin
Abdul Wahhậb Da’watuh wa Sîratuh; Muhammad bin Abdurrahman al-Khumais, I’tiqậd al-Aimmah al-Arba’ah; Abdul Aziz
bin Muhammad Abdulathif, al-Tauhid li
al-Nậsyi’ah wa al-Mubtadiîn dan lain-lain. Untuk studi yang cukup bagus dalam
melihat berbagai kritikan terhadap konsep-konsep tasawuf secara umum dalam
tinjauan al-Qur’an dan al-Sunnah, lihat Abd al-Qodir bin Habibullah al-Sindy, al-Tasawwuf fi Mỉzan
al-Bahsi wa al-Tahqỉq fi Dlau’i al-Kitậb wa al-Sunnah, Maktabah Ibn
al-Qoyyim al-Madinah al-Nabawiyah, 1990. Imran A.M, Kitab Manaqib Syekh Abdul Kadir Jilani Merusak Akidah Islamiyah,
Bangil al-Muslimun, 1984
[23] Imran. A.M, Kitab Manaqib, h. 7-8
[24] Bisa dilihat dari lahirnya sejumlah
karya kitab manaqib dengan judul-judul yang sangat variatif, merupakan realitas
dan fakta dari adanya kelompok pencipta dan pengagum dalam sisi yang lain
tentang kitab manaqib. Termasuk berbagai penerbit terkenal dan penerbit tidak
dikenal masih terus mencetak ulang karya-karya jenis kitab manaqib, sehingga
secara realistik dan menandakan bahwa teks jenis KMSA masih terus hidup dan
terus dihidupkan ditengah-tengah masyarakat penggunanya.
[25]Syaikh
Dliyauddin al-Kumsyakhnawy, Jậmi’ al-Ushữl
fi al-Awliya, Mathba’ah al-Haromain, tt, ;22
[26] Frans
F. Rosenthal, A History of Muslim
Historiography, E.J.Brill, Leiden,1968;5
[27] Lihat, W.H.Walsh, Philosophy of History, h. 114-116, Hans Meyyerhof, The Philosophy of History in Our Time,
Dubleday New York, 1959, h.1-5. David
Jary and Julia Jary, The Harper Collins
Dictionary of Sociology, HarperPerenial, USA,1991;212
[28]W.H.Walsh, Philosophy of History, h. 114, Edward Hallet Carr, What is History, Penguin Paper Back,
London, 1976; 1-36
[29]Hasan al-Syârqawy, Mu’jam Alfâdl al-Shûfiyyah, Muassasah
Mukhtâr, Kairo, 1987, h.6
[30]Abd
Wahhab al-Sya’rany, Thabaqât al-Kubrâ,
Dar Fikr, h.4-7 C.H.Pellet, Manaqib, Encyclopaedia
of Islam, Koninklijke Brill NV, Leiden Netherlans, vol.VIII, 2007; 11. Hasan al-Syârqawy, Mu’jam Alfâdl,
h. 7- 9. Muhammad ‘Aly Baidlun, al-Safînah
al-Qôdiriyyah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 2002
[31] Maurice
Merleaui-Ponty, The Structure of Behavior,
London: Methuen, 1965, h.199
[32] Christopher
Lloyd, Explanation in Social History,
Basil Blackwell, USA, 1986, h.34-36
[33] Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Rake Sarasin, Yogyakarta,1998;87
[34] John Passmora, Expalanation in
Everyday Life, in Science, and in History” dalam George H.Nadel (ed.) Studies in the Philosophy of History:
Selected Essays from History and Theory, Harper Torchbooks, New York, 1965;
hal.16-34
[35] Quentin
Lauer, Phenomenology: its Genesis and
Prospect, Harper & Row, New York, 1959, h.79
[36]
Mengenai penjelasan pemikiran Martin Heideger, lihat Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Penerbit
Kanisius Jakarta, 1985, h. 150-156
[37]Harold H.Titus (et.al), Living Issues in Philosophy, Wadsworth
Publishing Company,Inc.California USA,1979, h.398
[38] Edmund
Husserl, The Crisis of European Science and
Transcendental Phenomenology, Free Press, New York, 1978, h.69
[39] Adam
Kuper and Jessica Kuper, The Social
Science Encyclopedia, h.753-756
[40] Harun
Hadiwijono, Sari Sej.Filsafat,
h.140-144
[41]Koentjaraningrat
& Donald K.Emmerson (ed), Aspek
Manusia Dalam Penelitian Masyarakat, PT.Gramedia, Jakarta, 1985;vii-xx
[42] Kuntowidjoyo, Penjelasan (Explanasi) Sejarah,
Tiara Wacana, 2008; 2
[43] Kuntowidjoyo, Penjelasan, h. 3-5
[44] Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, h,12-13
[45] Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, h.177
[46] Harold H.Titus (et.al), Living Issues in Philosophy, h.404-405
[47] Harold H.Titus (et.al), Living Issues, h. 254
[48]Adnan
Aslan, Religious Pluralism in Christian
and Islamic Philosophy: The Thought of John Hick and Seyyed Hossain Nasr (Menyingkap
Kebenaran) terj. Munir, Penerbit Alifya, Bandung,2004;93
[49] Wayne Proudfoot, Religious
Experience, University California Press, Berkeley & London, 1985;
184-185
[50]Van Der
Meulen, Pengajaran Sejarah Dewasa ini
Dalam Ilmu Sejarah dan Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1987. Louis
Gotschalk, Understanding to History,
46
[51] Muhyiddin Irbily, Tafrikh
al-Khâtir fi Manâqib Syaikh ‘Abd al-Qôdir, Mustaha Bab al-Halaby, 1328 H.,
h.4-6. Konsep fenomena ruh atau gejala ruhaniyyah ini, nampaknya selaras dengan
apa yang digambarkan oleh Junaid al-Baghdady, bahwa fenomena ruh manusia adalah
bagian dari pengetahuan ilahiyyah yang seringkali ditampakkan dalam diri
manusia. Lihat Abu Bakar al-Kalabadzy, al-Ta’arruf
li Madzhaby Ahl Tashawwuf, Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyyah, 1969,
h.83-84
[52] Osman
Bakar, Tawhid and Science; Islamic
Perspectives on Religion and Science, Selangor Dar Ehsan, Malaysia, 2008,
h. 36-37
Tidak ada komentar:
Posting Komentar