Senin, 01 Oktober 2012

PRAKTIK POLIGAMI DI KALANGAN PARA KIAI (Studi Konstruksi Sosial Poligami para Kiai Pesantren di Jawa Timur)


Oleh: Dr. Roibin, MHI

Abstrak
 

Secara historis, praktik poligami di beberapa negara dunia hampir menjadi fakta empirik yang tidak bisa dipungkiri lagi, baik secara formal (terang-terangan) maupun non formal (illegal). Namun demikian dalam konteks negara tertentu, sebut saja Indonesia misalnya, poligami di mata masyarakat mayoritas masih dianggap sebagai perilaku yang tidak baik. Sebaliknya, poligami menjadi akrab melabeli simbol kharismatika kiai, utamnya kiai pesantren di Jawa Timur.  

 
Kiai dimana-mana identik dengan poligami itu. Oleh karena itu bagi kiai tertentu yang belum berpoligami dianggap belum sempurna tingkat kekiaiannya. Dengan demikian pada satu sisi poligami secara umum kurang memperoleh respon positif, namun di sisi yang lain poligami justru dianggap sebagai simbol status sosial tersendiri bagi seorang kiai. Apa faktor sosio-kultural yang melatar belakangi terjadinya perbedaan yang mencolok antara perilaku kiai dan bukan kiai? Sehubungan dengan itu penelitian ini akan melihat bagaimana pemahaman dan praktik poligami kiai pesantren yang ada di Jawa Timur. Selanjutnya dari pemahaman itu diharapkan akan ditemukan tipologi kiai berdasarkan penggolongan sosio-religiositasnya. Selain itu, penelitian ini juga ingin mengetahui dampak pemahaman dan praktik poligami kiai tersebut bagi institusi dan pola hubungan interaksi antara kiai dengan masyarakat, santri, dan para istri kiai.
 

Sesuai dengan karakter datanya, penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan paradigma definisi sosial. Sementara teori yang lebih relevan untuk mendekatinya adalah teori konstruksi sosial Berger dan Luchmann, yaitu suatu teori yang diharapkan mampu melihat bagaimana proses dialektika kiai dengan hakikat poligami itu sendiri.
 


Sesuai dengan rumusan penelitian yang diajukan, terdapat tiga temuan penelitian yang masing-masing temuan itu adalah 1. ada dua corak pemahaman para elit kiai pesantren tentang poligami, yaitu pemahaman normatif dan sosiologis. 2) dari pemahaman itu, diketahui pula pola penggolongan sosio-religiositas, yaitu penggolongan normatif-teologis dan normatif humanistis. 3) Sedangkan dampak  pemahaman dan praktik poligami para kiai di atas, tidak bisa lepas dari pola penggolongan sosio-religiositasnya. Bagi penggolongan kiai normatif-teologis akan berdampak statis bagi institusi yang dipimpinnya, sebaliknya bagi penggolongan kiai yang normatif-humanistis akan berdampak maju dan dinamis bagi institusi yang dipimpinnya. 

A. Latar belakang
 

Pemahaman dan praktik poligami belakangan ini, marak dibincangkan banyak ahli, baik dari kalangan agamawan, budayawan, seniman, maupun ilmuwan. Tidak hanya itu, berbagai mass media, baik cetak maupun elektronik ikut pula meramaikan isu ini. Lebih-lebih ketika seorang da’i KH. Abdullah Gimnastiar (AA Gim), tepatnya pada tanggal 1 Desember 2006 (Kompas, 1 Desember 2006 : 1) menyunting seorang mantan model beranak tiga sebagai pernikahan keduanya. Fenomena itu tidak saja menuai banyak protes di kalangan aktifis perempuan, (Kompas, 3 Desember 2006 : 1), namun berbagai kritik juga muncul dari komunitas ibu-ibu pengajian yang selama ini dibina oleh sang kiai sendiri.
 

Praktik poligami yang berkembang di Indonesia sebagaimana yang dilakukan oleh AA Gim, bukanlah isu baru, melainkan ia telah ada sejak jaman nenek moyang pra Islam. Jika kita cermati jauh setelah itu, pada era 60 an misalnya, praktik poligami di Indonesia banyak dilakukan di kalangan kelompok-kelompok pejabat pemerintah, dari sana lahirlah UU No 1 tahun 1974 tentang persyaratan yang relatif memberatkan secara tidak langsung di kalangan para suami yang ingin melakukan praktik poligami.
 

Beberapa aturan yang dipandang memberatkan tersebut terutama terlihat dalam UU No 1 tahun 1974 pada Bab I tentang Dasar Perkawinan, pasal 3, 4 dan 5 ( Sudarsono, 1991 : 288-289). Dari aturan yang termaktub pada pasal di atas seakan-akan kecil sekali ruang bagi seorang suami untuk bisa melakukan praktik poligami, kecuali dengan cara yang tidak legal (siri).
Sebaliknya, di tengah-tengah sulitnya ruang untuk melakukan praktek poligami itu, muncul komunitas kiai pesantren yang berhasil melaksanakan praktik poligami dengan sedemikian mulusnya tanpa menuai problem apapun. Lebih dari itu terdapat sebagian masyarakat tertentu yang merasa bangga jika putrinya telah dinikahi sebagai istri kedua, ketiga maupun keempat oleh seorang kiai.
Sepintas, praktik  poligami yang dilakukan oleh masyarakat selama ini tidak banyak yang menggunakan dalih teologis atau agama, tetapi poligami lebih dipraktikan sebagai tuntutan biologis, yang sangat alamiyah. Sementara itu perilaku perkawinan poligami di kalangan para kiai pesantren acapkali menggunakan dalih teologis maupun agama. Apakah karena simbol otoritatif kiai pesantren yang diperkuat dengan dalih agama maupun dalih teologis, mengakibatkan praktik poligami para kiai pesantren tersebut memperoleh legitimasi dari masyarakat? Ataukah karena basis budaya kepesantrenan juga ikut melegitimasi keabsahan poligami seorang kiai?
Dari fenomena di atas muncul satu kesan  bahwa implementasi poligami yang ada di masyarakat masih  cenderung dilatar belakangi oleh tujuan yang sepihak, kadang karena tuntutan biologis, atau teologis. Padahal dalam pernikahan dituntut untuk memenuhi dua hal kebutuhan mendasar yang saling berkelindan, yaitu keinginan biologis di satu sisi dan tuntutan kapasitas teologis di sisi yang lain ( QS, Al-Nisa’ : 1-5). Secara ideal tuntutan biologis tersebut hendaknya diimbangi dengan kapasitas teologis. Dengan demikian mencairnya batas-batas simbolik antara Norma Teologis dan biologis dalam sebuah perkawinan akan terwujud. Karena konsepsi poligami secara teoretis tidak cukup dianggap sebagai persoalan biologis, namun juga persoalan teologis.
Tidak sedikit perilaku berpoligami yang ada di masyarakat yang  menggunakan tameng teologis/ agama, sekalipun orientasinya adalah murni biologis.  Sehubungan dengan itu fenomena mencairnya batas-batas simbolik antara teologis dan biologis tidaklah mudah untuk dicermati kemudian disimpulkan. Fenomena tersebut perlu diobservasi secara mendalam, setelah data diperoleh secara berulang-ulang baru kemudian dideskripsikan secara sistematis dan objektif. Disinilah pokok persoalan penelitian  akan diungkap. Lebih spesifik penelitian ini akan diawali dengan rumusan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

B. Rumusan Masalah
Dari fenomena di atas, akan lebih relevan jika penelitian ini diawali dengan  pertanyaan bagaimana pemahaman para kiai pesantren di Jawa timur tentang poligami, selanjutnya mempertanyakan konfigurasi penggolongan sosio-religius para kiai yang melakukan praktik poligami dan apa dampak yang ditimbulkan dari praktik-praktik poligami tersebut, baik dampak institusi maupun interaksi antara kiai dengan santri, kiai dengan isteri ke-I, II, III dan ke-IV.

C. Kegunaan Penelitian
1. Teoretis :  Menemukan konsepsi teoretis baru melalui konstruksi sosial para kiai  pesantren tentang pemahaman poligami (fiqh poligami) dan tipologi sosio-religius para kiai dalam berpoligami.
2. Praktis :
- Institusi Pesantren : Menemukan pola baru tentang relasi poligami seorang    kiai, institusi pesantren dan struktur sosial kiai.
- Institusi Pemerintah : Bahan pertimbangan dan kebijakan pemerintahan dalam melihat sistem hukum perkawinan di Indonesia.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.    Poligami dalam Perspektif Islam
Ta’adduduz zaujat yang berarti berbilangnya isteri, secara normatif teologis terdapat dalam teks suci al-Qur’an (QS: 4: 3). Term ta’adudu al-zaujat ini seringkali diidentikkan dengan poligami. Kata poligami berasal dari bahasa Yunani Poly atau polus yang berarti banyak dan Gamein beararti kawin atau perkawinan. Jadi poligami berarti “suatu perkawinan yang banyak atau suatu perkawinan yang lebih dari seorang baik pria maupun wanita”. Dengan demikian poligami memiliki dua arti sekaligus, yaitu poliandri dan poligini. Poliandri adalah perkawinan seorang perempuan dengan lebih dari seorang laki-laki, sedangkan poligini adalah perkawinan seorang laki-laki dengan lebih dari seorang perempuan ( Dahlan Abd Aziz, 1994 :  107).  Oleh karena itu secara terminologi, ta’adudu al-Zaijat lebih tepat diidentikan dengan istilah poligini, hanya saja secara umum istilah poligami ini terlanjur salah diidentikan dengan ta’adudu al-Zaujat.
Menurut Soemiyati Poligami adalah perkawinan antara seorang laki-laki dengan lebih dari seorang wanita dalam waktu yang sama ( Sumiyati, 1999 : 74). Ahmad Khuzaeri juga memberikan devinisi poligami adalah perkawinan dengan dua orang perempuan atau lebih dalam waktu yang sama. Pengertian ini berkembang dan mengalami pergeseran sehingga makna poligami dipakai untuk laki-laki beristeri banyak, sedangkan poligini tidak lazim dipakai (Ahmad Khuzeiri, 1995 : 105). 

B.Poligami Dalam Lintasan Sejarah
Berbicara mengenai latar belakang sejarah poligami, sebagaimana telah dikemukakan oleh Amer Ali, bahwa pada semua bangsa-bangsa Barat dimasa purbakala, poligami dianggap sebagai suatu kebiasaan yang dibolehkan. Karena dilakukan oleh raja-raja yang melambangkan ketuhanan, banyak orang menganggapnya bahwa praktik poligami itu sebagai perbuatan suci. Bagi orang Hindhu, poligami dilakukan dengan meluas sejak zaman bahari. Seperti juga pada orang Median dahulu kala, orang Babilonia, Assiria dan bangsa Persi pun tidak membatasi mengenai jumlah wanita yang boleh dikawini oleh seorang laki-laki (Abd. Qadir Jaelani, 1995 : 169).
Di Thracia, Lidia dan bangsa-bangsa Pelasgia yang tinggal dibeberapa bagian Eropa dan Asia Barat, kebiasaan kawin banyak tersebar amat luas sekali, jauh lebih luas dari tempat lain dimana pun juga.
Di Athena, yang paling beradab dan paling tinggi kebudayaannya diantara semua zaman purbakala, harga wanita tidak lebih dari harga hewan, yang bisa dijual dipasar dan diperjual belikan kepada orang lain, serta bisa diwariskan (Abd. Qadir Jaelani, 1995 : 169).
Beberapa orang ahli  mengakui bahwa beristeri banyak itu tidak immoral dan bahwa Nabi Isa as secara mutlak atau tegas tidak melarang kebiasaan itu dan mereka mengatakan bahwa kebiasaan monogami sekarang ini, yang boleh dikatakan umum diseluruh Eropa, disebabkan pengaruh gagasan Jerman atau Yunani-Romawi atas agama Kristen. Pandangan terakhir ini nyata-nyata bertentangan dengan kenyataan dan sejarah yang tidak dapat dipercaya.
Sesungguhnya Islam tidak memulai poligami, tetapi membatasi jumlahnya dan pada waktu yang sama, menetapkan persyaratan yang tegas baginya. Dikalangan sebagian besar bangsa dan masyarakat yang menerima Islam, Praktek ini adalah lumrah dan atas perintah Islam mereka harus menyesuaikan diri dengan batas-batas dan persyaratan yang ditetapkan oleh Islam (Murtadha Muthahhari, 2001 : 211). Dengan demikian poligami bukanlah model perkawinan yang hanya ada pada Islam, melainkan poligami menjadi trend dan isu perkawinan global ( Yusuf Wibisono, 1980 : 47).
Di Meksiko, Peru, Jepang dan Tiongkok setiap laki-laki hanya mempunyai seorang isteri yang sah, tetapi di balik itu mereka memiliki wanita idaman lain (wil). Anak-anak yang lahir dari wanita idaman lain pun bagi mereka sama-sama sahnya dengan anak-anak yang lahir dari isterinya sendiri (Yusuf Wibisono, 1980 : 47). Keadaan ini telah menggambarkan bahwa pada prinsipnya laki-laki itu adalah poligam. Praktik poligami itu juga telah terjadi di antara bangsa Yahudi sampai abad pertengahan. Raja Sulaiman misalnya, ketika itu mempunyai 700 isteri dan 300 selir. Tradisi poligami itu terjadi secara regeneratif, dari masa ke masa hingga dewasa ini, utamanya di kalangan orang-orang Yahudi di negeri-negeri Islam.
Lebih dari itu, perspektif Qur’an pun  mengizinkan kepada seorang laki-laki muslim mempunyai empat isteri dengan catatan adil (QS : 4: 233), termasuk agama Hindu. Demikian juga orang-orang Romawi, mereka secara lahir menganut monogami secara tegas, namun mempunyai simpanan-simpanan gelap di balik yang legal sebagai isterinya. Di Eropa, perspektif Agama Kristen memandang bahwa poligami kadang-kadang diperbolehkan atau dibiarkan. St. Augustinus tidak mengutuk poligami. Luther mengizinkan kepada Pangeran Philips von Hessen untuk kawin dengan dua orang isteri dan setelah perdamaian Westphalen, poligami diperbolehkan di Jerman, karena surutnya jumlah penduduk. Para Mitresse raja-raja dewasa ini adalah peninggalan dari poligami. Kristus tidak mengutuk poligami dalam agamanya. Betapa poligami bisa merajalela di kalangan raja-raja dan pembesar-pembesar, dibuktikan oleh Negro dari Loango, yang mempunyai 7000 orang isteri, sedangkan kepala bangsa Fiji harus “puas” dengan 20-100 isteri”saja”.

C. Kiai dan Poligami dalam Berbagai Sudat Pandang
Terminologi kiai menurut pandangan Ziemek (Khotibul Umam, 2003: 4) tidak berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa. Kiai menurut Ziemek berarti makna yang agung, keramat dan dituahkan. Simbol itu melekat pada orang laki-laki yang lanjut usia, arif dan dihormati.
Dunia kiai menurut pandangan Gustur adalah dunia yang unik dan rumit. Kerumitan ini didasarkan pada suatu alasan bahwa dunia kiai tidak sesederhana untuk digeneralisasikan ke dalam kelompok ulama tradisional, mengingat begitu banyaknya gelar/ simbol kiai yang melekat pada elemen-elemen tertentu. Pada perkembangan berikutnya gelar kiai lebih akrab ke dalam simbol ulama tradisional, namun kini kiai juga telah melekat pada ulama modernis, baik di pulau Jawa maupun di luar Jawa (Pradjarta Dirjosanjoto, 1999: XIII).
Lebih spesifik gelar kiai dalam bukunya Pradjarta juga dialamatkan kepada orang yang ahli dalam bidang agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren, yang bertugas untuk mendalami kitab-kitab klasik kepada santrinya ( Zamakhsyari Dhofier, 1985: 55).  Selain gelar seorang kiai mereka juga disebut dengan orang alim atau ulama ( Ensiklopedi Hukum Islam, 1999: 213.
Sedikit berbeda dengan Geertz, kiai menurutnya adalah seorang guru dalam pondok pesantren, demikian juga setiap sarjana agama islam maupun umum juga bisa disebut dengan kiai ( Dawam Rahardjo, 1993 : 171). Sebagaimana tema kajian dalam penelitian ini kiai dimaksudkan adalah sebagaimana pandangan Dhofier dan Geertz, yaitu seorang guru agama yang alim yang menjadi pimpinan pesantren. Sebagaimana layaknya kita ketahui bersama bahwa kiai yang dimaksudkan hampir sebagian besar melakukan praktik poligami, lebih-lebih kiai pesantren yang ada di Madura. Praktik poligami ini, menurut informasi sementara justru mengangkat citra dan status sosial bagi seorang kiai pesantren. Terangkatnya citra dan status sosial itu juga dirasakan oleh keluarga wanita yang putrinya dinikahi oleh seorang kiai, sekalipun menjadi istri yang ke dua, ke tiga maupun yang ke empat.
Sementara itu juga, tradisi poligami di kalangan para kiai pesantren, utamanya di Madura juga telah memperoleh respon positif bagi masyarakat setempat. Indikasi ini terlihat sekali ketika masyarakat memasrahkan anaknya kepada seorang kiai untuk dijadikan sebagai isteri kiai. Nampaknya ada kepuasan tersendiri bagi masyarakat ketika anaknya yang dipasrahkan kepada kiai tersebut diterima oleh kiainya untuk menjadi isteri kiai. Mengapa fenomena ini bisa terjadi? Apakah karena faktor pesantren, budaya ataukah kharismatika dan otoritas seorang kiai.  Sementara itu persoalan poligami ini akan menjadi isu yang sangat mencolok sekali ketika persoalan poligami ini muncul di tengah-tengah kalangan masyaraka umum.
Inilah yang mengilhami peneliti untuk lebih jauh ingin mengetahui tentang berbagai alasan-alasan sosialnya, sekaligus dampaknya kepada para santri dan isteri-isterinya.

BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan paradigma definisi sosial. Sementara teori yang digunakan adalah teori kontruksi sosial Berger dan Thomas Luckmann. Dalam teori Berger dikenal dengan istilah eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi ( Haris Supratno : 240). Penelitian ini menggunakan kategori jenis penelitian kualitatif, dengan memilih lokasi penelitian di Jawa Timur, Dipilihnya lokasi tersebut karena dinilai bahwa Jawa Timur adalah representasi para kiai pesantren yang melakukan praktik poligami.
Sumber data penelitian ini terdiri dari data primer, yaitu data dasar yang diperoleh peneliti dari orang pertama, dari sumber asalnya yang belum diolah dan diuraikan oleh orang lain (Hilman Hadikusumo, 1995: 65), sedangkan dalam penelitian ini yang menjadi data primer adalah data yang diperoleh dari hasil interview dengan subjek penelitian. Subjek penelitian dalam penelitian ini dibatasi para Kiai Pesantren di Jawa Timur yang berpoligami, antara lain kiai di Malang, Jombang, Lamongan, Mojokerto dan Madura. Selain data primer, penelitian ini juga membutuhkan data sekunder, yaitu sumber informasi ( informan) yang secara langsung tidak memiliki wewenang dan informasi akan keadaan data tersebut (Hilman Hadikusumo, 1995: 65).
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan teknik observasi, yaitu cara pengamatan langsung kepada subjek penelitian guna memperoleh gambaran yang nyata mengenai konsep sosial poligami kiai, pengaruh pesantren bagi proses poligami kiai, pengaruh poligami bagi santri, masyarakat dan para isteri kiai. Selain dengan cara tersebut, penelitian ini juga menggunakan teknik wawancara mendalam dengan subjek penelitian dan para informan yang telah ditentukan.
Pengolahan data akan dilakukan secara bertahap, yaitu di lapangan dengan memberikan kode (koding), classifiying, verifiying, Analizing dan concluding. Sedangkan penelitian kali ini akan menggunakan analisis deskriptif kualitatif.

BAB IV
PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
Dalam penelitian ini telah ditemukan dua model tipologi penggolongan sosio-religiositas para kiai pesantren di Jawa Timur tentang bagaimana pemahaman poligami dan implementasinya. Tipologi itu diperoleh setelah melakukan proses wawancara mendalam, baik dengan para kiai, istri-istri kiai, santri maupun dengan masyarakat sekitarnya. Selain juga dengan pengamatan langsung selama penelitian berlangsung. Dua tipologi penggolongan sosio-religiositas para kiai tentang bagaimana pemahaman dan praktik poligaminya adalah sebagai berikut :
Pertama : Pemahaman dan praktik poligami kiai yang normatif-humanistis. Pemahaman dan praktek poligami kiai yang normatif-humanistis dimaksud adalah pemahaman dan praktik poligami yang telah membumi, yaitu pemahaman poligami kiai yang mampu mempertemukan semangat seruan teks suci ( sistem nilai) dengan makna kontekstualitas ajaran universalitas teks tersebut ke dalam tataran praksis  kehidupan (sistem kognisi). Dampak pemahaman dan praktik poligami kiai model ini telah menimbulkan berbagai dampak mashlahah diantara para istri-istrinya, apalagi kepada santri dan masyarakatnya. Apresiasi masyarakat, santri dan istri-istri kiai terhadap sikap pemahaman kiai tentang poligami yang berkembang di masyarakat pesantren pada umumnya, semakin lama semakin memperoleh legitimasi dan justifikasi publik. Sehubungan dengan itulah eksistensi kiai semakin kuat dan diposisikannya sebagai figur segala-galanya.
Beberapa alasan pemahaman normatif-humanistis yang melatarbelakangi (because motive) mereka melakukan praktik poligami itu antara lain : 1). Menempatkan harkat dan martabat wanita 2). Mengankat dan merubah status sosial kaum wanita 3). Teman berjuang mengembangkan Islam 4). Memperbanyak kader-kader muslim yang berkualitas 5). Memperbanyak kader-kader muslim yang cerdas, bermoral, dan beramal  6). Mentradisikan budaya tolong-menolong antara yang kuat dan yang lemah 7). Karena anjuran agama.
Kedua :. pemahaman dan praktik poligami kiai yang normatif-teologis. pemahaman dan praktik poligami kiai yang normatif-teologis dimaksud adalah pemahaman yang hanya diinspirasi oleh adanya seruan teks suci an sich, tanpa diimbangi dengan upaya-upaya dan perilaku yang humanis. Sikap dan praktik poligami bagi komunitas kiai ini dianggap hanya sebagai sistem nilai dan bukan sistem kognisi yang selalu berkembang menyesuaikan muatan-muatan kearifan lokalnya. Akibatnya, dampak poligami kiai pesantren tersebut banyak menyisakan problem-problem sosial, baik terhadap istrinya, santrinya, masyarakatnya, maupun interaksi antar istri yang ada. Tidak jarang dari perilaku poligami kiai dengan model kedua ini telah membuat hubungan antar istri-istrinya tidak harmonis, bahkan saling tidak menyapa, belum lagi sikap masyarakat dan santri terhadap kiai tersebut.
Beberapa alasan pemahaman normatif-teologis yang melatarbelakangi (because motive) mereka melakukan praktik poligami itu antara lain adalah karena seruan agama 2) wanita harus dipimpin oleh laki-laki 3) wanita adalah bagian dari laki-laki dan ke 4) wanita itu lemah. Semua alasan normatif teologis ini selalu mengacu dan didasarkan pada sumber nilai (kitab sucinya). Sementara, cara pemahaman dan penafsirannya terhadap kitab suci itu adalah dengan pendekatan tekstual, ialah pendekatan lafad dan bahasa. Dimensi historisitas teks, seakan-akan oleh komunitas ini diabaikan.
Konstruksi Sosial Poligami :
Eksternalisasi, Objektivasi dan Internalisasi

