Senin, 01 Oktober 2012

Suluk Inklusif Suryalaya



Oleh DR. ASEP SALAHUDIN, MA
(Dekan Fak. Syariah IAILM)

Abah Anom adalah panggilan popular K.H. Shohibul Wafa Tajul Arifin. Mursyid (guru spiritual) sekaligus Sesepuh Pondok Pesantren Suryalaya yang berlokasi di Tanjungkerja Kabupaten Tasikmalaya. Pesantren yang berhaluan Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah yang sekarang menginjak usia ke-105 tahun dan puncak miladnya akan diperingati tanggal 10 Oktober 2010 tentu telah mengalami dinamika yang panjang. Terbentang mulai jaman kolonial, pergulutan menumpas gerombolan DI (Darul Islam) sampai sekarang zaman reformasi. Usia yang lebih tua dari kemerdekaan bangsa sendiri.


Di tangan Pangersa Abah Anom Suryalaya menjadi pesantren yang cukup terkemuka di Jawa Barat, cabangnya menyebar di Jawa, Bali, Kalimantan, Sumatera sampai ke Malaysia, Singapura dan Tailand sesuai dengan karakteristik tarekat itu sendiri yang sangat lentur dan cair. Dalam lanskap kepesantrenan, kita sulit menemukan ‘pesantren Sunda’ dapat berkiprah di Jawa, kalau tidak dikatakan justru sebaliknya. Hampir susah kita dapati kelompok santri dari Jawa Tengah atau Jawa Timur (meminjam tipologi Cliffod Geertz) talabul ilmi ke pesantren yang ada di Sunda, justru yang terjadi adalah rasa kurang afdol kalau kelompok santri Sunda belum pernah mesantren ke Jawa walaupun hanya sekadar ngalap berkah.

Ada banyak karya yang telah ditorehkannya. Sebagaimana nampak dari ratusan penghargaan yang telah didapatkannya termasuk penghargaan dari negera seberang. Penghargaan atas dakwah inklusifnya, concern kebudayaan sampai penghargaan atas kiprah dan rasa kaheman-nya yang tidak disangsikan lagi terhadap tradisi kesundaan. Salah satu karya otentiknya adalah pengembangan pondok rehabilitasi untuk korban NAPZA yang dikenal dengan inabah dan telah mendapatkan pengakuan dari PBB.

Sisi menarik

Salah satu sisi menarik yang dikembangkannya adalah ajarannya yang sangat inklusif dan amat menjunjung tinggi spirit multikulturalisme namun tetap mentakzimkan budaya lokal (tradisi kesundaan). Sehingga menjadi sangat tidak aneh kalau yang datang adalah dari  berbagai lapisan masyarakat mulai dari pejabat sampai rakyat.  Mulai dari yang normal sampai yang otaknya miring karena kecanduan narkoba. Dari kalangan jelata sampai yang kaya raya. Dari kota Tasikmalaya sampai Malaysia. Mulai dari Singaparna sampai Singapura. Datang dengan beragam motif tentu saja. Semua dilayani tanpa nampak rasa lelah di wajahnya sampai ketika beliau harus duduk di kursi roda sekalipun.  Datang dalam antrian yang panjang apalagi kalau dalam momen manakiban sebulan sekali.

Berkah dan karamah menjadi sebuah diksi yang melampaui komunikasi-komunikasi yang bersifat verbalistik. Orang datang cukup membawa air, antri dan mencium tangan auratiknya sembari menyampaikan hajat untuk minta didoakan tanpa harus banyak menghamburkan kata-kata.

Inilah barangkali khodimul ummah (pelayan masyarakat) dalam makna yang tuntas. Bukan sekadar wacana. Pelayan rakyat tanpa sebuah pretensi untuk menjadi wawakil rakyat sebagaimana kecenderungan manusia mutakhir. Politik tidak dimaknai sebagai meraih kekuasaan dengan ”menjual” masyarakat, namun politik sebagai katup kebudayaan untuk meraih keadaban hidup.

Politik luhur yang melampaui kepentingan dangkal dan sesaat. Bahkan ketika dahulu sangat akrab dengan negara Orde Baru dan berkarib dengan Penguasa Tunggal Soeharto, ternyata dalam konteks kebendaan sama sekali negara Orde Baru itu tidak pernah memberikan sumbangan berarti untuk pengembangan pendidikan yang notabene merukapan kewajiban konstitusinya  kecuali sekadar silaturahmi kemanusiaan. Karena memang bukan itu nawaetunya. Godaan politik praktis, sama sekali tidak memikatnya.  

Sosok guru ruhaniah yang tidak pernah berhenti ngumawula ka wayahna, menjadi tempat bersandar dari setiap keluh kesah (jadi gunung pananggehan), dan homo tuna sumujud (tidak akan pernah berhenti mengabdi).

Melampaui doktrin

Inilah sesungguhnya makna otentik dari aksentuasi ajaran agama yang inklusif. Agama yang menjadi papayung masyarakat dari tempaan krisis  (werit), kekeringan, chaos (bancang pakewuh), kegelisahan (harengreng), dan penuh kekhawatiran (loba karingrang kahariwang).

Agama yang tidak terjebak dalam fanatisme doktrinal yang membabi buta sebagaimana nampak dari manifesto religiositasnya yang selalu di baca dalam setiap acara manakib yang dikenal dengan tanbih: ”Ari sebagi agama, saagamana-saagamana, nurutkeun surat Alkafirun ayat 6: “agama anjeun keur anjeun, agama kuring keur kuring”, surahna ulah jadi papaseaan kudu akur jeung batur-batur tapi ulah campur baur”.Geuning dawuhan sepuh baheula Sina logor dina liang jarum, ulah sereg di buana. Lamun urangna henteu kitu tangtu hanjakal di akhirna. Karana anu matak tugeunah terhadep badan urang masing-masing eta teh tapak amal perbuatanana.”  

Inklusivitas yang berangkat dari paradigma keberagamaan untuk selalu menghargai keragaman sebagai fakta sosial tak terhindarkan yang mensyaratkan pensikapan-pensikapan toleran dan terbuka. Perbedaan dimaknai bukan sebagai sumber konflik tapi sarana untuk memperkaya pengalaman ruhani.

Mereka yang berbeda dalam pemahaman bahkan keyakinan tidak disikapi sebagai ’orang lain’, namun dipandang dalam semangat persekutuan kekitaan. Mengingatkan kita pada tafsir  Gabriel Marcel, persekutuan tuntas dan sempurna itu hanya bisa di bangun di atas landasan: aku bertemu engkau  secara pribadi sehingga aku-engkau menjadi kita. Persekutuan yang dijangkarkan di atas haluan panggilan ketuhanan. Toi Absolu: jadi basis metafisis dari setiap relasi antarmanusia sehingga dalam tarekat Suryalaya di penghujung doa senantiasa diserukan untuk berpegang teguh hanya kepada tali Tuhan dan tidak pernah terbersit untuk bercerai berai, untuk memisahkan diri dari negara kesatuan (wa’tashimu bi hablillahi jamia wa la tafarraqu). Itulah sebabnya filsuf yang menobatkan dirinya sebagai neo-sokratisme itu mengatakan, “Pertemuan dengan orang lain adalah keniscayaan untuk menunjukkan eksistensi kita. Bukan persoalan ada dan tidak ada tapi satu kemustian yang tidak dapat ditawar lagi.”

Dalam Rangeuyan mutiara suluk Qadiriyah Naqsyabandiyah Suryalaya tercatat:

Ulah ngewa ka ulama sajaman
Ulah nyalahkeun kana pangajaran batur
Ulah mariksa murid batur
Ulah medal sila upama kapanah
Kudu asih ka jalma nu mikangewa ka maneh

Agama yang selalu menanamkan sikap optimis dalam menjalani kehidupan. Menyerukan tentang keniscayaan merayakan kehidupan dengan penuh kegembiraan dengan cara tidak pernah alpa memenuhi haluan hajat batin dan pada saat yang sama mencukupi kebutuhan badan sebagaimana dalam ajarannya ”Ulah kabaud ku pangwujuk napsu, kagendam ku panggoda syetan, sina awas kana jalan anu matak mengparkeun kana parentah agama jeung nagara sina telik kana diri bisi katarik ku iblis anu nyelipkeun dina bathin urang sarerea…kudu arapik tilik jeung pamilih, dina nyiar jalan kahadean lahir bathin dunya akherat sangkan ngeunah nyawa betah jasad, ulah jadi kabengkahan anu disuprih cageur bageur”

Suluk seperti itulah yang dalam konteks sekarang sangat dibutuhkan justru di tengah jaman yang seringkali jatuh dalam kutub ekstrem dan penuh kekerasan Suluk inklusif  dan toleran yang dapat menjadi duta untuk menampilkan wajah agama yang rahmatan lil ’alamin. (Pikiran Rakyat, September 2011)*** 

2 komentar:

  1. seharusnya nilai-nilai tersebut yang difahami oleh kaum intelektual jaman sekarang ya pak,,,tapi ketika kita mengemukakannya dalam discuss umum justru kerap kali kita dianggap liberal.

    BalasHapus
  2. Tanbih begitu dalam dan indah, berharap semua orang dapat mengerti maksud yang ingin disampaikan Pangersa Abah Sepuh. Jauh dari fanatisme dan kebencian antar manusia maupun golongan.

    BalasHapus