Oleh DR. ASEP SALAHUDIN, MA
(Dekan Fak. Syariah IAILM)
(Dekan Fak. Syariah IAILM)
Abah
Anom adalah panggilan popular K.H. Shohibul Wafa Tajul Arifin. Mursyid
(guru spiritual) sekaligus Sesepuh Pondok Pesantren Suryalaya yang berlokasi di
Tanjungkerja Kabupaten Tasikmalaya. Pesantren yang berhaluan Tarekat Qadiriyah
Naqsyabandiyah yang sekarang menginjak usia ke-105 tahun dan puncak miladnya
akan diperingati tanggal 10 Oktober 2010 tentu telah mengalami dinamika yang
panjang. Terbentang mulai jaman kolonial, pergulutan menumpas gerombolan DI
(Darul Islam) sampai sekarang zaman reformasi. Usia yang lebih tua dari
kemerdekaan bangsa sendiri.
Di
tangan Pangersa Abah Anom Suryalaya menjadi pesantren yang cukup terkemuka di
Jawa Barat, cabangnya menyebar di Jawa, Bali, Kalimantan, Sumatera sampai ke
Malaysia, Singapura dan Tailand sesuai dengan karakteristik tarekat itu sendiri
yang sangat lentur dan cair. Dalam lanskap kepesantrenan, kita sulit menemukan
‘pesantren Sunda’ dapat berkiprah di Jawa, kalau tidak dikatakan justru
sebaliknya. Hampir susah kita dapati kelompok santri dari Jawa Tengah atau Jawa
Timur (meminjam tipologi Cliffod Geertz) talabul ilmi ke pesantren yang ada di
Sunda, justru yang terjadi adalah rasa kurang afdol kalau kelompok santri Sunda
belum pernah mesantren ke Jawa walaupun hanya sekadar ngalap berkah.
Ada banyak karya yang
telah ditorehkannya. Sebagaimana nampak dari ratusan penghargaan yang telah
didapatkannya termasuk penghargaan dari negera seberang. Penghargaan atas
dakwah inklusifnya, concern kebudayaan sampai penghargaan atas kiprah dan rasa kaheman-nya yang tidak disangsikan lagi
terhadap tradisi kesundaan. Salah satu karya otentiknya adalah pengembangan
pondok rehabilitasi untuk korban NAPZA yang dikenal dengan inabah dan telah
mendapatkan pengakuan dari PBB.
Sisi
menarik
Salah satu sisi menarik yang dikembangkannya
adalah ajarannya yang sangat inklusif dan amat menjunjung tinggi spirit
multikulturalisme namun tetap mentakzimkan budaya lokal (tradisi kesundaan).
Sehingga menjadi sangat tidak aneh kalau yang datang adalah dari berbagai lapisan masyarakat mulai dari
pejabat sampai rakyat. Mulai dari yang
normal sampai yang otaknya miring karena kecanduan narkoba. Dari kalangan
jelata sampai yang kaya raya. Dari kota Tasikmalaya sampai Malaysia. Mulai dari
Singaparna sampai Singapura. Datang dengan beragam motif tentu saja.
Semua dilayani tanpa nampak rasa lelah di wajahnya sampai ketika beliau harus
duduk di kursi roda sekalipun. Datang
dalam antrian yang panjang apalagi kalau dalam momen manakiban sebulan sekali.
Berkah dan karamah menjadi sebuah diksi
yang melampaui komunikasi-komunikasi yang bersifat verbalistik. Orang datang
cukup membawa air, antri dan mencium tangan auratiknya sembari menyampaikan
hajat untuk minta didoakan tanpa harus banyak menghamburkan kata-kata.
Inilah barangkali khodimul ummah (pelayan
masyarakat) dalam makna yang tuntas. Bukan sekadar wacana. Pelayan rakyat tanpa
sebuah pretensi untuk menjadi wawakil
rakyat sebagaimana kecenderungan manusia mutakhir. Politik tidak
dimaknai sebagai meraih kekuasaan dengan ”menjual” masyarakat, namun politik
sebagai katup kebudayaan untuk meraih keadaban hidup.
Politik luhur yang melampaui kepentingan
dangkal dan sesaat. Bahkan ketika dahulu sangat akrab dengan negara Orde Baru
dan berkarib dengan Penguasa Tunggal Soeharto, ternyata dalam konteks kebendaan
sama sekali negara Orde Baru itu tidak pernah memberikan sumbangan berarti untuk
pengembangan pendidikan yang notabene
merukapan kewajiban konstitusinya kecuali sekadar silaturahmi kemanusiaan. Karena
memang bukan itu nawaetunya. Godaan politik praktis, sama sekali tidak
memikatnya.
Sosok guru ruhaniah yang tidak pernah
berhenti ngumawula ka wayahna, menjadi tempat bersandar dari setiap
keluh kesah (jadi gunung pananggehan), dan homo tuna sumujud
(tidak akan pernah berhenti mengabdi).
Melampaui doktrin
Inilah sesungguhnya makna otentik dari
aksentuasi ajaran agama yang inklusif. Agama yang menjadi papayung masyarakat
dari tempaan krisis (werit),
kekeringan, chaos (bancang pakewuh), kegelisahan (harengreng),
dan penuh kekhawatiran (loba karingrang kahariwang).
Agama yang tidak terjebak dalam fanatisme
doktrinal yang membabi buta sebagaimana nampak dari manifesto religiositasnya
yang selalu di baca dalam setiap acara manakib yang dikenal dengan tanbih: ”Ari sebagi agama, saagamana-saagamana,
nurutkeun surat Alkafirun ayat 6: “agama anjeun keur anjeun, agama kuring keur
kuring”, surahna ulah jadi papaseaan kudu akur jeung batur-batur tapi ulah
campur baur”.Geuning dawuhan sepuh baheula Sina logor dina liang jarum, ulah sereg di buana. Lamun urangna henteu kitu tangtu hanjakal
di akhirna. Karana anu matak tugeunah terhadep badan urang masing-masing eta
teh tapak amal perbuatanana.”
Inklusivitas yang berangkat dari paradigma
keberagamaan untuk selalu menghargai keragaman sebagai fakta sosial tak
terhindarkan yang mensyaratkan pensikapan-pensikapan toleran dan terbuka.
Perbedaan dimaknai bukan sebagai sumber konflik tapi sarana untuk memperkaya
pengalaman ruhani.
Mereka yang berbeda dalam pemahaman bahkan
keyakinan tidak disikapi sebagai ’orang lain’, namun dipandang dalam semangat
persekutuan kekitaan. Mengingatkan kita pada
tafsir Gabriel Marcel,
persekutuan tuntas dan sempurna itu hanya bisa di bangun di atas landasan: aku
bertemu engkau secara pribadi
sehingga aku-engkau menjadi kita. Persekutuan yang dijangkarkan
di atas haluan panggilan ketuhanan. Toi Absolu: jadi basis metafisis
dari setiap relasi antarmanusia sehingga dalam tarekat Suryalaya di penghujung
doa senantiasa diserukan untuk berpegang teguh hanya kepada tali Tuhan dan
tidak pernah terbersit untuk bercerai berai, untuk memisahkan diri dari negara
kesatuan (wa’tashimu bi hablillahi jamia wa la tafarraqu). Itulah
sebabnya filsuf yang menobatkan dirinya sebagai neo-sokratisme itu mengatakan, “Pertemuan
dengan orang lain adalah keniscayaan untuk menunjukkan eksistensi kita. Bukan
persoalan ada dan tidak ada tapi satu kemustian yang tidak dapat ditawar lagi.”
Dalam Rangeuyan mutiara suluk Qadiriyah
Naqsyabandiyah Suryalaya tercatat:
Ulah
ngewa ka ulama sajaman
Ulah nyalahkeun kana pangajaran batur
Ulah mariksa murid batur
Ulah medal sila upama kapanah
Kudu asih ka jalma nu mikangewa ka maneh
Ulah nyalahkeun kana pangajaran batur
Ulah mariksa murid batur
Ulah medal sila upama kapanah
Kudu asih ka jalma nu mikangewa ka maneh
Agama yang selalu menanamkan sikap optimis
dalam menjalani kehidupan. Menyerukan tentang keniscayaan merayakan kehidupan
dengan penuh kegembiraan dengan cara tidak pernah alpa memenuhi haluan hajat
batin dan pada saat yang sama mencukupi kebutuhan badan sebagaimana dalam
ajarannya ”Ulah kabaud ku pangwujuk napsu, kagendam ku panggoda syetan, sina
awas kana jalan anu matak mengparkeun kana parentah agama jeung nagara sina
telik kana diri bisi katarik ku iblis anu nyelipkeun dina bathin urang
sarerea…kudu arapik tilik jeung pamilih, dina nyiar jalan kahadean lahir bathin
dunya akherat sangkan ngeunah nyawa betah jasad, ulah jadi kabengkahan anu
disuprih cageur bageur”
Suluk seperti itulah yang dalam konteks
sekarang sangat dibutuhkan justru di tengah jaman yang seringkali jatuh dalam
kutub ekstrem dan penuh kekerasan Suluk inklusif dan toleran yang dapat menjadi duta untuk
menampilkan wajah agama yang rahmatan lil ’alamin. (Pikiran Rakyat, September 2011)***
seharusnya nilai-nilai tersebut yang difahami oleh kaum intelektual jaman sekarang ya pak,,,tapi ketika kita mengemukakannya dalam discuss umum justru kerap kali kita dianggap liberal.
BalasHapusTanbih begitu dalam dan indah, berharap semua orang dapat mengerti maksud yang ingin disampaikan Pangersa Abah Sepuh. Jauh dari fanatisme dan kebencian antar manusia maupun golongan.
BalasHapus