1. Eksternalisasi : Momen Adaptasi Diri
Dalam teori konstruksi sosial Berger dan Luckmann, eksternalisasi merupakan langkah pertama yang dilakukan oleh seorang aktor. Bagi seorang aktor, ekternalisasi merupakan momentum untuk mengadaptasikan dirinya dengan kondisi sosio-kulturalnya. Secara teoretik proses penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural itu bisa dideskripsikan sebagaimana berikut : 
Pertama : Penyesuaian terhadap produk pemahaman keagamaan, baik secara teks maupun lisan.

Pemahaman keagamaan itu pada umumnya adalah   upaya keras para pemimpin agama dalam mengkaji dan menafsirkan ajaran agama melalui teks sucinya , baik teks suci yang tertulis (al-Qur’an, al-Hadits, turats) maupun teks suci lisan ( fatwa-fatwa, keutamaan-keutamaan, kisah-kisah, maupun cerita-cerita atau legenda yang dilanggengkan dengan cara mengulang-ulangnya.
Hasil pemahaman keagamaan yang terinspirasi dari kumpulan teks tersebut di atas, baik yang tertulis maupun lisan tidak jarang telah dipakai sebagai pedoman dan pijakan yang mampu menjustifikasi keyakinan para kiai secara regeneratif, mengenai benar atau tidaknya keutamaan poligami itu. Semakin sering dan semakin lama hasil pemahaman keagamaan itu dipedomani dan dipraktikkan, maka nilai-nilai legitimasinya semakin kuat dan membudaya. Dengan demikian disadari atau tidak, hasil pemahaman melalui teks suci di atas (al-Qur’an dan al-Hadits), termasuk beberapa kitab turats yang lain, telah memberikan penjelasan bahwa pada esensinya terdapat produk pemahaman dari beberapa teks suci  yang menjadi pedoman, sekaligus menjustifikasi kebenaran dan keabsahan adanya  konsep poligami dalam islam. 
Praktik perkawinan poligami, adalah bentuk legitimasi yang dibangun lewat teks suci keagamaan maupun teks lisan hasil konstruksi pemahaman dan penafsiran para ulama pendahulu Islam. Kuatnya legitimasi poligami tersebut tentu saja tidak bisa lepas dari kuatnya pengaruh sejarah lisan secara periodik, yang mengatakan bahwa poligami itu adalah medium yang sangat efektif bagi para kiai untuk mengembangkan misinya.
Kedua : Penyesuaian diri terhadap kebiasaan atau tradisi kiai dalam melakukan praktik poligami.

Secara umum poligami adalah isu yang menarik bagi masyarakat, utamanya bagi para kiai pesantren. Poligami yang dilakukan oleh para kiai pesantren di mata masyarakat adalah suatu kewajaran dan bahkan ia telah lama memperoleh legitimasi yang kuat dari masyarakat. Belum lagi, bagi masyarakat tertentu status kiai sangat ditentukan oleh jumlah nominal istrinya. Dengan kata lain jumlah nominal istri kiai, oleh masyarakat tertentu dianggap sebagai bagian penting yang menentukan ada atau tidaknya kharismatika kiai itu sendiri.  
Dalam menyikapi image masyarakat secara umum terhadap kebiasaan kiai melakukan praktik poligami, tindakan individu para kiai hampir bisa dikatakan memiliki sikap serupa, yaitu menerima dan menganggap apa yang dilakukannya itu adalah positif. Hanya saja, keyakinan individu para kiai dalam mengimplementasikan  tradisi poligami yang ada, senantiasa tampil dengan pola dan kecenderungannya masing-masing. 1). Adakalanya yang berpihak pada konstruksi pemahaman poligami secara normatif-teologis 2). Menolak konstruksi pemahaman normatif-teologis dan 3). memilih konstruksi pemahaman poligami yang normatif-humanistis.
Objektivasi : Momen Interaksi Diri dengan Dunia Sosio-Kultural
Di dalam momen interaksi diri dengan dunia sosio-kultural, realitas sosial itu seakan-akan berada di luar diri manusia. Pada saat yang sama ia menjadi realitas objektif. Karena berada dalam realitas yang objektif, seakan ia berada di dalam dua realitas, yaitu realitas diri yang subjektif dan realitas lainnya yang berada di luar diri yang objektif. Dari dua realitas itulah terbentuk hubungan interaksi intersubjektif melalui proses pelembagaan dan institusionalisasi. Proses di dalam objektivasi itu dapat digambarkan sebagai berikut :
Pertama :  Kyai dan manusia biasa adalah dua laqab yang jauh berbeda, bahkan kontradiksi, baik dalam konteks  keilmuan keagamaannya maupun  spiritualitas dan semangat perjuangannya.

Orientasi hidup tindakan individu untuk sampainya pada tingkatan kiai  yang digambarkan di atas, diperlukan adanya tahap penyadaran diri bahwa kiai itu betapapun adalah hamba Allah yang memiliki nilai plus. Kiai itu adalah hamba Allah yang memiliki kelebihan, baik dari tingkat keilmuan keagamaannya maupun tingkat spiritualitasnya. Kiai adalah hamba Allah yang selalu memiliki kontribusi signifikan di tengah-tengah kehidupan masyarakatnya. Ia  juga sebagai hamba yang mengalami kedekatan kepada Allah. Dengan kata lain ia adalah hamba yang shaleh, baik secara individual maupun secara sosial.
Kedua : Selain beberapa kelebihan di atas, Kyai adalah seseorang yang memiliki kekuatan supranatural-metafisis, sementara manusia biasa hanyalah memiliki kekuatan dan jangkauan objek yang lebih bersifat natural-empiris.
Agar bisanya kesadaran seperti itu bangkit dari diri sendiri, maka dalam waktu yang bersamaan diperlukan proses penyadaran yang diimbangi dengan dalil-dalil yang sampai kepada Nabi Muhammad. Indikasi munculnya kesadaran itu bisa dilihat dari kecenderungan masyarakat yang memohon agar kiranya kiai tersebut berkenan menjadi mediator (wasilah) dalam berdo’a guna menyalurkan seluruh cita-cita masyarakat agar dikabulkan oleh Allah SWT. Oleh karena itu do’a sang kiai bagi masyarakat tertentu adalah segala-galanya, ia bisa berubah menjadi kekuatan obat bagi yang sakit, baik fisik maupun psikis.
Ketiga : pelembagaan atau proses institusionalisasi, yaitu suatu proses untuk membangun kesadaran menjadi tindakan.
Di dalam proses pelembagaan tersebut, nilai-nilai yang menjadi pedoman di dalam melakukan interpretasi terhadap tindakan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan. Dengan begitu apa yang disadari adalah apa yang dilakukan.     Dalam melakukan amalan dengan cara menggunakan wasilah-wasilah kiai, tidak menutup kemungkinan pada perkembangan berikutnya, mereka mengetahui siapa kiai itu dan apa yang akan diperolehnya dengan menggunakan wasilah kiai tersebut. Jika mereka melakukan ritual dalam berwasilah itu, maka pada akhirnya mereka juga tahu apa  arti pentingnya upacara tersebut bagi dirinya. Pada esensinya melalui proses pelembagaan tersebut tindakan individual telah diperhitungkan secara matang  dan terkonsep dengan baik, sehingga tindakannya itu menjadi tindakian rasional bertujuan.
Keempat : habitualisasi atau pembiasaan, yaitu proses dimana tindakan rasional bertujuan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Karena itu momen ini adalah momen yang tidak diperlukan lagi  berbagai penafsiran terhadap tindakan, karena tindakan tersebut telah menjadi bagian dari sistem kognitif dan sistem evaluatifnya. Dengan demikian ketika suatu tindakan telah berubah menjadi sesuatu yang habitual, maka berarti telah berubah menjadi tindakan yang mekanis.       
Dari keseluruhan proses di atas, kata kuncinya hanya terletak pada adanya agen yang memainkan peran sebagai seorang individu atau sekelompok individu untuk memproses tentang penyadaran, pelembagaan dan habitualisasi. Oleh karena itu semua proses pelembagaan dan habitiualisasi tidak bisa lepas dari peran agen.

3. Internalisasi : Momen Identifikasi Diri dalam Dunia Sosio-Kultural
Internalisasi adalah tindakan individu melakukan identifikasi diri dalam dunia sosio-kulturalnya. Momen ini juga berarti sebagai momen penarikan kembali realitas sosial ke dalam diri sendiri, atau penarikan realitas sosial menjadi kenyataan subjektif. Realitas sosial itu bisa dipahami sebagai realitas yang berada pada diri manusia. Dengan cara itu, maka diri manusia akan teridentifikasi di dalam dunia sosio-kulturalnya. Lebih jelas internalisasi juga bisa dipahami sebagai proses penarikan nilai-nilai objektif dari ranah sosio-kultural ke dalam realitas subjektif pada masing-masing individu. Joachim Wach (1996) mengatakan bahwa setiap individu akan cenderung mengelompok dengan individu-individu lain yang memiliki kesesuaian dalam hal perilaku, pemikiran dan ritual.
 

Pandangan di atas menunjukkan bahwa secara natural, manusia sebagai makhluk sosial, senantiasa memiliki kecenderungan hidup berkelompok. Kecenderungan manusia berkelompok itu bukan karena hasil rekayasa manusia, melainkan secara kodrati manusia akan berkelompok sesuai dengan latar historis masing-masing kelompok tersebut. Jika manusia berada di dalam identitas yang sama, maka sekat-sekat interaksi sama sekali tidak dijumpai. Jika komunitas itu terdiri dari sesama komunitas normatif-teologis, maka dengan leluasa diantara mereka bisa melakukan interaksi secara intensif. Hal yang sama juga dialami oleh komunitas normatif-humanistis. Interaksi diantara mereka betul-betul tidak dijumpai adanya sekat-sekat yang merintanginya.
 

Dalam konteks tertentu interaksi diantara normatif-teologis dan normatif-humanistis kadang senada dan sesuai. Kecocokan itu misalnya, ketika sama-sama berada dalam satu niat dan tujuan. Namun demikian dalam situasi tertentu pola interaksi antara kedua kubu tersebut, betul-betul akan membatasi dan menghalangi ruang gerak kehidupan mereka. Dengan kata lain dalam segmen tertentu secara leluasa kedua kelompok itu mampu berkomunikasi, namun dalam segmen lain akan saling membatasi diri. Keadaan inilah yang membuat adanya jarak dan batas yang memisahkan secara alamiah dari dua komunitas tersebut.
Itulah sebabnya potret para kiai pesantren terlihat adanya penggolongan-penggolongan sosio-religiositas yang unik dengan sederet karakteristiknya masing-masing. Antara karakteristik yang satu dengan yang lain tidak jarang menunjukkan kecenderungannya yang variatif dan kadang kontradiktif. Namun demikian tidak menutup kemungkinan pula dijumpai  kemiripan-kemiripan karakteristik diantara mereka.       
Penggolongan sosio-religiositas para kiai pesantren itu tentunya tidak bisa lepas dari latar basis nilai dan historisitas yang panjang.  Basis historis antara komunitas normatif-teologis dan normatif-humanistis dalam beberapa aspek bisa dilihat, baik secara teoretik maupun empiris mengenai perkembangan keberagamaannya di tengah-tengah masyarakat. Secara umum dua komunitas tersebut tidak menggambarkan adanya perbedaan teologis, melainkan hanya pada perbedaan ranah penekanan kajian dan pola pemikiran keagamaan serta kecenderungan pola hidupnya.
Bagi kelompok normatif-teologis mayoritas masih berada pada tingkat keagamaan yang tekstual, sementara kelompok normatif-humanistis adalah kelompok  yang berada pada tingkat pemahaman keagamaan yang kontekstual. Komunitas yang kedua ini setelah ditelaah secara historis, tidak sedikit berasal dari hasil konfersi dari kelompok normatif-teologis. Terjadinya proses konfersi itu adakalanya melalui proses pemahaman kognitif pada satu sisi, namun pada sisi yang lain konfersi itu terjadi karena kesadaran afektif, yaitu rasa emosi keagamaan. Oleh karena itu secara umum kelompok normatif-humanistis ini pun tidak berarti seteril dari kalangan normatif-teologis.
Lebih jelasnya, kelompok normatif-teologis adalah mayoritas kelompok keberagamaan yang tekstual, baik cara pemahaman, pelaksanaan ritual, keyakinan keagamaan maupun pola interaksi dan komunikasinya. Beragama diukur dari kepatuhannya kepada teks suci yang telah dipahami secara tekstual pula. Karena itu keterbatasan konstruksi pemahaman poligaminya juga karena keterbatasannya dalam memahami ruang lingkup pemahaman agama itu sendiri.
 

Sedangkan kelompok normatif-humanistis adalah kelompok keberagamaan yang tingkat pemahaman kegamaannya lebih holistik (menyeluruh), Pemahaman keagamaan yang lintas batas antara teks dan konteks. Pemahaman keagamaan yang berupaya mendealektikkan nilai-nilai idealita dan nilai-nilai realita, sekalipun beberapa aspek tertentu tidak menutup kemungkinan model ini juga akan berkolaborasi dengan cara dan tradisi pemahaman kelompok tekstual.  Melalui penggolongan sosio-religiositas di kalangan para kiai itulah muncul tipologi baru dalam penelitian ini, antara lain komunitas normatif-teologis dan komunitas normatif-humanistis. 
Konstruksi sosial poligami di kalangan para kiai pesantren, melalui proses eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi di atas bisa diringkas dalam tabel sebagai berikut :

Tabel 9.4
Dialektika Eksternalisasi, Objektivasi, dan Internalisasi
Momen    Proses    Fenomena
 

Eksternalisasi    Penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural    Menyesuaikan diri dengan hasil pemahaman keagamaan para elit agama melalui teks suci, baik tertulis maupun lisan. Menyesuaikan diri dengan simbol-simbol otoritatif kekiaian dan basis pesantren tentang pola kebiasaan para kiai yang melakukan praktik poligami
Objektivasi    Interaksi diri dengan dunia sosio-kultural    Penyadaran bahwa kiai tidaklah sama dengan manusia biasa, karena itu semua elemen yang terkait dengan kiai  tersebut selalu dianggap berpetuah dan sakral. Penyadaran bahwa kiai memiliki kekuatan supernatural dan metafisis yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan manusia biasa. Kesadaran ini muncul karena adanya kesadaran bahwa kiai itu memiliki pengalaman spiritual yang lebih intens dan lebih dekat kepada-Nya. Atas dasar inilah maka muncul kesadaran bahwa kiai diyakini bisa dijadikan sebagai mediator (wasilah) kepada Allah. Adanya pembiasaan tindakan melaui pengulangan dan pelanggengan tradisi poligami lewat berbagai varian tindakan (pengajian, pengarahan, pendoktrinan oleh para elit dan tokoh agama melalui ruang dan medan budaya).
Internalisasi    Identifikasi diri dengan dunia sosio-kulturalnya    Munculnya penggolongan sosial yang didasarkan atas pertimbangan teologis dan humanis, sehingga tindakan-tindakan para kiai yang normatif, humanis, dan normatif-humanistis tampak adanya perbedaan-perbedaan signifikan. Berawal dari perbedaan inilah lahir tipologi baru dengan ungkapan komunitas kiai normatif-teologis dan komunitas kiai  normatif-humanistis.


BAB V
PENUTUP
 

Ada dua hal mendasar dalam penelitian ini yang perlu disimpulkan. Pertama, Mengenai bagaimana pemahaman dan praktik para kiai pesantren di Jawa Timur tentang poligami. Sesuai dengan hasil pemaparan dan analisis data dengan pendekatan teori konstruksi sosial Berger dan Luchmann, terdapat dua model pemahaman dan praktik poligami kiai yang terlihat sangat kontradiksi.
 

Dua model pemahaman itu ialah 1). Pemahaman dan praktik poligami kiai yang normatif, ialah pemahaman yang hanya mengandalkan teks. Menangkap semangat ayat hanya semata-mata berpatokan pada lafad tanpa dikompromikan dengan pengalaman dan situasi serta kondisi sosio-kultural yang melingkupinya.  2) Pemahaman sosiologis, ialah pemahaman yang mencoba mendialogkan antara fakta lapangan, fakta sosial dengan maksud teks secara konstektual. Semangat ayat suci al-qur’an menurut komunitas ini berada pada asbab dirayahnya, yaitu sebab-sebab kontekstual (sosial, sejarah, politik, budaya, ekonomi) yang melingkupi turunya teks itu. Sekalipun sebab-sebab bi al-Riwayat melalui sebab nuzulnya ayat tetap juga diyakininya. Dengan demikian komunitas model kiai yang kedua ini dalam memahami makna poligami selalu mengacu pada sistem nilai ( bi al-riwayat/ teks) dan juga sistem kognisi ( bi al-dirayat/ konteks) yang melingkupi teks tersebut.
 

 Berawal dari cara pemahaman yang berbeda inilah, kiai yang ada di Jawa Timur ini bisa dikelompokkan menjadi dua penggolongan sosio-religiositas, yaitu penggolongan yang didasarkan pada tingkat keluasan dan tingkat pemahaman keagamaannya masing-masing. Dua penggolongan sosio-religiositas itu adalah   komunitas kiai normatif-teologis dan komunitas kiai normatif-humanistis. Komunitas pertama cenderung agak abai terhadap masyarakat, baik masyarakat sekitar, santri maupun istri-istrinya sendiri. Akibatnya, kiai dengan model ini kurang popular dan tidak disegani oleh masyarakatnya. Sementara komunitas kedua adalah tipologi kiai yang cenderung menyatu dan berinteraksi dengan masyarakat, baik masyarakat lingkungannya, santrinya apalagi para istri-istrinya. Akibat logis model kiai yang kedua ini adalah sangat popular dan memiliki kharismatika tersendiri di mata masyarakatnya.
Dampak secara institusional dari komunitas kiai normative-teologis adalah kurang adanya dinamisasi-dinamisasi institusi, karena tidak adanya kekompakan komunikasi maupun interaksi antar berbagai aspek, yaitu aspek masyarakat lingkungan, santri maupun istri-istrinya dengan kiai itu sendiri. Sementara bagi kemunitas kiai normative-humanistis adalah sebaliknya. Sikap mereka akan sangat menguntungkan institusinya. Hal ini masuk akal karena komunikasi antar mereka, yang terbangun melalui ikatan emosional dari masing-masing elemen masyarakat terintegrasi secara kuat. Antara elemen masyarakat umum dengan kiainya, antara elemen masyarakat santri dengan kiainya, demikian juga antara istri-istrinya dengan kiainya, semuanya terbangun interaksi yang sehat dan kuat. Alasan inilah yang membuat institusi yang dipimpinnya semakin memperoleh legetimasi dari masyarakat luas, sehingga akan mengalami kemajuan yang pesat dan dinamis.


DAFTAR PUSTAKA

Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (dari Denzin Guba dan Penerapannya), (Yogyakarta : PT. Tiara Wacana, 2001).
Bagi anggapan-anggapan dari berbagai perkumpulan wanita mengenai soal ini, bacalah: P. Blum Berger, De Nationalistise Bewenging in Ned.Indie,
Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, ( Bandung : Mizan, 1993)
 Ensiklopedi Hukum Islam, ( Jakarta : PT . Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999).
 Fatimma Mernissi, Woman and Islam : An Historical and Theological Enquiry, (Oxford : Casil Blackwall)
 George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004)
Goelam Ahmad: “De Leerstellingen van de Islam”.
 Haris Supratno, Konstruksi Teori Ilmu-Ilmu Sosial, Kumpulan Disertasi Program Studi Ilmu-Ilmu Sosial Pragram Pascasarjana Airlangga.
 Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, (Bandung : Mandar maju, 1995).
 Khotibul Umam, Pola Kepemimpinan Kiai dalam Pengelolan Pondok Pesantren Mahasiswa, (Studi Kasus Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Nurul Huda Mergosono Malang, Tesis MA,  (UIN Malang : 2003).
 Lexy J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosda Karya, 2000).
Les Editions Georges-Anguetil, Rue Boudreau, Paris (IX) 1923
Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta : LkiS, 2005).
Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Umat Kiai Pesantren, Kiai Langgar di Jawa, (Yogyakarta : LkiS, 1999).
QS. Al-Nisa ; 233 ,  QS. Al-Nisa ; 1-5, QS. Al-Nisa : 233
Richard C. Martin, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, Terj. Zakiyyuddin Baidhawy, (Surakarta : Muhammadiyah University Press,  2001).
Surya, Jum’at 1 Desember 2006.
Surya, Minggu  Desember 2006.
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta : PT. Melton Putra, 1991). Sebagai tambahan informasi baca juga Endang Sumiarni, Kedudukan Suami Istri dalam Perkawinan (Kajian Kesetaraan Jender Melalui Perjanjian Kawin), (Yogyakarta : Wonderful Publishing Company, 2004).
Suharsimi Arikunto,  Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek, ( Jakarta : Rineka Cipta : 1998).
Sutrisno Hadi, Metodologi Research Jilid I, ( Yogyakarta : Andi Offset, 1999).
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,  (Jakarta : UI- Press, 1986).
Saifullah, Buku Ajar : Metodologi Penelitian Hukum Jilid I (Malang : STAIN Malang, 2003).
Winarno Surachmad, Dasar dan Teknik Research, ( Bandung : CV. Tarsito, 1978).
Yusuf Wibisono, Monogami Atau Poligami : Masalah Sepanjang Masa, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1980).
 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, ( Jakarta : LP3ES, 1985).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar