Senin, 01 Oktober 2012

Studi Kritis Tafsir Sufi


Oleh DR. CECEP ALBA, MA
(Rektor IAILM Tasikmalaya)
         
Secara  faktual tafsir sufi wujud dalam hazanah intelektual Islam  sebagai rangkaian pemikiran sufistik yang menempati ruang kosong kekeringan spiritual ajaran Islam. Sungguhpun demikian, keberadaannya masih mengundang perdebatan di kalangan para ulama, terutama di kalangan para fuqaha. Untuk menghadirkan tafsir sufi yang bersih dan argumentatif, dalam bab berikut ini, akan penulis angkat bagaimana wacana yang berkembang di kalangan mufassirin menyangkut validitas tafsir sufi ini sekaligus penulis kemukakan argumentasi masing-masing yang menyetujui eksistensinya dan yang menolak kehadirannya. 

A.    Pro dan Kontra  terhadap Tafsir Sufi
Kaum sufi berpendapat bahwa orang yang dikaruniai daya untuk mampu mengetahui hazanah makna yang tersembunyi di balik setiap ayat al-Qur’an, bahkan juga yang tersembunyi di balik setiap huruf al-Qur’an, hanyalah mereka yang berakhlak dengan akhlak Allah yaitu para sufi.   
Menurut Abu Bakar al-Wasiti, sebagaimana  dikutip Ahmad As-Syirbashi,  orang serupa itu ialah mereka yang dengan rohnya menyelami segala yang gaib dan segala yang bersifat sirr (rahasia), sehingga mereka  mengerti dan mengetahui maksud ayat-ayat yang tidak diketahui orang lain. Para sufi menyelami lautan ilmu dengan maksud untuk memperoleh  makna lebih banyak sehingga terbukalah semua hazanah spiritual yang tersembunyi, yaitu semua pengertian yang berada di balik setiap huruf dan ayat, mengetahui keajaiban teks-teks induk al-Qur’an dan dapat menggali mutiaranya yang terpendam, kemudian sanggup mengucapkannya dengan hikmah.[1]
Bagi para sufi, al-Qur’an  adalah lautan tanpa tepi yang di kedalamannya  terkandung mutiara dan permata, dan karenannya hanya mereka  yang menyelaminya saja, yaitu mereka  yang menjalani suluk (para sufi), yang akan mendapatkannya. Kemudian pulau-pulau  di lautan tersebut penuh dengan bunga-bunga yang menebarkan wewangian, dan dari hewan-hewann yang ada  di dalamnya   dapat dihasilkan  obat penangkal  racun dan minyak kesturi. Di pantai lautan nan luas ini  ditemukan juga  minyak anbar dan kayu gaharu yang begitu harum dan wangi. Dari lautan ini mengalir ilmu-ilmu bagaikan sungai-sungai.[2] 
Samudra yang demikian luas itu hanya ibarat setetes air jika dibanding dengan ilmu dan pengetahuan yang diberikan Allah kepada para nabi dan rasul-Nya, kemudian  kepada para wali-Nya serta orang-orang pilihan-Nya. Pada waktu orang pilihan tersebut  sedang berzikir  menghadapkan diri sepenuh hati, Allah memberi kekuatan rahasia kepadanya untuk dapat menyelami samudra pengetahuan hingga mencapai hakekat yang amat dalam. Mereka itulah yang mengetahui sumber dari mana asal kalam Ilāhī. Pengetahuan itu muncul dengan sendirinya di dalam lubuk hatinya sebagai suatu anugrah dan ilham,  ia tidak perlu mencari-cari, tidak perlu belajar atau mengadakan penelitian apapun juga.[3]
Tafsir sufi, secara historis merupakan wujud keseriusan spiritual orang-orang yang bersih dan bening hatinya untuk memaknai maksud Tuhan dalam firman-Nya. Ia merupakan bukti sejarah yang tak dapat ditolak dan dielakan, bahkan merupakan keunggulan pemikiran sekaligus ketinggian kesucian rohani.
Di mata para sufi, al-Qur’an  meliputi segala macam ilmu, baik yang telah lalu maupun yang akan datang. Al-Qur’an mencakup  segala segi ilmu, dîniyyah, i’tiqādiyyah dan ‘amaliyyah. Demikian juga ilmu-ilmu keduniaan dengan segala macam ragam dan warnanya.[4]
Al-Gazali, misalnya, merupakan salah seorang fakar yang menyetujui dan mengakui eksistensi tafsir  sufi. Dalam kitab Ihyā Ulūm al-Dīn, Al-Gazali  menyatakan: “Sesungguhnya al-Qur’an mencakup tujuh puluh tujuh ribu dua ratus disiplin ilmu, sebab setiap kalimat adalah ilmu”.  Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud  radiya Allahu ‘anhu, ia berkata: “Barang siapa menghendaki ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang kemudian maka hendaklah membaca  al-Qur’an”. Selanjutnya al-Gazali  mengatakan: Segala macam ilmu masuk di dalam perbuatan Allah dan sifat-sifat-Nya. Di dalam al-Qur’an, Allah menjelaskan tentang diri-Nya, Žat-Nya, perbuatan-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Semua ilmu ini tidak ada ujungnya. Dan dalam al-Qur’an terkandung isyarat tentang hal ini. Selanjutnya ia menambahkan, bahkan segala sesuatu yang sulit bagi para pemikir untuk memahaminya, dan para pemikir berbeda pendapat secara teoritis maka di dalam al-Qur’an terdapat rumusnya dan dilālah (petunjuk) untuk penyelesaiannya. Tentu hal ini hanya dipahami oleh para sufi. Maka fikirkanlah al-Qur’an dan renungkanlah hal-hal yang  garîb (asing)  daripadanya  agar muwafaqah (sepadan dan sejakan)  dengan segala ilmu orang-orang terdahulu dan kemudian.[5]
Teks al-Qur’an harus dipahami lahirnya, demikian kata an-Nasafi,  pemindahan  dari makna   denotatif (lahir)  ke makna konotatif  (batin)  seperti yang dimunculkan  oleh ahli batiniyyah  adalah ilhād (penyimpangan)”. Namun menurut  at-Taftazani, ‘penyimpangan’ dapat dikatakan terjadi dalam tafsir sufi jika penafsiran kaum sufi hanya mengungkapkan makna batin sambil menginkari makna lahir ayat yang pada langkah selanjutnya mengabaikan aspek  syari’ah. Namun, apabila interpretasi para sufi itu sejalan dengan makna lahir, tidak melepaskan diri dari aspek syari’ah dan dilakukan oleh orang-orang yang memiliki otoritas untuknya,    maka hal ini merupakan wujud keteguhan  iman dan kesempurnaan ‘irfan yang mendalam.[6]
Kelihatan, an-Nasafi menolak tafsir Batiniyyah dan ia menyatakan bahwa  cara penafsiran Batiniyyah adalah menyimpang. Sementara bagi  at-Taftazani  penafsiran  esoterik tidak otomatis dapat dikategorikan tafsir  bātinī, tetapi ada juga yang termasuk kelompok isyārī. Pola penafsiran isyāri  ia menerima dan mengakuinya,  sebab model tafsir serupa ini merupakan penafsiran yang dilakukan oleh ahli ma’rifah, dan mereka tidak meninggalkan  syari’ah. Sedangkan  tafsir batini, yakni penafsiran yang hanya menggali makna batin dengan meniadakan  makna lahir, sebagaimana an-Nasafi,  at-Taftazani  pun menolaknya dan mengganggapnya sebagai penafsiran yang  menyimpang  karena  pola tafsir yang demikian, sama dengan merubah  makna-makna al-Kitab yang Maha Agung.[7] 
Imam At-Ţabrani telah meriwayatkan hadis dari Ibnu Mas’ud bahwa sesungguhnya al-Qur’an, tidaklah satu huruf dari padanya kecuali baginya ada makna lahir, batin had, dan bagi tiap had ada maţla’. As-Suyuti ketika memahami hadis-hadis yang mengandung kata lahir dan batin,  menyatakan bahwa  yang  dimaksud lahir dan batin ada mempunyai  banyak pengertian.
Pertama, bahwa yang dimaksud  kata zahir adalah lafaznya sementara yang dimaksud makna batin adalah takwilnya.[8]
Kedua, sesungguhnya yang dimaksud dengan makna lahir adalah  apa-apa yang nampak dari makna ayat bagi ahli ilmu, sementara yang dimaksud batinya adalah rahasia-rahasia yang dikandung ayat yang ditampakkan Allah kepada para ahli hakekat.
Ketiga, sesungguhnya kisah-kisah tentang umat terdahulu dan peristiwa yang menimpa kepada mereka  sebagaimana  yang dikisahkan Allah dalam al-Qur’an, lahirnya adalah informasi (khabar) tentang hancurnya umat di masa silam, sedangkan batinnya adalah nasihat bagi umat sekarang dan peringatan agar mereka tidak melakukan  perbuatan dosa seperti yang telah dilakukan oleh  umat di zaman silam, yang mengakibatkan ażab Allah turun seperti yang telah menimpa kepada umat  terdahulu.
Adapun yang dimaksud dengan had  adalah hukum-hukum tentang halal dan haram sedangkan yang dimaksud dengan al-matla’ adalah janji Allah dan ancaman-Nya.[9]
Ibnu ‘Arabi meriwayatkan hadis dari Ja’far bin Muhammad as-Sadiq ‘alaih as-salam, ia berkata:
لقد تجلى الله تعالى لعباده فى كلامه ولكن لايبصرون
“Allah telah bertajalli pada hambanya dalam firman-Nya tetapi mereka tidak dapat melihatnya”
Diriwayatkan bahwa pada suatu waktu Ja’far Muhammad as-Sadiq tersungkur pingsan sewaktu sedang melaksanakan salat, setelah siuman  beliau ditanya tentang kejadian itu, ia menjawab:
ما زلت أرد د الاية حتى سمعتها من المتكلم بها[10]
“Aku senantiasa mengulang-ulang suatu ayat sehingga aku mendengar ayat dari  yang mengucapkannya”

Az-Zarqani mengutip paradigma sufistik yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Arabi, menyatakan bahwa barang siapa yang menafsirkan al-Qur’an dengan akalnya maka ia kafir. Tetapi beda tafsir dengan takwil, takwil tidaklah tetap dan tidak berbahaya, sebab keberadaan takwil berbeda-beda tergantung keadaan mustami’ (yang mendengar)  serta situasi dan kondisinya, juga takwil berbeda-beda tergantung  atas tingkatan suluk dan martabat mufassir itu sendiri. Setiap kali seorang sufi naik dari satu maqam ke maqam berikutnya,  maka terbukalah kepada si sufi tadi satu pintu pemahaman baru dan nampaklah kepadanya suatu makna dan pemahaman yang halus. Sampai-sampai Ibnu ‘Arabi mengungkapkan pernyataan tentang betapa penting takwil dalam upaya memahami kandungan ayat-ayat al-Qur’an  sebagai berikut:
وكل ما لايقبل التاْ ويل عندي أو لايحتاج اليه فما أوردته أصلا [11]
                “Segala sesuatu yang tidak menerima takwil atau tidak memerlukan takwil, maka aku tidak mengutarakannya sama sekali”

            Di dalam kitab Laţāif al-Minan karangan Ibnu ‘Athaillah dijelaskan:
            Ketahuilah bahwa penafsiran para sufi terhadap kalam Allah dan kalam Rasul-Nya dengan makna-makna yang asing, bukanlah menyalahi makna lahir. Sesungguhnya  makna lahir telah dipahami yaitu pengertian sebagai yang terungkap dalam ayat dan ditunjuki oleh dilālah kebahasaan. Lebih dari itu, bagi para sufi ada pemahaman-pemahaman yang dalam yang diambil dari ayat dan hadis yang diberikan Allah karena hati mereka dibukakan Allah.[12]

            Dalam hadis, seperti telah banyak diungkap sebelum ini, yaitu hadis “Bagi setiap ayat ada makna zahir dan batin”.  Az-Zarqani berkomentar; Jangan sekali-kali anda menolak kandungan hadis ini, umpamanya anda mengatakan mustahil kalam Allah mengandung pengertian lahir dan batin. Tidaklah yang demikian itu mustahil, yang mustahil itu adalah apabila para sufi menyatakan,   ayat ini tidak mengandung makna lain  kecuali makna batin ini. Dan kenyataanya para sufi tidaklah berpendapat  demikian, malah sebaliknya mereka mengakui makna-makna zahir dalam kezahirannya sesuai dengan tema-temanya, tetapi mereka pun dapat menangkap pemahaman apa-apa yang diilhamkan Allah kepada hati mereka.[13]
As-Syatibi  menegaskan bahwa penafsiran al-Qur’an berdasar pendekatan sufistik yang  nampak di mata, jika terpenuhi syarat-syaratnya terbagi dua: Pertama penafsiran yang sumbernya adalah al-Qur’an kemudian diikuti dengan fenomena alam, maka pemaknaan yang benar secara global adalah cahaya hati membakar  hijab alam tanpa tawaquf, jika tawaquf maka tidak benar atau tidak sempurna. Kedua  penafsiran yang sumbernya itu adalah maujūdāt secara rinci atau global lalu diikuti dengan pemaknaan dalam al-Qur’an.  Komentar As-Syatibi, jika yang dimaksud adalah yang pertama maka adalah benar, itulah yang dipandang pemahaman terhadap batin al-Qur’an tanpa ada kesulitan, sebab pemahaman al-Qur’an datang pada  hati manusia seiring dengan kedudukan       al-Qur’an itu sendiri yaitu sebagai hidayah yang sempurna yang layak bagi siapa saja dari para mukallaf, sesuai dengan taklif-taklifnya, keadaannya tidak secara mutlak. Jika demikian keadaannya maka mengikuti cara penafsiran di atas adalah mengikuti jalan yang lurus.[14]
Penafsiran al-Qur’an jarang sekali dipahami kecuali oleh orang yang ahli  sebagai bukti pengamalan terhadap al-Qur’an itu sendiri baik secara taklīdi atau ijtihādi. Penafsiran mereka tidak akan keluar dari  patokan-patokan penafsiran  seperti halnya mereka tidak akan  keluar  dari batas-batasnya dalam hal mengamalkan al-Qur’an  dan berakhlak dengan akhlak al-Qur’an. Sebagai syahid, cukup apa yang dikutip dari pemahaman ulama salaf yang salih,  sesungguhnya pemahaman mereka sesuai dengan tuntutan bahasa Arab dan  dilālah (petunjuk) dalil-dalil syara’. Jika penafsiran itu menurut yang kedua, maka bersikap tawaquf dari menganggapnya sebagai upaya menafsirkan  batin al-Qur’an menjadi wajib. Mengambil tafsir itu secara mutlak dilarang sebab berbeda dengan yang pertama. Oleh karena itu tidaklah sah kita menyebutnya sebagai upaya penafsiran dan pemahaman terhadap al-Qur’an.[15]
            Memang banyak ulama yang mengakui eksistensi tafsir sufi bahkan mereka manganggapnya sebagai suatu prestasi spiritual yang amat tinggi,  tetapi tidak sedikit juga ulama yang menolak  tafsir sufi bahkan menganggap tafsir sufi sebagai tafsir liar (ilhādi) yang harus dihindari. As-Suyuti misalnya, dalam sebuah pasal dalam kitab al-Itqān, membuat pasal dengan judul “Ucapan para Sufi menyangkut al-Qur’an bukanlah Tafsir”. Selanjutnya Ibnu Salah di dalam kitab Fatawanya mengutarakan:  Aku menemukan suatu riwayat dari Al-Wahidi yang ahli tafsir itu  menyatakan: “Abu Abdirrahman as-Sulami  telah mengarang sebuah tafsir yang diberi nama “Haqāiq at-Tafsîr”, jika ia mengi’tiqadkan bahwa kandungan kitab itu adalah  tafsir maka dia telah kafir”.[16]
            Imam An-Nasafi[17] menulis:
   النصوص على ظاهرها والعدول عنها الى معان يدعيها اهل الباطن الحاد                         
Artinya: Teks-teks Al-Quran harus dipahami secara zahir.  Pindah dari makna zahir ke makna-makna sebagai yang diungkapkan oleh ahli Batin adalah penyimpangan.

Sementara itu, Sirajuddin al-Bulqini pernah ditanya menyangkut penafsiran orang yang menggunakan pendekatan mistis, sebagai contoh dalam menafsirkan ayat:

من ذا الذي يشفع عنده الا باذنه (البقرة: 255)

Ayat di atas ditafsirkan bahwa tidak ada seorangpun  yang dapat  menghinakan jiwa manusia kecuali kalau Allah mengizinkannya.
Jawaban Al-Bulqini atas pertanyaan di atas:  Bahwa orang yang menafsirkan dengan  tafsiran serupa itu adalah mulhid (menyimpang dan liar).
Berbeda dengan al-Bulqini, as-Syatibi mengakui pemaknaan firman Allah secara batin dengan dua syarat. Pertama, makna batin sesuai dengan tuntutan lahir sebagaimana  ditetapkan dalam struktur bahasa Arab. Kedua, memaknai ayat secara batin harus mempunyai syahid yang mendukung kesahihannya tanpa ada pertentangan. Jika tidak mempunyai syahid di tempat lain atau ada keterangan lain yang  bertentangan dengannya maka termasuk mengada-ada terhadap al-Qur’an. Menghadapi  kasus ini ulama sepakat menolaknya.[18] As-Syatibi membedakan antara makna batin dengan tafsir kaum Batiniyyah. Dalam pandangannya, tafsir Batiniyyah yakni penafsiran al-Qur’an yang dilakukan oleh kaum Batiniyyah[19] tidaklah termasuk ilmu batin juga tidak termasuk ilmu lahir.  Misalnya tafsir Batiniyyah terhadap ayat enam belas surat an-Naml yang terjemahnya (Sulaiman mewarisi Dawud) ditafsirkan dengan: Nabi mewariskan ilmunya kepada para imam. Al-jinābah ditafsirkan dengan kesegeraan orang yang memohon  dengan terbukanya rahasia kepadanya sebelum mencapai tingkatan yang berhak. Al-Gusl ditafsirkan dengan memperbaharui janji kepada orang yang melakukannya. At-Tuhūr diartikan membebaskan diri  dan mensucikan diri dari i’tikad semua mazhab  kecuali mengikuti imam. At-tayammum ditafsirkan mengambil dari  orang yang diizinkan  untuk menyaksikan orang yang mengajak atau imam. As-Siyām ditafsirkan menahan diri dari terbukanya rahasia. al-Ka’bah adalah Nabi, sedangkan al-Bāb adalah ‘Ali. Demikian juga safā  ditafsirkan sebagai  Nabi, sedangkan marwah adalah Sayyidina ‘Ali Karramallāhu Wajhahu. Talbiyah  adalah memenuhi panggilan orang yang mengajak. Tawaf tujuh kali  ditafsirkan tawaf kepada Nabi Muhammad sampai sempurna kepada tujuh imam. Api  yang membakar Ibrahim adalah kemarahan raja Namrud kepada Ibrahim bukan api dalam arti sebenarnya. Menyembelih Ismail adalah mengambil janji kepada Ismail. Tongkat Musa ditafsirkan sebagai hujjah Nabi Musa. Terbukanya laut artinya bedanya ilmu Musa dengan ilmu para tukang sihir. Al-Bahr artinya orang yang berilmu secara mendalam, dan seterusnya.[20]
Secara umum As-Suyuti menyoroti penyimpangan-penyimpangan penafsiran, baik yang dilakukan oleh para teolog, fuqaha maupun ahli batin.  As-Suyuti menyatakan: Jika para sahabat, para tabi’in dan para Imam telah memberikan penjelasan pada suatu ayat, kemudian datang mufassir lain yang menafsirkan al-Qur’an dengan makna lain yang sesuai dengan mazhab yang mereka pegangi dan ternyata mazhab itu tidak sesuai dengan mazhab sahabat atau tabi’in maka mufassir seperti ini telah menyamai Mu’tazilah dan aliran yang lainnya dari kelompok ahli bid’ah.[21]
As-Suyuti tidak mengulas lebih jauh,  siapa saja yang dimaksud  mufassir sahabat, tabi’in dan para Imam. Kemudian  As-Suyuthi juga menyamakan pelaku penafsiran yang tidak sesuai dengan sahabat, tabi’in dan para imam dengan Mu’tazilah dan ahli batin, dalam hal penyimpangan  dan  kebid’ahannya. Lagi-lagi ia pun tidak menjelaskan mengapa Mu’tazilah dan ahli batin di anggap menyimpang, padahal Mu’tazilah itu penafsirannya rasional, siapakah yang dimaksud ahli batin oleh As-Suyuti, apakah para ahli hakikat  (sufi) termasuk ahli batin? Sementara itu, di tempat yang lain, tidak jarang As-Suyuti mengakui keberadaan dan keistimewaan  mufassir-mufassir sufi yang lainnya. Rupanya boleh jadi, pernyataan As-Suyuti tersebut, dalam kerangka proses pemahaman terhadap berbagai corak tafsir,  yang pada kondisi tertentu As-Suyuti mengakui dan membenarkan eksistensi  model  penafsiran yang bercorak sufistik ini tetapi  menolak tafsir batini. 
At-Ţusi mengutarakan bahwa pola penafsiran sufistik itu merupakan kesalahan dan kedustaan yang besar terhadap Allah. Penafsiran ala sufi ini merubah  dan memalingkan kalimah dari tempat yang semestinya. Padahal yang benar, demikian At-Ţusi menyatakan, anda tidak boleh mendahulukan apa-apa yang diakhirkan Allah dan sebaliknya tidak boleh mengakhirkan apa-apa yang didahulukan Allah, juga tidak boleh mengeluarkan-dalam rangka memahami al-Qur’an- makna yang ditunjuki kalimat bahasa Arab sebab al-Qur’an adalah sebuah kitab yang diturunkan dengan bahasa Arab yang jelas.[22]
Menurut Ibnu Atailah As-Sakandari di dalam tafsir sufi tidak terdapat pemalingan  makna lahir dari lafadz ayat yang nampak.. Secara faktual makna lahir dipahami sebagaimana adanya melalui pendekatan kebahasaan, namun disamping itu, masih ada makna yang dalam yang bisa dipahami dari setiap ayat  oleh siapa saja yang hatinya dibukakan Allah. Oleh sebab itu, tidaklah baik dari segi keilmuan,  apabila orang segera berkomentar bahwa tafsir sufi ini adalah pemalingan kalam Allah dari wajah (arah) yang semestinya. Baru dapat dikategorikan adanya penyimpangan kalau si mufassir   berpendapat bahwa tidak ada makna lain dalam ayat ini kecuali ini. Kenyataannya para sufi tidak pernah menyatakan yang demikian, malah sebaliknya mereka mengakui makna-makna yang zahir di atas kezahirannya. Namun  lebih dari itu, mereka pun mendapatkan intuisi dari Allah  apa-apa yang Allah pahamkan kepada hati mereka.[23]   
Sementara itu, Az-Zarkasyi, di dalam kitabnya al-Burhān, menegaskan  bahwa ucapan para sufi  menyangkut penafsiran al-Qur’an, dikatakan, bukanlah tafsir, ia hanya merupakan makna-makna dan penemuan-penemuan yang dikemukakan  para sufi sewaktu  mereka membaca al-Qur’an. Sebagai contoh, para sufi mengartikan  ayat sebagai berikut:

      يا ايها الذين امنوا قا تلوا الذين يلونكم من الكفار (التوبة :3)

              “Wahai orang-orang yang beriman bunuhlah orang-orang yang dekat dengan kamu dari orang-orang kafir” (Al-Taubah: 3).

Kata “yalūnakum” yang artinya “dekat kepadamu”  ditafsirkan dengan arti nafsu. Para sufi berpendapat bahwa alasan kita diperintah  membunuh orang kafir  yang dekat kepada kita adalah karena dekatnya. Sedangkan perkara yang paling dekat kepada manusia adalah nafsunya. Oleh sebab itu,  kita diperintah untuk membunuh nafsu  kita, sebab nafsu termasuk sesuatu yang sangat  dekat  kepada diri  kita bahkan berada dalam diri manusia.[24]
            Kelihatannya, Az-Zarkasyi cenderung menolak tafsir sufi, bahkan  ia mengelompokan tafsir sufi pada tafsir bātinī. Kecenderungannya akan semakin nampak kelihatan, ketika az-Zarkasyi menjelaskan mekanisme pemahaman terhadap teks ayat-ayat al-Qur’an  sebagai berikut:
Setiap kata yang mengandung dua makna atau mungkin lebih, dalam hal ini, orang yang tidak memenuhi kriteria sebagai seorang mujtahid tidak diperkenankan untuk melakukan ijtihad. Para mujtahid   harus bersandar  pada data-data   dan dalil-dalil. Mereka juga tidak diperkenankan mengacu hanya kepada rakyu (pendapat akal). Setiap kata yang mengandung dua  makna ada dua alternatif  pola penyelesaian:
Pertama, salah satu dari dua makna tersebut lebih jelas dari yang lainnya. Dalam hal ini harus dimaknai  menurut yang lebih jelas tadi, kecuali apabila  ada dalil  yang menunjukan  bahwa  yang dimaksud  adalah makna  yang samar bukan yang jelas, maka harus dibawa ke sana (makna yang samar tadi).
Kedua, kedua makna lafadz  jelas  dan pemakaian keduanya hakiki (bukan majazi),.  Bagian ini ada dua bentuk: pertama, asal usul makna hakiki; kedua, makna tersebut berbeda. Kata berkisar pada dua makna, salah satunya merupakan makna hakiki menurut bahasa, yang lainya makna hakiki menurut syara’. Maka makna syara’ lah  yang harus diambil, kecuali apabila  ada konteks ayat  yang menghendaki makna menurut bahasa, seperti firman Allah  “Dan salatilah mereka, sebab salatmu merupakan penenang bagi mereka” (at-Taubah: 103).
Demikian pula apabila sebuah kata  berkisar di antara makna menurut bahasa dan makna ‘uruf, maka makna ‘uruf (tradisi dan kebiasaan) lebih diutamakan  karena makna  ‘urf  lebih berlaku dari pada makna bahasa. Andaikan suatu kata mempunyai makna  yang berkisar  pada makna syar’iyyah dan ‘urfiyyah  maka makna syara’  lebih diutamakan  karena penggunaan syara’ lebih kuat. Bentuk yang kedua adalah asal usul  makna hakikinya  tidak berbeda, malah masing-masing dari dua makna tersebut  dipergunakan untuk suatu kata, baik menurut bahasa, syara’ atau  ‘urf   dalam tataran yang sama. Bagian ini juga dibagi dua macam. Pertama, kedua makna saling menapikan, dan tidak mungkin kedua makna tersebut  yang menjadi maksud dari  suatu kata. Jika salah satu  dari dua makna  tidak dapat dipilih  lantaran tanda-tandanya  sama maka ulama berbeda pendapat. Ada yang berpendapat, ia diberi pilihan  untuk memaknai  yang manapun yang dikehendakinya. Ada yang berpendapat,  ia harus mengambil hukum  yang paling utama. Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan  untuk memunculkan pendapat yang ketiga, yaitu mengambil hukum yang paling ringan.[25]
Az-Zarkasyi sama sekali tidak memasukan pendekatan  penafsiran sufistik dalam konsep mekanisme pemahaman terhadap ayat yang ia munculkan. Kalaupun ia membahas istilah  “zahir”  dan  “khafi” dalam pernyataan di atas bukan dalam konteks pembahasan tafsir sufi  tetapi dalam konteks kebahasaan.
Demikian pula kecenderungan ketidak setujuan terhadap tafsir sufi akan semakin nampak kelihatan  ketika ia mencoba memahami hadis Nabi yang berbunyi:

          ما نزل من القران الا ولها ظهر وبطن ولكل حرف حد ولكل حد مطل 

            Ta’wil terhadap hadis di atas, paling tidak, menurut Az-Zarkasyi ada empat macam pengertian:  
Pertama, menurut pendapat Hasan; jika anda membahas batin sebuah ayat lalu anda mengkiyaskan makna batin tadi pada makna lahir maka anda telah benar dalam menggunakan metode  penafsiran.
Kedua, pendapat Abu ‘Ubaidah yang menyatakan  sesungguhnya kisah-kisah Al-Quran, lahirnya adalah berita (khabar) tentang hancurnya umat-umat masa silam, sedangkan batinnya adalah petuah dan tuntunan bagi umat yang datang kemudian.
Ketiga, pendapat Ibnu Mas’ud yang menegaskan bahwa tidaklah suatu ayat turun, kecuali diamalkan oleh suatu kaum, dan akan datang kaum yang lain yang akan mengamalkannya.
Keempat, ini pendapat ulama mutaakhirin, sesungguhnya lahir ayat adalah lafadznya sedangkan batinnya adalah takwil terhadap ayat dimaksud.[26]

            Adapun makna hadis “Bagi setiap huruf ada had” penakwilannya ada dua macam. Pertama, bagi setiap huruf ada sasaran terakhir yang dikehendaki Allah dari maknannya. Dan yang kedua, bahwa bagi setiap hukum  ada ukuran pahala dan siksa.
Sedangkan yang dimaksud hadis Nabi “Bahwa bagi setiap had ada maţla”  menurut Az-Zarkasyi, bahwa bagi setiap kandungan makna dan hukum-hukum ada suatu maţla’ (tempat pemberangkatan) yang menjadi wasilah untuk mengetahuinya dan berhenti pada apa yang dimaksud dengannya.
Kedua, bahwa bagi setiap pahala dan siksa ada suatu tempat yang dapat diketahui di akhirat nanti dan akan dilihatnya pada waktu datangnya pembalasan.
Ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan potongan hadis di atas adalah bahwa  di antara makna ayat ada yang tidak diketahui ta’wilnya kecuali oleh Allah yang Maha Esa dan Maha Perkasa. Hal demikian, misalnya keberakhiran alam (makrokosmos)  yang bersifat fana, kapan waktu terjadinya kiamah, ditiupnya  sangkakala, turunnya ‘Isa  bin Maryam dan yang lainnya.
Pendapat di atas, sesuai dengan firman Allah sebagai berikut:
لا يجليها لوقتها الا هو ثقلت فى السماوات والارض    ( الاعراف: 187)
Tidak seorangpun  yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang di langit  dan di bumi  (al-‘Araf: 187)

Sebagian  ayat, ada yang dapat diketahui maknanya oleh orang yang berilmu  melalui pendekatan kebahasaan; yang demikian, misalnya penjalasan tentang makna-makna yang asing dan sulit dalam ayat, pengetahuan tentang obyek-obyek yang lazim yang tidak isytirāk, dan hal-hal yang disifati dengan sifat-sifat yang khusus, tidak dengan sifat yang lainnya; yang demikian itu, misalnya pemahaman terhadap ayat berikut:
واذا قيل لهم لاتفسدوا فى الارض قالوا إنما نحن مصلحون  ألا إنهم هم المفسدون ولكن لا يشعرون    (البقرة: 11-12)

“Jika dikatakan kepada mereka ‘janganlah kamu melakukan kerusakan di  muka bumi’ Mereka menjawab, sesungguhnya kami hanyalah orang-orang yang melakukan kebaikan. Ingatlah sesungguhnya mereka, mereka itulah yang melakukan kerusakan tetapi mereka tidak merasa”                          (al-Baqarah: 11-12).

Seorangpun di antara mereka (orang-orang yang berilmu)  tidak ada yang menginkari bahwa yang dimaksud dengan “al-fasād” dalam ayat tertulis adalah sesuatu yang harus ditinggalkan karena mengakibatkan kemadaratan. Sedangkan yang dimaksud dengan “as-Salāh”  adalah sesuatu yang harus dikerjakan karena membawa  manfaat dan kemanfaatan.[27]
Az-Zarqani, amat wanti-wanti terhadap pola penafsiran yang sufistik ini (yang ia maksud tafsir batini), sehingga ia merasa perlu, di dalam kitabnya Manāhil al-‘Itfan, mengutarakan t nasihat yang secara khusus berkaitan dengan tafsir batini ini. Selengkapnya ia menulis sebagai berikut:
Saya harap anda mau berdiskusi dengan aku, karena sebagian manusia telah diuji dan difitnah dengan menerima pelajaran tafsir isyarat-isyarat dan getaran-getaran abstraks. Maka masuklah ke dalam relung hati mereka bahwa al-Kitab dan as-Sunnah bahkan Islam secara keseluruhan, semuanya tidak lain  kecuali kesempatan-kesempatan dan peristiwa-peristiwa sesuai dengan ilmu nahwu berupa takwil dan taujihat. Mereka menduga bahwa persoalan yang sebenarnya bukan apa-apa kecuali khayalan (imajinasi), sedangkan yang dituntut dari mereka adalah sathohat bersama imajinasi, mereka tidak mengaitkan persoalan ini dengan taklif-taklif syar’i. Demikian juga, mereka tidak memperhatikan undang-undang kebahasaan dalam upaya memahami kalam yang paling balig yaitu kitab Allah dan sunnah Rasul. Lebih parah dari itu, mereka berimajinasi (berkhayal) dan membuat orang lain terpengaruh dengan hayalannya, bahwa mereka adalah ahli hakikat yang telah mencapai puncak  dan telah bertemu dengan Allah dengan pertemuan yang dapat menggugurkan taklif dan kewajiban.[28] Azzarqani menilai. ini adalah musibat besar yang telah dilakukan oleh kelompok batiniyyah dan konco-konconya (para pengikutnya)  dari musuh-musuh Islam, seperti halnya mereka menghancurkan Islam dari akar-akarnya.
Selanjutnya Az-Zarqani menulis, rasanya kami perlu menasihati kaum muslimin hendaklah mereka hati-hati jangan sampai terjerumus  ke dalam kekeliruan ini. Kami isyaratkan kepada kaum muslimin hendaklah  menahan tangan-tangan mereka dari jebakan-jebakan tafsir isyariyyah, dan jangan mereka mendekati hal-hal yang serupa dengannya yaitu ucapan-ucapan kaum yang terdapat di dalam kitab-kitab tasawuf, sebab semua itu hanyalah rasa dan temuan yang keluar dari ketentuan dan ikatan. Bahkan seringkali di dalamnya bercampur antara imajinasi dengan hakikat yang hak dengan yang batil. Sikap yang lebih aman, selanjutnya Az-Zarqani menulis[29], hendaknya seorang muslim menjaga dirinya agar tidak terjerumus  kepada hal serupa ini, ia harus menghindar dari syubhat-syubhat ini. Di depannya ada al-Quran dan al-Sunnah yang menjelaskan undang-undang syari’at. Selanjutnya ia mengutip sebuah ayat dan dua buah hadis sebagai berikut:
اتستبدلون الذى هو أدنى بالذي هو خير (البقرة: 61)
“Apakah kamu minta ganti sesuatu yang lebih hina dengan sesuatu yang lebih baik?”

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: فمن اتقى الشبهات فقد استبرء لد ينه وعرضه


Barang siapa menjaga diri dari terjerumus pada hal-hal yang syubhat  berarti ia telah menjaga agamanya dan harga dirinya”  ( H. R. Hakim).

 

         وقال صلى الله عليه وسلم : دع ما يريبك الى ما لايريبك

Nabi bersabda: “Tinggalkanlah apa-apa yang meragukan dan pergilah kepada apa-apa yang tidak meragukan”.

Berbeda dengan as-Syatibi, az-Zarqani tidak membedaan antara tafsir isyari dengan tafsir Batinyyah. Seperti halnya Az-Zarqani, Al-Gazali juga mengajukan kritikan terhadap pola penafsiran sufistik serta  ucapan-ucapan para sufi yang dipandangnya sebagai hasil  takwil yang menyesatkan.
Ia menjelaskan ucapan-ucapan sebagian sufi yang menyimpang dari syara’ ada yang disebut at-thammāt. Thammāt  adalah mengalihkan lafaz syara’ dari makna lahirnya yang dipahami kepada hal-hal batiniyyah, yang sebelumnya tidak dipahami, seperti kebiasaan kelompok bātiniyyah dalam melakukan takwil. Ini juga haram dan berbahaya, sebab jika lafaz-lafaz itu dipalingkan dari maksud lahirnya tanpa berpegang teguh kepadanya dengan mengutip keterangan dari pemilik syara’ dan tanpa alasan (argumen) yang diperlukan oleh dalil akal, lafaz itu menjadi tidak dipercaya.
Karena itu, firman Allah Ta’ala dan ucapan Rasul-Nya menjadi tidak bermanfaat. Makna yang terdahulu sudah tidak dipercaya dan makna batin sudah tidak diyakini. Untuk makna batin itu terjadi benturan di antara berbagai kilasan hati sehingga ayat itu dimungkinkan untuk dipahami dalam makna yang bermacam-macam. Ini juga termasuk bid’ah yang sangat besar bahayanya. Pelakunya, biasanya menginginkan yang aneh-aneh, karena jiwa manusia cenderung kepada yang aneh-aneh dan menikmatinya. Dengan cara ini, kaum Batiniyyah berhasil menghancurkan seluruh syari’at dengan menakwil bagian-bagian lakhirnya, menundukan ayat pada pikiran mereka, sebagaimana telah kami utarakan mazhab mereka dalam kitab al-mustazhirī yang disusun khusus untuk menolak pemikiran epistemologi tafsir kaum batiniyyah.[30] Dalam pandangan Al-Gazali, pola penafsiran harus dibedakan antara pola penafsiran isyari dengan batini. Yang disebut pertama merupakan pola penafsiran yang legal dan valid secara keilmuan, sedangkan yang disebut terakhir yaitu pola tafsir batini adalah penyimpangan dan harus dijauhi. Tafsir sufi, menurut Al-Gazali, masuk ke dalam kelompok yang kedua, oleh sebab itu boleh dan baik dikembangkan.
Selanjutnya Al-Gazali, menuliskan beberapa contoh interpretasi kaum Batiniyyah yang menyimpang, sebagai yang dikutip Jalaluddin Rakhmat dalam buku yang sama sebagai berikut:
اذهب الى فرعون إنه طغى
“Pergilah kamu kepada Fir’aun, sesungguhnya ia melampui   batas”
 (QS. 20:24)

Yang dimaksud dengan Fir’aun adalah hati dan apa saja yang melampui batas pada setiap manusia.
وأن الق عصاك
Dan lemparkanlah tongkatmu (QS. 7: 117).
Makna batinnya, apapun yang dijadikan sandaran atau andalan selain Allah, harus dilemparkan. Begitu pula berkenaan dengan sabda Nabi saw sebagai berikut:
تسحروا فان فى السحور بركة[31]
“Bersahurlah kalian karena dalam makan sahur itu ada barkah”
            Yang dimaksud dengan sahur adalah istigfar pada waktu sahur dan hal-hal lain yang seperti itu sehingga al-Qur’an dipalingkan dari makna lahirnya sejak permulaannya  sampai akhirnya; dan dipalingkan dari tafsir yang diambil  dari Ibnu Abbas dan ulama yang lain.
            Analisis terhadap pernyataan  Al-Gazali di atas, selanjutnya Jalaluddin menjelaskan bahwa apa yang baru saja dibicarakan al-Gazali adalah takwil yang sesat. Tentu saja kita tidak akan menerima takwil yang “tidak berpegang pada sumber yang datang dari Pemilik Syari’at, yang tidak sesuai dengan akal, atau yang menghancurkan semua syari’at”. Dengan perkataan lain, kita hanya boleh menerima takwil apabila;
(1)    tidak bertentangan dengan syari’at Islam;
(2)    diperkuat oleh keterangan lainnya dalam Al-Quran dan as- Sunnah;
(3)    tidak menapikan makna lahir, tetapi merupakan perluasan darinya;
(4)    tidak bertentangan dengan akal sehat.

Anehnya, demikian Jalaluddin  menjelaskan analisisnya, beberapa contoh yang disebutkan Al-Gazali sebagai takwil yang sesat ternyata memenuhi syarat-syarat takwil yang dapat diterima. Apa salahnya mengartikan “Fir’aun” sebagai hati yang melampui batas, setelah memahami Fir’aun sebagai tokoh sejarah yang keberadaanya kita ketahui secara mutawatir. Apa salahnya memandang “tongkat” sebagai lambang apa saja yang menjadi sandaran manusia selain Allah, setelah mengakui kisah tongkat dalam arti yang sebenarnya?
Ada banyak orang pada masa kini yang menyebut setiap tiran yang lalim sebagai Fir’aun, orang yang menindas sebagai Qarun, cendekiawan yang mendukung kezaliman sebagai Haman, dan ulama yang berfatwa untuk kepentingan penguasa korup sebagai Bal’am. Mereka tidak menapikan orang-orang tadi sebagai tokoh sejarah. Tetapi karena al-Qur’an bukan  (hanya) buku sejarah, kita harus mengambil pelajaran universal darinya.
Membatasi Fir’aun, Haman, Qarun dan Bal’am hanya sebagai tokoh sejarah, menurut Jalaluddin Rahmat[32], akan membatasi pelajaran yang kita peroleh. Agar makna al-Qur’an melintas ruang dan waktu, kita harus melihat tokoh-tokoh itu sebagai simbol. Untuk itu diperlukan takwil.
Lagi pula, yang dikritik tajam oleh Al-Gazali adalah kaum Batiniyyah bukan ahli hakikat (ahli tasawuf). Sebab kalau beliau menyalahkan ahli hakikat berarti beliau menyalahkan dirinya sendiri. Pola pemahaman kaum Batiniyyah terhadap al-Qur’an berbeda dengan pola pemahaman ahli hakekat. Bagi kaum Batiniyyah,[33] hanya makna batinlah yang sebenarnya maksud dari setiap firman Tuhan. Sementara bagi ahli tasawuf, setiap ayat al-Qur’an ada mempunyai makna zahir, itulah makna yang mudah dipahami oleh kebanyakan orang melalui argumen naqli maupun pendekatan lingusitik, dan mempunyai makna batin. Makna batin ini hanya dapat difahami oleh orang yang telah dibukakan hatinya oleh Allah, karena orang itu berusaha secara spiritual membersihkan hatinya melalui āda al-wājibat (pelaksanaan kewajiban) secara sempurna, āda an-nāfilāt (pelaksanaan hal-hal yang disunatkan) secara kontinyu dan āda ar-riyādāh (latihan-latihan spiritual) secara istiqomah.
Jadi kelihatan  bahwa Al-Gazali tidak menolak tafsir esoteric, yang ia tolak ialah tafsir ala Batiniyyah. Tafsir isyari dapat diterima manakala si mufassir mempunyai kemampuan ilmu al-mukāsyafah, dari pada didasarkan pada persepsi indera dan nalar, sebagaimana ilmu-ilmu lain. Menurut al-Gazali, ilmu mukasyafah adalah sejenis ilmu yang diperoleh melalui pewahyuan dan iluminasi atau pengilhaman, dan sebagai sumbernya adalah lauh al-mahfūzh. Dengan ilmu penyingkapan inilah, makna-makna tersembunyi al-Qur’an menjadi diketahui, dan tafsir al-Qur’an  tanpa mengambil jalan  anggapan atau terkaan menjadi mungkin. Ilmu mukasyafah  serupa dengan cahaya yang muncul dalam hati ketika ia dibersihkan dan disucian dari sifat-sifat tercela dan kesalahan.
Melalui penyingkapan cahaya ini, banyak hal yang sebelumnya pernah didengar namanya, dan makna yang samar dan umum telah dibayangkan, sekarang menjadi jelas. Ahirnya orang yang mempunyai pengetahuan sejati tentang esensi  Tuhan, tentang kediaman dan sifat-sifat kesempurnaan-Nya untuk menciptakan dunia ini  dan dunia esok  dan tentang cara Allah mengatur  dunia lain yang berkaitan dengan dunia ini. Orang memperoleh pengetahuan tentang makna kenabian dan tentang makna pewahyuan.[34]
Sumber ilmu mukāsyafah adalah lauh al-mahfūzh yang bersinar di dalam cermin hati. Lauh al-Mahfūzh ditulisi dengan segala sesuatu yang telah diputuskan Tuhan sampai hari kiamat. Penyingkapan (tajalli) kebenaran dari ilmu-ilmu ini (haqāiq al-‘Ulūm) dari cermin kitab  ke dalam cermin hati serupa dan sebanding  dengan menjejakkan  sebuah bayangan yang ada dalam  satu cermin  dalam cermin kedua  menghadap cermin pertama. Lauh al-Mahfuzh membentuk  dunia spiritual dan dunia korporeal (al-‘ālam al-jasmāni). Dunia spiritual dengan dunia jasmani merupakan keseluruhan semesta. Dunia spiritual  tersembunyi dari kebanyakan orang, yang hanya mengetahui dunia korporeal. Menyangkut dua alam tersebut, al-Gazali selanjutnya mengatakan:
Manusia berbeda berkaitan dengan kelimpahan  atau keterbatasan pengetahuan, dan berkaitan dengan  kemuliaan atau kehinaan. Mereka juga berbeda dalam metode pencapaiaannya, karena pengetahuan  terjadi bagi sebagian hati melalui ilham Ilahi dengan inisiatif Ilahi (mubāda’aah) dan penyingkapan (mukāsyafah),  sedangkan bagi yang lain ia terjadi melalui pembelajaran (at-Ta’allum) dan pengkajian (al-iktisāb). Lebih-lebih pencapaiannya  dapat cepat atau lambat. Pada tahapan  (maqām) pengetahuan, yakni berada di atas pengetahuan tentang prinsip a priori, tingkatan-tingkatan manāzil, pemikir, filosof, nabi dan wali dibedakan, karena derajat pendakian (darajah at-taraqqi) pada mqaam ini tidak dibatasi, karena ketanpabatasan pengetahuan Tuhan. Tingkatan tertinggi (rutbah) adalah tingkatan nabi, yang kepadanya semua atau sebagian  besar kebenaran  disingkap bukan melalui kajian  atau usaha, melainkan melalaui pewahyuan Ilahi (kasyf Ilāhī) dalam waktu yang paling cepat.[35]


Memang  tidak semua orang mampu menafsirkan al-Qur’an secara esoteris, demikian analisis al-Gazali. Ketidak mampuan itu karena Syetan telah menyelubungi pikiran dan hati manusia sehingga hatinya tidak memiliki akses ke alam malakūt dan lauh al-mahfūzh. Nabi menyatakan: Kalau bukan karena Syetan yang menutupi hati manusia, mereka pasti dapat melihat alam malakut”. Menurut al-Gazali ada empat penghalang yang menghijab manusia untuk dapat menafsirkan al-Qur’an secara esoteris. Pertama perhatian seseorang dialihkan kepada pengucapan huruf yang tepat.  Pengalihan dilakukan Syetan untuk memalingkan mereka dari memahami makna firman Tuhan. Ketika pembaca konsentrasi hanya kepada pembacaan huruf bagaimana mungkin ia dapat menyingkap makna batin. Kedua, kepatuhan secara membabi buta kepada mazhab (taqlīd li al-Mazhab). Ketiga,  karena dosa dan hub ad-Dunya. Keempat,  kepercayaan yang salah bahwa satu-satunya  penafsiran yang valid  adalah penafsiran eksoteris.[36]

Bagaimana tafsir isyari di zaman sahabat, hadis riwayat Bukhari berikut ini  dapat dipandang sebagai akar-akar bagi timbulnya tafsir isyari. Selengkapnya hadis tersebut adalah sebagai berikut:  Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa pada suatu hari Umar Amir al-Mukminin membawaku ke tengah lingkungan veteran perang Badar. Seakan-akan dalam hati mereka berkata; Untuk apa khalifah membawa anak seperti ini, kami pun memiliki anak yang sebaya dengannya. Tiba-tiba Umar menjawab: Ya seperti yang kalian lihat. Pada waktu yang lain, Umar al-Khalifah memanggilku dan membawaku ke tengah-tengah mereka,  aku menduga tidaklah khalifah membawaku kecuali untuk memperlihatkan aku kepada mereka, tidak lebih dari itu. Serta merta Umar bertanya kepada para sahabat yang hadir saat itu: Bagaimana pendapat kalian mengenai firman Allah:

         اذا جاء نصرالله و الفتح (النصر: 1)

Segera sebagian sahabat yang hadir menjawab: Kami diperintah untuk memuji Allah, mohon ampun kepada-Nya karena kita telah ditolong dan telah diberi kemenangan. Sementara sahabat yang lainnya diam tidak berkomentar apa-apa. Lalu Umar bertanya kepadaku: Apakah seperti ini tafsir ayat itu  wahai  Ibnu Abbas? Aku menjawab, bukan.  Umar: Kalau bukan bagaimana maksudnya? Aku (Ibnu Abbas) menjawab: Yang dimaksud adalah ajal Rasulullah.  Allah memberitahukannya kepada Rasulullah Saw.
اذا جاء نصر الله والفتح. فذالك علامة اجلك.
“Jika datang pertolongan Allah dan kemenangan” maksudnya itulah ajalmu, maka bertasbihlah kepada Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya sesungghnya Allah adalah Zat Yang Maha Pengampun.
Umar berkomentar:

             ما أعلم منها الا ما تقول


Aku tidak tahu tafsiran (takwil) seperti itu kecuali dari apa yang kamu ucapkan.[37]
Ketika turun ayat  3 surat  al-Maidah:
اليوم أكملت لكم دينكم  (الما ده : 3)
para sahabat merasa gembira tetapi Umar Ra. malah menangis. Umar berkata:       
ما بعد الكمال الا النقصان
Tidaklah setelah kesempurnaan kecuali kekurangan. Ia merasa bahwa ayat ini pun isyarat terhadap dekatnya ajal Rasululullah Saw. Dan memang setelah ayat ini turun, hidup Rasulullah  hanya delapan puluh satu hari saja.[38]
Banyak ulama yang menyamakan tafsir bi al-ra’yi al-fasid (tafsir rasional yang cacat) dengan takwil. Sebagaimana tafsir dengan rakyu (dengan akal), takwil pun ada yang benar ada yang  keliru, ada yang hak ada yang batil. Dari berbagai pendapat tentang takwil, kelihatannya dapat ditarik kesimpulan bahwa takwil  ada yang berarti mengalihkan makna dari yang meragukan  atau membingungkan  pada makna yang meyakinkan dan menentramkan. Dalam pengertian ini, takwil hanya berhubungan dengan ayat-ayat mutasyabihat. Dan ada takwil yang berarti mengambil makna kedua  atau makna batiniah, disamping makna pertama atau makna lakhiriyya. Takwil dalam arti ini berhubungan dengan semua ayat al-Qur’an. Inilah yang lazim dipergunakan dalam tafsir-tafsir sufi.
Takwil dalam dua pengertian di atas,  sudah biasa  dipergunakan oleh mufassirin. Keduanya tidak dipandang menyesatkan, bahkan dianggap sangat diperlukan. Tanpa takwil, ayat-ayat mutasyabihat akan membingungkan dan menyesatkan. Tanpa takwil, kita akan jatuh pada pemiskinan makna, pengeringan makna ruhaniyyah al-Qur’an. 
Setelah masa as-salaf al-awwal, keadaan telah berubah. Hampir seluruh ulama telah mengakui perlunya takwil dalam berbagai bentuknya. As-Suyuti, misalnya, menilai majaz, sebagai salah satu bentuk keindahan bahasa. Namun, walaupun mereka telah sepakat menerimanya, perbedaan pendapat timbul dalam menetapkan syarat-syarat bagi penggunaannya.[39]
Kebanyakan ulama  berpendapat bahwa pola penafsiran al-Qur’an secara sufistik adalah suatu prestasi spiritual yang bukan hanya diakui eksisitensinya tetapi harus dikembangkan untuk kemajuan rohani umat Islam, terutama pada saat kehidupan materialistik amat mendominasi kehidupan umat manusia.  
Ulama kelompok ini mengajukan syarat-syarat spesifik, agar tafsir sufi dapat dipandang benar secara ilmiah, disamping syarat-syarat sebagai yang diangkat oleh mufassir ahli zahir. Syarat-syarat dimaksud telah penulis utarakan sebelumnya.[40]
Berkaitan dengan berbagai macam corak penafsiran, Quraish Syihab menulis:

Dari sini seseorang tidak dapat dihalangi untuk merenungkan, memahami, dan menafsirkan al-Qur’an. Karena hal ini merupakan perintah al-Qur’an sendiri, sebagaimana setiap pendapat yang diajukan seseorang, walaupun berbeda dengan pendapat-pendapat lain, harus ditampung. Ini adalah konsekwensi logis dari perintah di atas, selama pemahaman dan penafsiran tersebut dilakukan secara sadar dan penuh tanggung jawab.[41]

Bagi para sufi, kemampuan kita memahami al-Qur’an bergantung pada kedudukan ruhaniah kita. Seperti penyelam di lautan, jika kemampuan menyelam kita rendah, kita hanya memperoleh ikan-ikan di permukaan saja, ikan teri atau plankton. Bila kita menyelam lebih dalam lagi, kita akan memperoleh ikan yang lebih besar. Bila kita menyelam jauh ke dasar lautan, kita mungkin akan mendapatkan mutiara.[42]
Uraian selanjutnya, ia menyatakan:[43] Tidak pantas buat orang yang memiliki akal, betapapun sedikitnya, atau iman, betapapun kecilnya, untuk menginkari kandungan makna al-Qur’an sampai pada tingkat batiniyyahnya, yang dilimpahkan oleh Sang Pencipta kepada batin hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya. Duhai apa yang akan dilakukan pengingkar terhadap firman  Allah “Penjelasan bagi sesuatu” (QS. 6: 6) dan firman Allah Swt. “Tidak Kami lewatkan dalam al-Kitab sesuatu pun” (QS. 6: 38). Ya Allah sungguh mengherankan, mereka menganggap Diwan Al-Mutanabbi dan bait-baitnya mengandung makna yang banyak, tetapi mereka tidak mau menerima keluasan al-Qur’an dan ayat-ayatnya. Padahal, dia adalah firman Tuhan semesta alam yang diturunkan kepada penutup semua utusan.

B. Analisis terhadap  Metode Penafsiran Ibnu ‘Arabi

Sebagaimana telah diterangkan dalam bab sebelumnya, bahwa penafsiran sufistik masih menjadi perdebatan antara yang membolehkan dan melarang, antara yang memuji dan yang mencela.  Masing-masing mengemukakan argumen baik naqli maupun ‘aqli. Mengapa tafsir sufi tampil beda dibanding tafsir lainnya, karena paradigma yang dipergunakan para sufi pun  berbeda sehingga tidak aneh kalau natijahnya berbeda-beda.  Keragaman dalam penafsiran,  tidak terlepas dari subyektifitas, pengaruh   kehidupan,   latar belakang pendidikan, keilmuan dan lingkungan dimana para mufassir  berada.
Demikian pula halnya terhadap eksistensi tafsir sufistik Ibnu ‘Arabi, ada ulama rasikhūn yang menyetujuinya dan ada juga yang  menganggagpnya sebagai penafsiran liar dan menyimpang.

Metode   penafsiran Ibnu ‘Arabi dalam karya-karyanya khususnya, al-Futūhat al-Makkiyyah dan  Fusūs al-Hikam, sebagaimana telah dibahas, berdiri di atas paradigma sufisme yang ia munculkan yaitu paham wahdat al-wujud (kesatuan wujud) atau disebut juga pantheisme. Wahdat al-wujud sendiri maknanya, menurut Ibnu ‘Arabi, adalah wujud hakiki itu hanya satu, sementara yang berbilang yang nampak secara zahir di mata, merupakan indikator adanya wujud mutlak tersebut, jadi keberadaanya tidak hakiki, sebab wujud yang hakiki itu adalah sesuatu yang wujudnya tidak karena yang lain dan tidak disebabkan oleh wujud yang lain. Oleh karenanya, selain yang wujud hakiki  ada yang disebut wujud idāfi. Wujud idāfi hakikatnya tidak ada. Oleh karena tidak ada, maka wujud itu hanya satu atau disebut wahdat al-wujud.[44]
Masih berkaitan dengan wahdat al-wujud, Ibnu ‘Arabi menyatakan: Telah menjadi ketetapan  bagi para muhaqqiqīn (orang-orang yang telah  mencapai kedekatan dengan Allah) bahwa dalam wujud ini tiada yang lain kecuali hanya Allah swt. Walapun kita ada, namun adanya kita  adalah karena wujud-Nya, dan yang wujudnya disebabkan oleh wujud yang lain maka sebenarnya ia tidak ada.[45]
Bagi Ibnu ‘Arabi, al-Haq mempunyai dua wujud yang berlainan satu sama lain, namun berhubungan antara keduanya. Pertama adalah wujud yang haqiqi, yaitu wujud Tuhan di dalam diri-Nya, dan yang kedua adalah wujud idāfi (relatif) yang  tak lain adalah wujud Tuhan yang tampak pada segenap fenomena yang ada di alam selain-Nya. Yang pertama adalah wujud Tuhan yang batin, yang hanya diketahui oleh diri-Nya sendiri, dan yang kedua adalah wujud Tuhan  yang lahir yang tampak pada segenap makhluk yang ada. Di dalam al-Qur’an   Al-Haq digambarkan  sebagai yang pertama (al-awwal), yang terakhir (al-ākhir), yang lahir dan yang batin. Kalau wujud yang pertama adalah wujud yang tetap sejak azali,  maka wujud yang kedua  adalah wujud yang senantiasa  berubah dan berganti terus-menerus.[46]
Timbul persoalan, apakah faham wahdat al-wujud itu merupakan faham yang bersumber dari al-Qur’an atau faham yang terlepas dari al-Qur’an? Setelah mengkaji tafsir karya Ibnu ‘Arabi, dapat ditarik  natijah bahwa faham wahdat al-wujud Ibnu ‘Arabi ternyata berakar kepada al-Qur’an. Dalam bahasa lain wahdat al-wujud merupakan interpretasi dari banyak ayat al-Qur’an yang secara maknawi (tersirat) ayat-ayat itu batinnya menggambarkan faham wahdat al-wujud. Makna yang batin itu, dalam paradigma sufistik, hanya dapat diselami oleh orang-orang yang suci hatinya. Proses pensucian hati yang ditempuh para sufi disebut  suluk, artinya pendekatan spiritual melalui pelaksanaan yang al-wajib secara benar, an-nawāfil secara kontinyu dan riyādoh secara istiqamah. Orang yang mengamalkan teori ini, menurut Ibnu ‘Arabi disebut ahlullah  (keluarga Allah). Kata Ibnu ‘Arabi sebagaimana  al-Qur’an diturunkan kepada orang yang suci hatinya, demikian juga al-Qur’an lebih dapat dipahami dan diselami kedalaman maknanya oleh orang yang suci hatinya. Orang yang suci hatinya adalah para sufi.
Dalam bahasa yang singkat Az-Zahabi melukiskan karakteristik  pola penafsiran Ibnu Arabi yang sufistik dan perbedaannya dengan pola penafsiran ahli zahir, yang ia kutip dari  statement Ibnu ‘Arabi sendiri dalam kitabnya al-Futūhāt,  dalam tulisan sebagai berikut:
ان كلما يجري على لسان اهل الحقيقة من المعاني الاشارية في القرأن هو فى الحقيقة تفسير وشرح لمرادالله . وانما عبر با لاشارة تقية من اهل الظاهر ورايت كيف ادعى ان اهل الله –وهم الصوفية—أحق الناس بشرح  كتابه: لانهم يتلقون علومهم عن الله ، فهم يقولون فى القرأن على بصيرة    أما اهل الظاهر فيقولون با لظن و التخمين.[47]

            Segala ucapan yang keluar dari ahli hakekat berupa makna-makna isyarat dalam al-Qur’an, pada hakekatnya ia adalah tafsiran dan penjelasan terhadap maksud firman Allah. Ibnu ‘Arabi meredaksikan dengan istilah isyarat, untuk membedakan dari ahli zahir. Selanjutnya bagaimana ia mengaku bahwa ahl Allah adalah orang yang paling berhak menjelaskan kitab Allah, sebab mereka menerima ilmu mereka langsung dari Allah, mereka membicarakan al-Qur’an atas dasar penglihatan mata hati, sedangkan  ahli zahir berbicara tentang al-Qur’an berdasar dugaan dan perkiraan.
             Berkata Syu’bah dari Abdullah bin Abi as-Safar bahwa As-Sya’bi berkata: “Demi Allah tidaklah suatu ayat turun kecuali aku bertanya tentang maknanya, tetapi akhirnya aku sadar bahwa  penjelasan makna ayat itu adalah riwayat dari Allah”.[48]
            Abu ‘Ubaid berkata, telah meriwayatkan hadis  kepada saya Hasyim, telah meriwayatkan hadis kepada saya ‘Amr bin Abu Zaidah dari As-Sya’bi dari Masruq ia berkata: “Hati-hatilah dengan tafsir sebab tafsir itu hanyalah riwayat dari Allah”.[49]
            Kedua hadis di atas, memberi peluang kepada siapa saja untuk mendapat informasi langsung dari Allah menyangkut  maksud ayat-ayat al-Qur’an. Dan hanya orang-orang yang terbuka hatinya yang dapat menangkap cahaya Tuhan tersebut yaitu para sufi.  Meskipun pada  awalnya kedua hadis di atas merupakan argumen tentang betapa penafsiran bi ar-rakyi itu dilarang Rasulullah.
Dari pernyataan Ibnu ‘Arabi di atas, nampak kelihatan bahwa pola kedua yang dijadikan landasan Ibnu ‘Arabi dalam  upaya menafsirkan al-Qur’an adalah  al-faid atau pancaran dari Tuhan. Artinya pancaran ilmu yang langsung diberikan Tuhan ke dalam hati para  sufi karena mereka telah berhasil mensucikan hati sesuci sucinya, sehingga cahaya Tuhan (berupa ilmu) datang dengan sendirinya sesuai dengan kehendak Tuhan. Dalam istilah sufi lain, al-Gazali, misalnya, ia menyebutnya dengan istilah ilmu ladunni (ilmu mukasyafah). Itulah sebabnya sebagian fakar  tafsir menyebut pola penafsiran Ibnu ‘Arabi sebagai pola penafsiran teosofi, seperti halnya tafsir-tafsir sufi yang lainnya.
Syaikh Ahmad Sahibul Wafa menyatakan:
فالانبياء والاولياء ونحوهما انكشف لهم الامر وفاض على صدورهم النور لابالتعلم والدراسة والكتابة للكتب بل بالزهد في الدنيا وتبري من علا قها وتفريغ القلب من شواغلها والاقبال بكنه الهمة على الله تعالى فمن كان لله كان الله له كذالك. [50]

Para Nabi, para wali dan yang seumpamanya, terbuka kepada mereka segala perkara dan tercurahlah ke dalam hati mereka cahaya bukan dengan belajar dan menela’ah kitab-kitab, tetapi cahaya itu didapat dengan zuhud terhadap dunia dan lepas dari keterikatan  dengan dunia, mengosongkan hati dari kesibukan dunia serta menghadap secara konsentrasi dan sepenuh hati kepada Allah Ta’ala. Barang siapa yang beramal hanya karena Allah maka Allah pun memperhatikan dia.
Paradigma sufistik ala Ibnu ‘Arabi ini, jelas menjadi bahan perdebatan panjang yang sejak kelahirannya hingga sekarang masih hangat untuk dibicarakan. Ibnu Taimiyyah seorang mufassir ahli zahir tentu saja mengeritik secara tajam terhadap faham wahdat al-wujud sekaligus terhadap metode   penafsiran sufistik serupa ini. Ia menulis;  Barang siapa beralih dari manhaj  penafsiran sahabat dan tabi’in ke  manhaj penafsiran yang tidak sesuai dengan mereka, maka pola serupa ini adalah salah bahkan bid’ah. Namun Ibnu Taimiyyah selanjutnya menyatakan, jika orang yang menafsirkan  itu seorang mujtahid maka kesalahannya diampuni.[51]
Lebih lanjut Ibnu Taimiyyah mengutarakan, al-Qur’an dibaca para sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in. Merekalah orang yang paling tahu terhadap tafsir al-Qur’an dan makna-makna al-Qur’an. Barang siapa menyalahi ucapan para sahabat dan menafsirkan al-Qur’an berbeda dengan tafsiran para sahabat dan tabi’in maka orang itu telah melakukan kesalahan dalam dalīl dan madlūl secara langsung. Faktor penyebab kekeliruan ini, kata Ibnu Taimyyah adalah bid’ah-bid’ah yang dibawa ahlinya yang pada gilirannya membawa perubahan dan penyimpangan kalam dari tempatnya, lalu mereka menafsirkan kalam Allah dengan tafsiran yang tidak dikehendaki-Nya dan mereka melakukan takwil dengan takwil yang tidak sesuai  dengan indikator-indikatornya. Pola penafsiran serupa ini, kata Ibnu Taimiyyah, biasa dilakukan oleh para orator, fuqoha dan terutama oleh para sufi. Mereka menafsirkan al-Qur’an dengan makna dan pengertian yang benar sahih dan valid, tetapi al-Qur’an tidak menunjuk atas penafsiran itu. Oleh karena itu, mereka telah salah dalam dalīl tidak dalam  madlūl.  Tetapi jika interpretasi yang mereka kemukakan mengandung kebatilan, maka pola serupa ini keliru dalam dalil dan madlul sekaligus. Sehingga  pada akhirnya makna yang mereka pahami pun menjadi fasid.[52]
Senada dengan kritik Ibnu Taimiyyah, Mahmud Basyuni menyatakan: Cara penafsiran yang dilakukan Ibnu ‘Arabi, termasuk  dalam bentuk penafsiran yang terlarang, karena setiap tafsir yang tidak didasarkan pada kaidah-kaidah dari al-Qur’an  adalah tafsir yang sesat dan menyesatkan. Kitabullah telah mewajibkan agar aturan-aturan diambil daripadanya, bukannya agar orang membuat aturan-aturan terhadap al-Qur’an.[53] Namun sejak awal Ibnu ‘Arabi menandaskan bahwa ucapan para sufi dalam menafsirkan al-Qur’an  itu adalah tafsir yang hakiki, bukan sekedar bandingan-bandingan  bagi makna-makna tersebut. Bahkan ia merasa bahwa para sufilah yang paling berhak menafsirkan al-Qur’an.[54]
Bagaimana cara pandang Ibnu ‘Arabi terhadap al-Qur’an? Tulisan Ibnu ‘Arabi dalam al-Futūhāt menggambarkan cara pandang Ibnu ‘Arabi terhadap al-Qur’an. Tulisan selengkapnya sebagai berikut:
Menurut kami (Ibnu ‘Arabi), al-Qur’an al-‘Aziz telah tetap secara mutawatir dibawa oleh seseorang yang mengaku sebagai utusan Allah (Rasulullah),  al-Qur’an sendiri datang dengan membawa informasi tentang kebenaran pengakuan orang termaksud. Itulah al-Qur’an, tidak ada seorang pun yang dapat menentangnya. Telah legal secara jama’i, bahwa orang itu adalah Rasulullah (utusan Allah) yang diutus ke tengah-tengah umat manusia untuk menjelaskan kepada manusia bahwa yang ia bawa adalah kalam Allah. Semua itu diyakini secara mutawatir bahwa al-Qur’an adalah berita yang hak, ucapan yang memisahkan antara yang salah dan benar, yang ma’ruf dan munkar yang haq dan yang batil. Argumen-argumen tentang hal di atas, sama’i dan rasional.
Jika inti persoalan seperti digambarkan di atas,  maka hendaklah orang yang mau mengambil faham aqidahnya, mengambilnya dari al-Qur’an. Dalam hal ini, kedudukan al-Qur’an bagaikan  dalil ‘aqli  dalam sebuah dilalah, sebab al-Qur’an adalah kebenaran yang tidak datang kepadanya kebatilan baik dari depan maupun dari belakang, ia diturunkan dari Allah yang Maha Terpuji dan Maha Bijaksana. Jika argumen yang pasti telah didapat maka tidak perlu lagi terhadap argumen yang lain.  Sebagai misal, ketika orang Yahudi minta kepada Nabi Muhammad  agar  nabi menjelaskan  substansi dan karakteristik Tuhannya, maka Allah menurunkan surat al-Ikhlas. Dengan turunnya surat al-Ikhlas Rasulullah merasa tidak perlu lagi menjelaskan kepada mereka argumen-argumen ‘aqli  sebagai dalil.[55]
Itulah sebabnya Ibnu ‘Arabi menolak sumber-sumber penafsiran yang bermacam-macam berupa dominasi keilmuan yang menjadi milik si mufassir itu sendiri yang boleh jadi mengalihkan nash al-Qur’an dari yang semestinya. Ibnu ‘Arabi berpendapat bahwa al-Qur’an tidak dapat dipelajari kecuali dari al-Qur’an lagi melalui jalan pencerahan (pancaran ilmu dan ma’rifah dari Tuhan). Selanjutnya ia menulis, tidaklah Allah  Swt. menurunkan al-Qur’an-Nya dan mengutus rasul-Nya untuk membawanya  kecuali kita harus siap-siap untuk menerima  dan mengambil petunjuknya (hidayahnya)  dan menjadikan al-Qur’an sebagai imam, sebab ia adalah jalan Allah yang lurus  dan tali Allah yang kokoh. Apabila terjadi kesulitan dalam memahami  maksud suatu ayat sebagai misal memastikan malam  yang gelap  maka hendaklah kita kembali kepada al-Qur’an itu sendiri, sebab al-Qur’an adalah syāfi’ (pemberi syafa’at) yang dapat memberikan syafa’at (pertolongan), syāhid  (saksi) dan musaddiq (yang membenarkan). Barang siapa menjadikan al-Qur’an berada di depannya maka al-Qur’an akan menuntunnya ke surga  sebaliknya barang siapa menjadikan al-Qur’an berada di belakangnya  maka al-Qur’an akan menggiringnya ke neraka. al-Qur’an adalah dalil  yang paling jelas  yang menunjukan ke jalan yang terbaik.[56]
Dasar untuk dapat memahami makna-makna al-Qur’an adalah tadabbur dan tafakkur. Ketahuilah bahwa seseorang tidak akan dapat memahami makna-makna al-Qur’an dengan sebenarnya. Ia tidak akan melihat rahasia-rahasia ilmu tentang pengetahuan gaib, jika  dalam hatinya  ada kesombongan, nafsu, cinta dunia, atau imannya sebatas kata-kata, atau kurang  kuat daya nalarnya, atau berpegang pada pendapat mufassir yang  hanya memiliki ilmu zahir, atau hanya mendasarkan pada nalarnya. Semua ini merupakan hijab dan penghalang yang sebagiannya ada yang lebih kuat ketimbang yang lainnya.[57]
            Menurut Hamid Mahmud az-Zaqri, Ibnu ‘Arabi tidak memiliki ukuran  dan timbangan yang jelas mengenai sumber penafsiran. Sementara salah seorang pakar tafsir menyebutkan bahwa pendekatan ma’şur, kebahasaan dan ar-ra’yu yang sahih adalah amat diperlukan bagi siapa saja yang bermaksud memasuki dunia tafsir, sebab memperhatikan yang lahir adalah urgen (amat diperlukan) bagi keselamatan memasuki dunia batin. Dalam pada itu, tidak akan sempurna pengetahuan terhadap al-Kitab yang mulia ini kecuali jika tasawuf yang hakiki, dijadikan sebagai salah satu pembuka terhadap rahasia-rahasia-Nya dan cahanya-cahaya-Nya. Tanpa tasawuf tidak akan sempurna berada dalam cahaya al-Qur’an,  walaupun ia adalah seorang yang memahami tarkib kebahasaan, mengerti sebab nuzul dan sumber-sumber ma’şur. Kata Hamid Mahmud az-Zaqri, sayangnya pola penafsiran Ibnu ‘Arabi, tidak mementingkan kaidah-kaidah prinsip serupa ini, malah dia mengambil mazhab batini yang tidak sejalan dengan sufi lainnya.[58] Selanjutnya, Hamid menilai.  Betapa Ibnu ‘Arabi tidak mementingkan sumber dan pola penafsiran   seperti yang dikemukakan oleh mufassir yang lainnya, dapat dilihat dari risalah yang ia kirimkan kepada ar-Razi[59] yang intinya mengajak Ar-Razi agar menanggalkan ketergantungan atas berbagai pengetahuan-pengetahuan sekunder yang berkaitan dengan penafsiran, sebalikmya  mengambil  serta berpegang teguh terhadap sumber primer penafsiran yaitu ilmu dari Tuhan (Allah)  melalui emanasi dan pancaran-Nya. 
            Betul Ibnu ‘Arabi mengajak Ar-Razi untuk masuk ke dunia tasawuf  agar dapat memahami maksud Tuhan secara benar, tetapi ajakan itu tidak dapat dijadikan argumen bahwa Ibnu ‘Arabi tidak memiliki pengetahuan sebagai yang dimiliki mufassir zahiri yang lain. Ajakan  ke ilmu ilahiyyat itu, boleh jadi karena dia sendiri sudah merasa tidak perlu lagi memperdalam dan memunculkan  ilmu-ilmu zahir yang  berpungsi membantu untuk memahami maksud Tuhan karena ilmu zahir itu telah pula ia kuasai, demikian juga Ar-Razi, dalam pandangan Ibnu ‘Arabi telah memiliki kecukupan dalam penguasaan terhadap ilmu zahir dalam upaya memahami maksud Tuhan. Itulah sebabnya Ibnu ‘Arabi mengajak Ar-Razi untuk segera masuk ke dunia  tasawuf yaitu at-tkhalluq bi akhlāqillah, agar mendapat pancaran ilmu  langsung dari Allah.
 Kenyataan ini dapat dilihat dari komentar Az-Zahabi, bahwa Ibnu ‘Arabi bukan hanya sebagai  seorang sufi besar, tetapi ia juga ahli  yang mumpuni dalam bidang hadis dan  āsār, ia mengambil hadis dari banyak ahlinya, ia juga adalah seorang sastrawan (ahli dalam bahasa dan ilmu-ilmu kebahasaannya),  sehingga tidak aneh kalau Ibnu ‘Arabi banyak menulis pesan-pesan moral  dalam bentuk narasi  atau  syi’ir-syi’ir yang indah yang ia persembahkan kepada beberapa raja di Spanyol. Ia adalah seorang ulama yang sudah sampai ke tingkat mujtahid dan mustanbit (orang yang mampu mengeluarkan hukum dari dalilnya), bahkan dapat menyusun kaidah-kaidah dan maksud-maksud  filosofis suatu masalah yang tidak dapat dilakukan kecuali oleh penggagasnya dan ia sanggup menemukan permasalahan hingga ke akar-akarnya.[60]
            Sebagaimana para sufi selalu  memandang segala aspek dari dua sisi yaitu lahir dan batin, demikian juga Ibnu’Arabi melihat segala pernyataan dari dua segi yaitu yang tampak  dan tidak tampak, termasuk cara pandang dia terhadap pernyataannya sendiri. Orang yang memandang ucapan Ibnu ‘Arabi dari lahirnya tidak sedikit yang menilai Ibnu ‘Arabi sebagai kafir dan zindik. Tetapi para pengikut dan para  pengkaji tasawuf  serta orang-orang yang kagum terhadap pemikiran teosofi Ibnu ‘Arabi tidak mengambil semua tulisan Ibnu ‘Arabi dari segi lahirnya tetapi dari segi batinnya. Selanjutnya mereka menulis: “Sesungguhnya tulisan atau pernyataan yang tampak secara lahir bukanlah yang dimaksud, yang dimaksud adalah perkara-perkara yang telah berlaku di kalangan para  sufi. (term-term sufistik yang telah galib dan lazim  di kalangan para sufi)”.  Oleh sebab itu, As-Suyuti, demikian juga Al-Gazali, menulis:   “Barang siapa membawa perkataan para  sufi kepada makna-makna yang dikenal di kalangan ahli zahir maka bisa jadi kafir”. Selanjutnya Al-Gazali mengatakan, bahwa ucapan para  sufi itu  menyerupai ayat-ayat mutasyabihat  dalam al-Qur’an atau sunnah, oleh karena itu  jika orang membawa pengertian ayat itu secara zahir, hal itu dapat menggiring kepada kekufuran.[61]
Bukan hanya dalam cara pandang terhadap ayat atau hadis, para sufi selalu melihatnya dari dua sisi, Islam  yang sebagai identitas bagi agama yang lurus pun, mereka pandang dari dua segi. Bagi para sufi, Islam memiliki dua segi;  Islam zahir dan  Islam batin. Islam zahir adalah pengakuan secara lisan, dan pengamalan secara anggauta. Inilah Islam jasadi. Hal yang bersifat jasadi digambarkan dengan malam yang selalu gelap. Sedangkan Islam batini adalah tercerahkannya hati  dan dada oleh cahaya Allah Ta’ala. Inilah Islam ruhani. Islam ruhani selalu terang, maka digambarkan sebagai siang. Islam jasadi memerlukan Islam ruhani. Islam jasadi menuntut islamnya jasad artinya tunduknya anggaota badan terhadap segala perintah  dan larangan Allah. Sementara itu Islam ruhani menuntut atas penerimaan hati  dan ruh terhadap hukum azali, ketentuan azali, kadar azali dan lain-lain. 
Barang siapa berada  pada Islam jasadi  dan tidak sampai pada Islam ruhani maka laksana orang yang berjalan di malam yang gelap gulita, tentu saja  ia akan ragu dan bingung  dan akhirnya ia akan melihat betapa banyak tuhan dan raja, sebagaimana Ibrahim pernah menganggap bulan dan bintang  sebagai tuhan, demikian juga matahari sebagai tuhan. Tetapi tatkala hatinya telah bersih dan terbitlah cahaya Islam ruhani dari dirinya sendiri dan dari tempat terbitnya sendiri yaitu hatinya sendiri  maka segera  ia ada dalam cahaya Tuhannya sehingga tatkala waktu subuh tiba ia berkata; Kami memasuki  waktu subuh dan jadilah segala kerajaan dan kekuasaan adalah milik Allah, ia melihatnya dengan ain al-yaqin  bahkan hingga meningkat ke tingkat haq al-yaqin bahwa seluruh kerajaan dan kekuasaan adalah milik Allah, tidak ada lagi raja kecuali Raja yang Menguasai hari kemudian.[62]
            Seringkali terjadi kesalahan dalam memandang Ibnu ‘Arabi, sehingga menuduhnya sebagai kafir atau zindik, gara-gara tidak dapat memahami  kerangka berfikikir Ibnu ‘Arabi atau karena sulit memahami ungkapan-ungkapan sufistik Ibnu ‘Arabi. Atau bisa jadi kesalahan  penilaian itu  akibat data dan fakta yang tidak akurat. Contoh kesalahan  penilaian itu pernah terjadi pada diri As-Sya’rani, seorang fakar tasawuf yang  mencoba meringkas  karya besar Ibnu ‘Arabi, al-Futūūhāt. As-Sya’roni menulis ‘Tatkala aku meringkas al-Futūhāt, aku berhenti dalam banyak tempat, karena apa yang aku temukan dalam kitab tersebut ternyata berlainan dengan ajaran ahl al-Sunnah  wa al-jama’ah. Lalu aku membuangnya dari mukhtasar yang aku kerjakan. Tetapi sering aku lupa, aku mengikuti apa yang tertulis dalam al-Futūhāt, sebagaimana terjadi pada Al-Baidhawi  beserta Az-Zamahsari. Terus menerus aku demikian sehingga aku mengira bahwa beberapa persoalan  yang aku buang adalah juga dari tuan Syaikh. Tak ku duga datanglah kepadaku seorang kawan yang alim yang mulya yaitu Syamsuddin  as-Sayyid Muhammad bin Sayyid Abi at-Tib al-Madanī yang meninggal tahun 955 H.; Aku menuturkan kejadian itu kepadanya. Lalu ia (Syaikh Syamsuddin)  mengeluarkan satu naskah al-Futūhāt yang ia  miliki yang ditulis oleh Ibnu ‘Arabi  dengan tangannya sendiri. Maka aku tidak melihat sedikitpun dalam naskah asli ini  apa yang aku tidak pahami sehingga aku berhenti dan membuang kesalahan. Akhirnya  aku tahu bahwa naskah yang beredar  di Mesir sekarang ini, semuanya diambil dari naskah orang-orang yang tidak senang kepada Ibnu ‘Arabi, dimana mereka  menyisipkan di dalam kitab al-Futūhāt,   perkara-perkara yang berlainan   dengan ajaran ahlu as-sunnah wa al-jama’ah. Hal ini juga terjadi pada kitab Fusūs  al-Hikam dan kitab-kitab karya Ibnu ‘Arabi yang lainnya.[63]
            Dari pernyatan As-Sya’roni, kita dapat menangkap betapa As-Sya’roni membela Ibnu ‘Arabi bahwa  pola fikir Ibnu ‘Arabi tidak  keluar dari  koridor ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah. Intinya As-Sya’roni hendak mengatakan bahwa Ibnu ‘Arabi pun termasuk bagian dari komunitas Ahl as-Sunnah wa al-Jamā’ah. Hanya As-Sya’roni lupa kalau paradigma awal Ibnu ‘Arabi yakni tentang wahdat al-wujud tidak bisa diterima oleh ahl as-sunnah wa al-jama’ah, meskipun pola penafsiran yang ia kembangkan dinilai ahli sunnah tidak menyimpang sejauh pengalihan makna dari zahir ke makna batin tidak menafikan makna zahir.
            Ternyata Ibnu ‘Arabi tidak menolak makna zahir, sungguhpun terkadang  dalam berbagai penafsiran ayat, ia langsung menafsirkannya ke makna batin. Namun dari redaksi yang ia pergunakan, Ibnu ‘Arabi tetap tidak menapikan makna zahir. Sebagai contoh, agar lebih jelas bagaimana Ibnu ‘Arabi menafsirkan secara batin, dengan tidak menafikan makna zahir sebagai berikut.
            Tatkala menafsirkan makna ashāb al-kahfi yang termuat dalam surat al-kahfi ayat ke delapan. Ibnu ‘Arabi menulis tafsiran sebagai berikut:
و يجوز ان يكون المراد با صحاب الكهف روحانيات الانسان التي تبقى بعد خراب البدن وقول من قال: ثلاثة: اشارة الى الروح, والعقل, والقلب. والكلب هي النفس الملازمة      لباب الكهف. ومن فال خمسة : اشارة الى الروح والقلب والعقل النظري والعقل العملي والقوة القدسية للانبياء , التي هي الفكر لغيرهم. ومن قال سبعة : فتلك الخمسة مع السر والخفاء  والله اعلم. [64]

          Boleh saja diartikan bahwa yang dimaksud dengan ashāb al-kahfi adalah ruhani manusia yang tetap kekal setelah hancurnya badan.  Adapun ucapan orang yang mengatakan ada tiga, adalah isyarat terhadap ruh, ‘aqal, dan hati. Sedangkan yang dimaksud kalbun (anjing) adalah nafsu yang senantiasa menggoda pintu ruhani manusia. Barang siapa mengatakan lima: Ini suatu isyarat terhadap ruh, hati, ‘aqal teoritis, akal praktis, dan kekuatan yang kudus bagi para nabi, yang bagi yang lain disebut al-fikr. Barang siapa yang menyatakan tujuh maka adalah yang lima tertulis di atas ditambah dengan sirr dan khafa (samar). Wallahu A’alamu.  Allah lebih tahu.
            Memang tidak mudah memahami tulisan Ibnu ‘Arabi, terutama karya-karya sastranya, karena di dalamnya bercampur antara bahasa batin dengan bahasa zahir. Dan untuk memahaminya tidak cukup kita  menangkapnya dengan hanya menggunakan pendekatan konvensional, sebab biasanya makna yang dimaksud adalah makna batin. Sebagai contoh, misalnya syi’ir Ibnu ‘Arabi di bawah ini:
          يا من يراني ولأاراه  -----   كم ذا أراه ولايراني

Wahai, Yang Dia melihatku dan aku tidak melihat-Nya Betapa kini aku melihat-Nya dan Dia tidak melihatku

            Ratapannya, segera dibantah oleh orang-orang yang mendengarnya. Mereka bertanya “Bagaimana tuan mengatakan bahwa Dia tidak melihat  tuan, padahal tuan tahu bahwa Dia melihat tuan ? Segera Ibnu ‘Arabi menjawab dalam syi’ir berikut ini:

يا من يراني مجرما--- ولا أراه أخذا 

  كم ذا أراه منعما-       ولا يراني لائذا [65]


Wahai Dia Yang melihatku melakukan dosa

Dan aku tidak melihat-Nya Dia memaafkan

Betapa kini aku melihat-Nya dalam kenikmatan

Dan Dia tidak melihatku Dia kutinggalkan.

           
            Dari kedua syi’ir ini, nampak kelihatan bahwa ucapan Ibnu ‘Arabi tidaklah makna lahir yang dimaksud melainkan makna batin sesuai dengan indikator-indikator yang ada pada susunan redaksinya. Terhadap pola fikir Ibnu ‘Arabi serupa ini, ada ulama yang mendukungnya dan ada juga yang menolaknya. Di antara para ulama yang mendukung,  misalnya Majduddin al-Fairuzabadi, Sirajuddin al-Makhzumi, Sirajuddin al-Bulqini, Fakhruddin ar-Razi, Imam Ibnu As’ad ay-Yāfi’i, Sa’duddin al-Hamāwi, Kamaluddin al-Kasyi dan Ibnu Kamal Fasya. Sedangkan ulama yang mencelanya antara lain, Jamaluddin al-Khayyat   al-Yamani, Ibnu Taimiyyah, Burhanudidin al-Biqa’i.[66]
            Untuk memahami maksud ayat, mufassir tidak perlu pergi mencari penjelasan ke dalam kisah-kisah israiliyyat. Berkaitan dengan israiliyyat, Ibnu ‘Arabi menulis, “adalah sebuah keharusan seorang mufassir menjaga kejujuran, ia tidak sepantasnya mengambil  ceritera-ceritera yahudi dan nasrani  sebagai penjelasan  terhadap firman-firman  Allah”. Selanjutnya ia mengutip pernyataan para ahli tafsir; ‘demikian juga tidak pantas seorang mufassir mengajukan sebagai interpretasi  terhadap kalam Allah, takwil-takwil yang fasidah  dan hadis-hadis dengan sanad-sanad yang lemah”.[67]
Adapun kisah yang dapat diterima Ibnu ‘Arabi berkaitan dengan upaya memahami kalam Tuhan adalah segala informasi menyangkut Yahudi maupun Nasrani yang dimuat dalam hadis-hadis yang sahih, sedangkan informasi yang menyalahi hal di atas maka janganlah diperhitungkan. [68] Jadi kesimpulan yang dapat kita tarik dari sikap Ibnu ‘Arabi terhadap kisah israiliyyat adalah bahwa Ibnu ‘Arabi sama sekali tidak mau mengambil kisah-kisah israiliyyat sebagai penjelasan terhadap kalam Tuhan yang ijaz di dalam kitab tafsirnya kecuali israiliyyat yang dimuat dalam hadis-hadis yang sahih, baik secara sanad maupun matan.  Dalam hal ini, Ibnu ‘Arabi sependapat dengan mufassir-mufassir yang sezaman dengannya; Fakhruddin ar-Razi, Ibnu ‘Atiyyah, Ibnu al-Jauzi yang  mengajak para fakar untuk membersihkan al-Qur’an dari kisah-kisah israiliyyat yang tidak dapat diterima oleh akal (irrasional),  dan juga tidak dikuatkan oleh argumen dari riwayat yang  sahih.
Ibnu ‘Arabi tidak tertarik untuk menguraikan perbedaan pendapat menyangkut masalah-masalah fikih (masāil al-fiqhiyyah), melainkan ia lebih memperdalam pembahasan ke arah tasawuf. Siapa saja yang memperhatikan cara penafsiran Ibnu ‘Arabi, ia akan melihat bahwa faktor bahasa, kesucian hati, ketakwaan dan intuisi (ilhām), itulah yang menjadi landasan  penafsiran dalam kitab tafsirnya. Oleh karenanya, maka adalah tepat jika ada sementara fakar yang mengelompokan Ibnu ‘Arabi dalam jajaran  ahli bahasa, hanya saja disamping sebagai ahli bahasa yang mumpuni, yang juga merupakan ilmu zahir, dalam waktu  sama, Ibnu ‘Arabi adalah seorang sufi yang memiliki rasa yang dalam yang hatinya terbuka sehingga dapat memahami maksud ayat yang tidak dapat dijangkau oleh hanya pendekatan linguistik ahli bahasa, tetapi penafsirannya tetap  tidak keluar dari  ruh bahasa itu sendiri.[69] Bagi Ibnu ‘Arabi  substansi bahasa  adalah apa yang ia fahami dengan jalan al-kasyaf wa al-faudhāt. Itulah sebabnya, orientasi kebahasaannya berujung pada isyarat-isayarat yang dalam yang tidak dapat dijangkau oleh sekedar pendekatan bahasa secara lahir.
Berkaitan dengan pendekatan tafsir Ibnu ‘Arabi sebagai diungkap di atas, Ibnu Taimiyyah, menulis yang ia kutip dari Ibnu Katsir bahwa pola penafsiran yang paling utama, pertama adalah menjelaskan ayat al-Qur’an dengan al-Qur’an lagi, jika belum nampak kejelasannya maka masuk ke tahapan yang kedua yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan  mencari penjelasan dari hadis Nabi, jika dalam hadis belum nampak kejelasan maknanya  maka masuk ke langkah ke tiga yaitu mencari pendapat ulama sahabat. Dan jika dalam āsār sahabat pun belum nampak kejelasannya maka pergunakalanlah pendekatan kebahasaan (linguistik).[70]
Sehubungan dengan kritik Ibnu Taimiyyah, tulisan  Ibnu ‘Arabi menggambarkan antisipasinya: Memang betul ilmu itu tidak akan didapat kecuali dengan cara belajar secara manual, sesuai dengan firman Allah: “Bacalah! Dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan manusia. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, Tuhanmulah yang Maha Mulia. Yang mengajar manusia menulis dengan qalam”. (al-‘Alaq: 1-5). Allah berfirman: “Allah mengeluarkanmu dari perut ibumu  dalam keadaan kamu tidak tahu apa-apa” “Allahlah yang menciptakan manusia.  Ia mengajarkan kepadanya penjelasan-penjelasan” (Ar-Rahman: 3-4). 
Memang Allah lah yang mengajar manusia. Namun janganlah ragu kalau para sufi itu adalah ahli waris para Rasul. Menyangkut hak para Rasul Allah berfirman:
“Allah mengajarmu apa yang kamu tidak ketahui” (an-Nisa: 13). Tentang hak ‘Isa Allah berfirman: “Allah mengajarnya ilmu dan hikmah, taurat dan injil” (Ali Imran: 48). Tentang hak Hidir Allah berfirman: “Kami berikan kepadanya ilmu dari Kami sendiri”  (Al-Kahfi: 65).
Selanjutnya Ibnu ‘Arabi berkata: Memang benar para ulama yang menyatakan bahwa ilmu  tidak dapat diperoleh kecuali dengan belajar, tetapi i’tikad mereka salah  kalau mereka berpendapat bahwa Allah tidak memberi ilmu kecuali kepada Nabi, Rasul dan ulama. Padahal Allah berfirman:
            يؤتي الحكمة من يشاء ( البفرة: 269)
          “Allah memberikan hikmah kepada siapa saja yang Ia kehendaki” (al-Baqarah: 269)
          Maksud “hikmah” di sini adalah ilmu. Dan kata “man” diungkap secara nakirah. Ini menunjukan kepada selain Rasul pun Allah memberikan ilmu. Para sufilah orang yang mendapatkannya[71]
Ketika Ibnu ‘Arabi menafsirkan ayat-ayat yang berhubungan dengan alam (ayat kaoniyyah),  Ibnu ‘Arabi menafsirkannya secara sufistik. Seringkali apa yang ia paparkan secara zahir tidak ada kaitannya dengan ayat yang sedang ditafsirkannya. Sebagai misal ketika ia menafsirkan ayat:
وهو الذي يرسل الرياح بشرا بين يدي رحمته حتى اذا أقلت سحابا ثقالاسقناه لبلد ميت فانزلنا به الماء فاخرجنا به من كل الثمرات كذلك نخرج الموتى لعلكم تذكرون    (الاعراف: 57)

Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran. (al-A’rāf : 57).

Negeri yang baik akan mengeluarkan tumbuh-tumbuhan yang baik pula  atas izin Tuhan, sedangkan negeri yang jelek tidak akan mengeluarkan apa-apa kecuali kegersangan, seperti itulah Kami memperlihatkan ayat-ayat Kami  bagi orang-orang yang bersyukur. Selanjutnya Ibnu ‘Arabi menuturkan bahwa sesuai dengan fitrah yang mesti terjadi bahwa siapa yang masuk dalam tarekat maka ia akan melihat Tuhan Yang Maha Suci. Lalu ia membaca kedua ayat di atas. Allah mengingatkan kita dengan apa yang kita baca  atas pertolongan awal yang Allah berikan kepada kita melalui tangan Isa, Musa dan Muhammad saw. Kita kembali ke jalan yang lurus ini karena jasa Isa, Musa dan Muhammad saw.
Adapun tafsiran (Baina Yadai Rahmatihi) yakni Ia menolong kita.  (Hatta iza aqallat sahāban şiqālan)  yakni kesesuaian taufiq. (Suqnāhu libaladin mayyitin) Itulah Aku. (Fa’ahyainā bihi al-ardha ba’da mautiha) yakni apa yang nampak kepada kita berupa cahaya penerimaan dan amal salih serta kerinduan kepada-Nya. (demikianlah Kami menghidupkan orang yang telah mati); Potongan ayat itu mengandung isyarat, sebagaimana hadis Nabi,  bahwa Allah menjadikan hujan yang turun membasahi bumi laksana air mani seorang laki-laki.[72]
Ibnu ‘Arabi mengulang tafsir atas ayat di atas sebagai berikut: Negeri yang baik mengeluarkan tumbuh-tumbuhan  atas izin Tuhannya. Maksudnya  tiada lain kecuali kesesuaian, pendengaran, dan ketaatan untuk mensucikan tempat. Sedangkan negri yang jelek yaitu pribadi yang dikendalikan oleh nafsu dan karakter yang buruk tidak mengeluarkan sesuatu kecuali perbuatan yang sia-sia.
Membawa  penafsiran ayat secara langsung ke penafsiran sufistik tanpa terlebih dahulu mengungkapkan tafsir secara zahir, sebenarnya bertentangan dengan pola penafsiran teosofi sendiri. Sebab menafsirkan ayat secara sufistik tanpa didahului dengan tafsiran zahiri, sering menimbulkan kesulitan bagi sebagian orang untuk memahaminya, bahkan dapat juga menimbulkan pitnah di kalangan umat. Pola ini secara sistimatis kelihatannya merupakan pelanggaran, tetapi Ibnu ‘Arabi tidak bermaksud demikian, karena makna zahir, baginya sudah ada dalam alam pemikirannya dan dianggapnya sebagai sesuatu yang muhkam (tidak perlu dijelaskan lagi).
Sebagaimana kebiasaan tafsir sufi, dalam banyak hal selalu berorientasi pada eksisitensi hati, peranan hati dan kesucian hati. Demikian juga Ibnu ‘Arabi dalam banyak interpretasinya selalu membawa segala persoalan berujung pada kesucian hati. Memang wajar, sebab bagi para sufi, hakikat manusia terletak pada hatinya,[73] jika hatinya baik maka baiklah manusia dan jika hatinya jelek maka jeleklah manusia.[74]
Sebagai misal, ketika ia menafsirkan ayat 32 surat al-haj sebagai berikut:
     ومن يعظم شعائر الله فانها من تقوى القلوب  (الحج: 32)
     لكم فيها منافع الى اجل مسمى ثم محلها الى البيت العتيق )  الحج: 33)

“Barang siapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati”. (al-Haj: 32)
“Bagi kamu pada binatang-binatang hadyu, ada beberapa manfa’at sampai kepada waktu yang telah ditentukan, kemudian tempat wajib (serta akhir masa) menyembelihnya ialah setelah sampai ke Bait al-‘Ataiq (Baitullah)”. (al-Haj: 33).

Ibnu ‘Arabi menafsirkan kata syi’ar-syi’ar Allah dengan tanda-tanda (a’alām), a’alām artinya dalil-dalil yang dapat menyampaikan kepada-Nya. Kemudian ia menafsirkan kata “kemudian tempatnya hingga sampai ke Baitullah” yang dimaksud adalah bait al-īman (rumahnya iman), sesuai dengan pendapat ahli isyarah.  Tempat iman tiada lain adalah hati orang yang beriman  yang meluaskan keagungan Allah dan kegagahan-Nya.[75]
Alasan lain mengapa penafsiran Ibnu ‘Arabi selalu berorentasi kepada kesucian hati. Sebab hati adalah eksisitensi manusia itu sendiri bahkan hakikat manusia itu sendiri. Selama hatinya berfungsi maka manusia itu sempurna, tetapi jika hatinya tidak berfungsi  maka bukanlah ia manusia. Dalam ayat Tuhan yang lain, disebutkan bahwa orang yang hatinya tidak berfungsi disebutnya sebagai binatang bahkan lebih jelek  dan lebih sesat daripada  binatang. Bagaimana orientasi Ibnu ‘Arabi terhadap fungsionalisasi qalb (hati), telah penulis angkat dalam bab empat.
Dalam ayat lain, interpretasi Ibnu ‘Arabi terhadap  kesucian dan pemaksimalan fungsi hati, agaknya perlu pula penulis utarakan di sini beberapa contoh.
            Ibnu ‘Arabi menganalogikan salat dengan kehadiran  hati, musyahadah dengan ruh dan ibadah haji dengan pendekatan (taqarrub ilallāhi) bahkan intinya segala bentuk pendekatan dengan hati itu adalah  salat. Dalam pada itu, masih dari interpretasi terhadap ayat tertulis di atas, masih terasa dan bahkan nampak begitu jelas betapa faham wahdat al-wujud selalu mendominasi ujung penafsiran Ibnu ‘Arabi. Ia mengatakan: Tidak ada wujud untukku dan untuk selainku sehingga aku mendapat bagian. Jika aku beramal maka aku mendapat  bagian. Karena ia beramal ia mendapat bagian, karena mendapat bagian maka ia dianggap wujud. Sementara jika tidak mendapat bagian, maka eksistensinya dianggap tidak ada maka tidaklah ada wujud untuku dan tidak juga untuk selainku. Dengan keadaan seperti itulah aku diperintah  yakni aku diperintah  agar aku tidak melihat kecuali kepada-Nya dalam arti secara al-jām’i (keseluruhan), demikian juga dalam gambaran rincian, sehingga aku beramal bagi Allah, tidaklah akan  keliru penglihatan dan tidak akan sesat, Dialah yang memerintah sekaligus Yang diperintah, Yang melihat sekaligus Dia juga yang dilihat. Dari kedua proposisi itulah nampak kelihatan pemunculan faham wahdat al-wujud hampir sepanjang ayat  dalam setiap surat.
          Karena penafsirannya yang komitmen dengan teori sufistiknya maka sebagaian fakar tafsir, semisal Husain az-Zahabi, Manna al-Qhattan, demikian juga Tameem Ushama, seringkali menyebut tafsir Ibnu ‘Arabi ini sebagai tafsir induk bagi corak tafsir falsafi nazhari, selanjutnya Ibnu ‘Arabi sendiri dipandang sebagai orang yang paling bertangung jawab terhadap pola penafsiran tasawuf falsafi nazhari ini. Ia menafsirkan al-Qur’an dengan tafsiran yang sesuai dengan teori awal tasawufnya  yaitu teori wahdat al-wujud. Penafsiran serupa ini terutama nampak sekali dalam buku falsafat mistiknya yaitu kitab Fusūs al-Hikam.[76]
            Ketika Ibni ‘Arabi  menafsirkan  ayat ke lima puluh tujuh  surat Maryam  yaitu ayat berikut ini:
          ورفعناه مكانا عليا (مريم: 57)
          Ia menyatakan: Tempat tertinggi yang menjadi tempat beredarnya ruh alam aflak  adalah falak matahari. Falak matahari ini merupakan tempat ruhani Nabi Idris. Sementara tempat yang paling tinggi adalah tempat bagi kita yakni  ummat Muhammad, sesuai dengan firman Allah dalam surat Muhammad ayat ke tiga puluh lima:
          وانتم أ علون والله معكم (محمد: 35)
            Dalam kedua ayat di atas, Ibnu ‘Arabi menafsirkan  kata (makān) dengan arti tempat secara fisik bukan dalam arti kedudukan. Sementara kebanyakan mufassir yang lain justru menafsirkan kata "makān" dan "makanah" sebagai tempat (kedudukan) secara spiritual. Di satu sisi, ia mengartikan tempat secara fisik, tapi di sisi lain, ia mengartikan tempat itu sebagai pusat beredarnya ruhani Nabi Idris As. 
            Komentar Mannā al-Qatthān, pola penafsiran seperti ini, sebenarnya membawa nash kepada makna yang tidak tampak dan cenderung memperdalam ta’wil batin yang jauh dan bahkan bisa mengarah kepada kekeliruan dan kesalahan. Hanya menurut Ibnu ‘Arabi, kekeliruan bisa terjadi manakala mufassir melepaskan diri dari makna harfiyah dan tafsir lahir, juga meninggalkan syari’ah sebagai mizan. Jika tidak demikian maka ta’wil para sufi adalah benar baik secara ilmu apalagi  secara kasyfi. Yang perlu dicatat, ternyata tidak semua penafsiran Ibnu ‘Arabi berkarakter falasfi, malah kecenderungan terhadap isyarinya   lebih kental, hanya harus diakui dalam waktu yang sama ia pun mengungkapkan ajarannya dengan sangat rasional, sehingga karena itulah para pakar menganganggap ajaran Ibnu ‘Arabi sebagai falsafat hasil dari refleksi. Karena itu pula,  di satu sisi tafsir Ibnu ‘Arabi ini dipandang sebagai tafsir isyari yang dasarnya kasyf  dan di sisi lain dipandang  sebagai tafsir falsafi nazari, karena ajaran Ibnu ‘Arabi sesuai dengan nalar yang lurus (rasional). Kenyataanya kedua kecenderungan  tafsir ini ada pada karya tafsir Ibnu ‘Arabi ini. Barangkali karena itu pula, para pakar tafsir ketika mengangkat contoh tafsit isyari,  mereka mengangkat tafsir Ibnu ‘Arabi  sebagai sampelnya, tetapi dalam waktu yang sama, ketika mereka harus memberi uraian tentang tafsir falsafi nazari, mereka memunculkan tafsir Ibnu ‘Arabi juga sebagai sampelnya. Tafsir Ibnu ‘Arabi memang pantas menjadi sampel karena mufassir sufi yang datang kemudian  menempatkan tafsir Ibnu ‘Arabi ini sebagai induk dan referensi bagi pengembangan tafsir corak tasawuf yang mereka kembangkan.

      







[1]     Ahmad As-Syirbashi, Sejarah Tafsir Al-Qur’an, (Jakarta: Fustaka Firdaus, 1991), hal. 138.
[2]    Al-Gazali, Jawāhir Al-Qur’an,  (Beirut: Dār al-Āfāq al-Jadilah, th.),. 8-9.
[3]     Ahmad As-Syirbashi, Sejarah Tafsir al-Qur’an, hal. 138. 
[4]     Khalid Abdurahman, Usūl at-Tafsīr wa Qawā’iduhu, (Beirut: Dār an-Nafais, 1986), hal. 220.
[5]     Khalid Abdurahman, Usūl at-Tafsīr,  hal 220.
[6]     Lihat As-Suyuti,al-Itqān, juz II, (Beirut: Dār al-Fikr, tth), hal. 184. Az-Zarqani, Manāhil al-‘Irfān, Ii, hal. 78.

[7]    As-Sābuni, at-Tibyān fi Ulūm al-Qur’an, (Damaskus: Muassasah al-‘Irfān, 1390). hal. 172.
[8]     As-Suyuti,  al-Itqān, juz II,   185.
[9]    As-Suyuti, al-Itqān, juz II, hal. 184. Lihat  As-sabuni, at-Tibyān fi Ulūm al-Qur’an hal. 175
[10]   Az-Zarqani, Manāhil al-‘Irfān, juz II, (Beirut: Dār al-Fikr, tth), hal. 87.
[11]  Az-Zarqani, Manahil al-‘Irfan,  juz II, hal. 87. 
[12]   Az-Zarqani, Manahil al-‘Irfan, juz II, hal. 79. 
[13]   Az-Zarqani, Manahil al-‘Irfan, juz II, hal. 79.
[14] As-Syatibi, al-Muwāfaqāt, III, 367.
[15]   As-Syatibi, al-Muwāfaqāt, juz III, hal 354-355.
[16]   As-Suyuti, al-Itqān, juz II, tt. Hal. 184.
[17]   Al-Itqān, hal. 184.  Pernyataan An-Nasafi tertulis di atas dimuat dalam kitab al-‘Aqa’id tulisan An-Nasafi sendiri, sebagai yang penulis kutip dari kitab al-Itqān.
[18] As-Syatibi, al-Muwāfaqāt, juz III, hal. 357.
[19] Yang dimaksud  Batiniyyah adalah pengikut Syi’ah, Qaramitah, dan mufassir yang menolak makna lahir.  
[20] As-Syatibi, al-Muwāfaqāt, juz III, hal. 358.
[21] As-Suyuti,  al-Itqān, juz I,  hal. 178.
[22]   Lihat! Khalid Abdurahman, Usūl at-Tafsîr, (Beirut:  Dār an-Nafāis, tth). hal. 215.
[23] Khalid Abdurahman, Usūl at-Tafsir, hal.  hal. 215.
[24] Lihat Az-Zarkasyi,  al-Burhān, juz II, hal. 170, Usūl at-Tafsīr, hal. 216. 
[25] Az-Zarkasi, al-Burhān fi Ulūm al-Qur’an, juz II,  hal. 167-168.
[26]   Az-Zarkasyi,  al-Burhān,  juz II, hal. 169.
[27]   Az-Zarkasyi, al-Burhān, juz  II,  hal. 170.
[28]   Az-Zarqani, Manāhil al-‘Irfān, juz. II, hal. 89.
[29]   Az-Zarqani, Manāhil al-‘Irfān,  juz II,  hal. 90.
[30]   Lihat Jalaluddin Rakhmat, Tafsir Sufi al-Fātihah, Mukaddimah, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999), hal. 19.  Al-Gazali, Ihya Ulūm ad-Dîn, juz I,  Beirut, Dār al-Fikr, tt, hal 29.
[31]   Jalaluddin Rakhmat, Tafsir Sufi, hal 19. .  Selengkapnya, lihat Ihya Ulūm ad-Din, juz I, hal. 49.
[32]   Jalaluddin Rakhmat,  Tafsir Sufi,  hal. 22-23.
[33]  Contoh tafsir Batiniyah, misalnya  apa yang dilakukan  kelompok Rafidoh terhadap firman Allah “Dia membiarkan dua lautan  mengalir kemudian keduanya bertemu”. Keduanya adalah Ali dan Fatimah. Keluar dari keduanya  mutiara dan marjan. Maksudnya, Hasan dan Husain ra. Demikian pula tafsiran  mereka terhadap firman  Allah “Dan apabila ia berpaling  maka ia berjalan di muka bumi untuk membuat kerusakan dan merusak tanaman dan ternak, maksudnya adalah Muawiyah.  Komentar Abu Zaid:  Dalam takwil semacam ini, teks berubah  menjadi alat ideologis  bagi si muawwil karena ia mengabaikan aspek zahir (aspek kebahasaan). Selain itu, takwil semacam ini  menjadikan teks sekedar “pesan” khusus yang untuk mengurainya hanya dapat dilakukan  oleh  seorang imam yang ma’sum. Meskipun para sufi “dalam takwilnya”  dekat dengan takwil  seperti ini, namun yang membedakan antara mereka dengan Batiniyyah   adalah bahwa para sufi memasukan takwil  mereka sebagai  bagian  dari isyarat-isyarat yang dimungkinkan oleh lafaz (teks) dari aspek signifikansinya, bukan dari segi maknanya. Jadi kaum sufi memahami ayat secara batin dengan tidak mengabaikan makna lahir. Lihat   az-Zarkasi, al-Burhān, juz II, hal. 152. Nasr Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an, judul asli “Mafhūm an-Nās Dirāsah fi Ulūm al-Quran” , hal. 296.
[34] Al-Gazali, Ihyā Ulūm ad-Dīn, juz I, hal. 17-18.
[35] Al-Gazali, Ihyā  Ulūm ad-Dīn, juz III, hal. 7.
[36] Al-Gazali, Ihyā, juz I, hal 256-257.
[37] Khalid Abdurahman, Usūl at-Tafsīr, hal.  207.
[38] As-Syatibi, al-Muwāfaqāt, juz III, hal. 348.
[39]   As-Suyuti, al-Itqān,   juz II, hal. 36. Lihat Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, hal. 98.
[40]   Syarat-syarat untuk dapat menafsirkan secara sufistik dijelaskan secara lengkap oleh Khalid Abdurahman, dalam bukunya Usūl at-Tafsir,  hal. 208.
[41]   Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, 79.
[42]   Jalaluddin, Tafsir Sufi,  hal. 31.
[43]   Jalaluddin, Tafsir Sufi,  hal. 36. -
[44] Lihat ! Ibnu ‘Arabi, al-Futūhāt al-Makkiyyah, juz I, hal 43. Az-Zahabi, at-Tafsīr wa al-Mufassirūn, juz II, hal. 391.
[45] Ibnu ‘Arabi, al-Futūhat, juz I, hal. 43.
[46] Ibnu ‘Arabi, Risalah Wujudiyyah,  hal. 11.
    Lihat! Fudoli Zaini, Sepintas Sastra Sufi Tokoh dan Pemikirannya, ( Surabaya: Risalah Gusti,    2000), hal. 112.
[47]   Az-Zahabi, at-Tafsīr wa al-Mufasirūn,  hal. 411.
[48]   Lihat At-Tabari, juz I, hal 87.
[49]   Ibnu Taimiyyah, Muqaddimah fi  Uusūl at-Tafsīr,  hal. 91.   
[50]  Syaikh Sahibul Wafa Tajul  Arifin, Miftāh al-Sudūr, juz II, (Tasikmalaya: Serba Bakti Press, tth), hal. 21.
[51]   Ibnu Taimiyyah, Muqaddimah fi Usūl at-Tafsīr, tth, hal. 91.
[52]  Ibnu Taimiyyah, Muqaddimah fi Usūl at-Tafsīr,  hal. 93.
[53]  Mahmud Basuni, at-Tafsir wa Manāhijuhu, hal. 253.
[54]  Ibnu ‘Arabi, al-Futūhāt, juz I, hal. 280. at-Tafsir,  juz, II, hal. 387. M. Basuni, hal 254. 
[55]   Ibnu ‘Arabi, al-Futūhāt al-Makkiyyah, juz I, hal. 42. Lihat! Ibrahim Abdurahman,  Usūl at-Tafsīr wa Qawā’iduhu,  hal. 91.
[56]   Ibnu Arabi, al-Futūhāt, juz IV, hal. 72.
[57]  Az-Zarkasyi, al-Burhān, II, hal. 180. Tekstualitas  al-Qur’an, hal. 302.
[58]   Hamid Mahmud az-Zaqri, Muhyiddin Ibnu ‘Arabi  Mufassiran, Mesir, tp. Tt, hal. 262.
[59]   Ia adalah mufassir yang sezaman dengan Ibnu ‘Arabi, nama lengkapnya adalah Muhammad bin Amr bin al-Hasan bin ‘Ali At-Tabrastani ar-Razi, as-Syafi’i, al-Bakry, at-Taimi keturunan Abu Bakar Siddiq. Nama laqabnya antara lain Syaikh al-Islam, Ar-Razi atau Fakhruddin. Nama populernya adalah Fakhruddin ar-Razi, atau Ar-Razi saja. Ia lahir di kota Ray  pada tahun 544 H. Disamping sebagai mufassir besar yang menulis  Kitab Tafsir al-Kabir (Mafātih al-Gaib), ia juga banyak menulis disiplin ilmu lainnya, misalnya tentang ushul Fikih ia menulis kitab “al-Mahsūl fi ‘Ilmi usūl al-Fiqh”.  Menyangkut teologi, ia menulis “al-Mahsal fi Afkār al-Mutaqaddimīn” “al-Masāil al-Khamsun fi usūl al-Kalām”.  Berkaitan dengan mantiq ia menulis “at-Tāriqht fi al-Jadal”  dan “Kitab al-Arba’in fi Usūl al-Din”. Berkaitan dengan Ulum al-Qur’an ia menulis “Nihāyat al-Îjaz fi Dirayāt al-I’jaz”.  Menyangkut tasawuf misalnya ia menulis “Syarh Asmā al-Husnā” “’Ashamāt al-Anbiyā”  “Lubāb al-Isyārat” dan lain-lain. Komentar As-Subki tentang tafsir karya Ar-Razi : Di dalamnya kecuali penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur’an (tafsir), juga kaya dengan berbagai informasi ilmiah lainnya.
[60]   Zahabi, at-Tafsīr,  juz II, hal. 408.
[61]   ‘Abdul Hay bin al-‘Amad, Syazarāt az-Zahab, (Maţba’ah al-Kuds, 1350 H), hal. 191.
[62]   Ismail Haqqi al-Burusawi, Tafsir Rūh al-Bayān, Beirut: Dār al-Fikr, tt. Juz I, hal. 16.
[63]   Ibnu ‘Arabi, Khatimah  al-Futūhāt, juz IV. Hal 555.
[64] Ibnu Arabi, Tafsīr al-Qur’an al-Karīm, juz I, hal. 747.
[65]   Ibnu ‘Arabi, Al-Futūhāt al-Makkiyyah, juz IV, hal. 557.
[66]   M. Fudoli Zaini, Sepintas Sastra Sufi, Tokoh dan Pemikirannya, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), hal. 106.
[67]   Muhammad Ibrahim Abdurahman, Manhaj al-Fakhr ar-Razī,  hal. 228.
[68]   al-Futūhāt, juz II, hal 338-339.   Ibrahim Abdurahman, Manhaj,  hal. 228.
[69]   Muhyiddin Ibni ‘Arabi Mufassiran, juz I, hal. 142.
[70]   Ibnu Taimiyyah, Muqaddimah fi at_tafsīr,  hal. 93-103.
[71]   Ibnu ‘Arabi, al-Futūhāt, juz I, hal. 279-280. Az-Zahabi, at-Tafsīr, juz II, hal. 371.
[72]   Ibnu ‘Arabi, al-Futūhāt, juz IV, hal. 172. Lihat az-Zahabi, at-Tafsīr,  hal. 414. Muhammad Ibrahim Abdurahman, Manhaj al-Fakhr ar-Rāzī,  hal. 138.
[73] Al-Gazali sebagai dikutip oleh Syaikh Sahibul Wafa, ia  menulis bahwa  hati yang dalam konsep Al-Gazali disebut al-Latifah  ar-rabbaaniyyah ar-ruhaniyyah yang berkaitan dengan jasad manusia adalah hakikat zat manusia sendiri. Hatilah yang dapat menjangkau  ma’rifah. Hati adalah tempat cahaya yang Allah limpahkan ke dalamnya sehingga ia memperoleh daya dan kekuatan kasyaf atas berbagai substansi persoalan. (Lihat Miftāh as-Sudūr, juz II, hal. 22).
[74] Proposisi di atas sesuai dengan hadis Nabi: Ingatlah bahwa dalam diri manusia terdapat segumpal darah, jika ia baik maka baiklah manusia dan jika ia jelek maka jeleklah manusia, ingtlah dialah hati (al-hadis riwayat  Tirmizi, Daruqutni, Ibnu Hibban dan lain-lain).
[75]  Az-Zahabi, at-Tafsir, juz I,  hal. 414.
[76] Manna al-Qatthan, Mabāhis fi Ulūm al-Qur’an,(Qairo: Mansurāt al-‘Asr al-Hadīs, tth) hal. 356.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar