Senin, 01 Oktober 2012

Tasawuf Dramaturgi Religiositas Manakib Suryalaya



Oleh  DR. ASEP SALAHUDIN, MA

Kita acapkali mendengar bahwa dunia adalah panggung sandiwara. Tempat di mana setiap kita adalah aktor otonom  yang memerankan fungsi dan peran masing-masing. Baik peran sosial, politik, budaya atau juga agama. Adalah Erving Goffman   penggagas utama yang mendasarkan pada pemikiran Kenneth Burke yang mengangkat metafora panggung sandiwara sebagai media untuk menilik perilaku dan tindakan seseorang. Inilah yang kita sebut dengan dramutrgi.


Sebuah perspektif yang mencoba melihat sebagaimana ditulis Duncan, “Manusia bertindak bagaikan aktor yang memainkan peran tertentu untuk menciptakan kepuasan yang akan diberikan oleh aktor lain kepadanya” (2007).

Melihat manakib tarkeat Qadiriyah Naqsyabandiyah yang berpusat di Suryalaya yang notabene merupakan tarekat terbesar di Jawa Barat dengan simpul utamanya Abah Anom (KH Shohibul Wafa Tajul Arifin) dengan tilikan dramaturgi adalah sesuatu yang sangat menarik. Metafora dramaturgis menawarkan sebuah alternatif untuk melihat interaksi  simbolik dan hubungan sosial yang terjadi pada upacara sakral manakib.

Dalam sebuah manakib misalnya, bagaimana terjadi pertautan relasi yang rumit, keragaman  manusia yang datang dengan beragam motif: mulai dari motif politis, ekonomi, budaya, agama yang kemudian berporos pada upaya  tabarruk (ngalap berkah) kepada Pengatur (Direktur) utama dalam dramaturgi itu yang dalam tradisi tarekat disebut dengan mursyid.

Teks yang malampui nalar

Para jamaah (ikhwan) dalam prosesi dramaturgi tidak lain adalah para aktor yang dengan penuh ikhlasan, tulus, khusu’  mengikuti upacara drama dari awal sampai akhir. Setiap kata sutradara yang boleh jadi dalam prakteknya diwakilkan kepada wakil talqin dan muballigh disimak dengan penuh rasa hidmat. Setiap untaian kata seakan tidak boleh terlewat. Tentu pemaknaan kata itu akan sangat heterogen tergantung kepada latar sosio historis kerumunan  aktor itu, dan sejauh mana kecakapan untuk menarik kata-kata penuh arti dengan semiotika juga tergantung kepada nalar masing-masing.

Tentu dalam tradisi manakiban Pesantren Suryalaya, format acara telah dibakukan, urutannya sudah menjadi pakem yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sesuai dengan skrip skenario yang sudah diformalkan. Yang paling menarik, khususnya bagi saya adalah justru ketika teks-teks mankobah (bentuk tunggal dari manakib) adalah saat petugas acara membacakan bocoran biografis Para Penghulu di dunia tarekat: Syekah Abdul Qadir al-Jilani. Dan kita faham mankobah itu sendiri artinya adalah dokumen penting tentang pragmen-pragmen kehidupan sang tokoh itu sendiri. Mulai pragmen realis sampai yang surealis. Mulai dari penggalan hidupnya yang historis sampai yang mistis.

Para aktor diberi kebebasan untuk memahami setiap teks mankobah menurut sudut pandang maisng-masing. Kebebasan pemaknaan ini tidak harus didisukusikan tapi sudah lebih dari cukup untuk dihayati. Justru dengan penghayatan seperti ini akan memunculkan bukan hanya pengkayaan pengalaman religiositas namun juga pengkayaan horizon makna termasuk makna yang tak terduga. Dalam konteks ini tidak ada jaminan bahwa aktor yang secara intelektual lebih cakap lebih tepat memahaminya ketika pada saat yang sama tidak memiliki kecakapan spiritual tidak memiliki kecerdasan emosional.

Sebuah teks yang bukan hanya penuh metafora, sarat simbol, namun juga tidak sedikit yang telah memposisikannya dalam makom teks yang agung. Telah mengalami sakraliasi. Bahkan penulis pernah mendengar dari seorang wakil talkin bahwa ketika teks manakin itu dibacakan kerumuan  aktor disyaratkan untuk menyimak setiap kata-katanya sebab pada momen-momen seperti itu Tuan Sekh datang menyebar barkahnya, menebarkan karomahnya. Pembacaan mankobah mengingatkan kita pada tradisi rajah pembacaan pantun dalam tradisi Sunda sebagaimana telah diteliti Ajip Rosidi.

Yang lebih menarik lagi bagi saya justru ketika teks mankobah itu dibaca dalam bahas Sunda. Di sini menjadi tergambrakan bagaimana Syekh Abdul Qadir al-Jilani menjadi sangat berwajah Sunda. Para aktor yang jumlahnya ribuan yang datang dari berbagai daerah hatta dari luar negeri imajinasi dipaksa untuk mengimajinasikan Tuan Syekh yang secara geografis tidak sedang berada di Mesir tanah kelahirannya tapi justru di tanah pasundan. Inilah barangkali pesan tersembunyi bagaimana Abah Anom melakukan tarekah untuk mengakulturasikan tarekat Arab menjadi tirakat kesundaan  untuk juga pada titi tertentu tarekat keindonesiaan. Inilah yang dahulu disebut oleh kawan lama Abah Sepuh, Haji Hasan Mustapa, sebagai strategi paradigma tarkeat “nguyang” seperti terbaca dalam tulisanny

 “Baheula ku basa Sunda ahirna ku basa Arab. Jadi kaula nyundakeun Arab nguyang ka Arab, ngarabkeun Sunda tina Basa Arab.. Nya basa wayangkalangkang Tapi dalangna pribadi… Kumaha alam pribadi Nyusul-nyusul alam batur Tangtu beda babasan Perbawa ati birahi Beda alam moal sarua rasana”

Dengan ungkapan yang lebih mudah, tarekat tidak musti membid’ahkan tradisi lokal, tapi harus mengakomodir tradisi itu menjadi bagian integral dari tarekat itu sendiri agar seorang yang beragama tidak kehilangan akar kulturalnya. Sebagaimana dahulu Tuhan ‘meminjam’ bahasa Arab dengan segala kekayaan kulturalnya untuk mewadahi gagasannya (al-Quran). Dan apalagi sejarah telah memberikan kabar, bahwa Islam yang datang ke Nusntara termasuk ke kawasan Parahiyangan adalah Islam berwajah tarekat: Islam yang mampu beradaptasi dengan kearifan lokal. 

Konser amaliah

Inilah yang menjadi alasan utama mengapa proses manakiban disebut dalam tarekat di Suryalaya sebagai drama amaliyah, bukan pentas ilmiah. Sebuah drama yang lagi-lagi sekali lagi menghajatkan kekhusuan, keikhlasan, keheningan bukan karena untuk mempertontonkan kecerdasan nalar. Yang terakhir ini bukan berarti tidak diberi ruang, justru diposisikan sebagai akhir dari rangakaian dramaturgi religius manakiban yang disebutnya sebagai hikmah ilmiah.

Dalam episode hikmah ilmiah biasanya kasakralan manakiban  sudah mulai mencair. Halayak aktor menjadi bebas untuk tertawa ketika petugas menyampaikan pesan-pean ilmiahnya secara jenaka, saat-saat seoarng narasumber di forum ini menawarkan makna dari pembacaannya atas untaian teks tertutup mankobah. Dan makna-makan yang disampaikan biasanya dihubungkan dengan persoalan politik, budaya, dan konteks sosial mutakhir. Selepas daramuturgi itu adalah makan bersama yang langsung dijamu sang sutradara spirtual. Antri memenuhi hajat tubuh. Tidak saling berebutan, karena semua kabagian. Walaupun jumlahnya ribuan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar