Oleh DR. ASEP
SALAHUDIN, MA
Kita acapkali mendengar bahwa dunia
adalah panggung sandiwara. Tempat di mana setiap kita adalah aktor otonom yang memerankan fungsi dan peran
masing-masing. Baik peran sosial, politik, budaya atau juga agama. Adalah
Erving Goffman penggagas utama yang
mendasarkan pada pemikiran Kenneth Burke yang mengangkat metafora panggung
sandiwara sebagai media untuk menilik perilaku dan tindakan seseorang. Inilah
yang kita sebut dengan dramutrgi.
Sebuah perspektif yang mencoba
melihat sebagaimana ditulis Duncan, “Manusia bertindak bagaikan aktor yang
memainkan peran tertentu untuk menciptakan kepuasan yang akan diberikan oleh
aktor lain kepadanya” (2007).
Melihat manakib tarkeat Qadiriyah
Naqsyabandiyah yang berpusat di Suryalaya yang notabene merupakan tarekat
terbesar di Jawa Barat dengan simpul utamanya Abah Anom (KH Shohibul Wafa Tajul
Arifin) dengan tilikan dramaturgi adalah sesuatu yang sangat menarik. Metafora
dramaturgis menawarkan sebuah alternatif untuk melihat interaksi simbolik dan hubungan sosial yang terjadi
pada upacara sakral manakib.
Dalam sebuah manakib misalnya,
bagaimana terjadi pertautan relasi yang rumit, keragaman manusia yang datang dengan beragam motif:
mulai dari motif politis, ekonomi, budaya, agama yang kemudian berporos pada
upaya tabarruk (ngalap berkah) kepada
Pengatur (Direktur) utama dalam dramaturgi itu yang dalam tradisi tarekat
disebut dengan mursyid.
Teks yang malampui nalar
Para jamaah (ikhwan) dalam prosesi
dramaturgi tidak lain adalah para aktor yang dengan penuh ikhlasan, tulus,
khusu’ mengikuti upacara drama dari awal
sampai akhir. Setiap kata sutradara yang boleh jadi dalam prakteknya diwakilkan
kepada wakil talqin dan muballigh disimak dengan penuh rasa hidmat. Setiap
untaian kata seakan tidak boleh terlewat. Tentu pemaknaan kata itu akan sangat heterogen
tergantung kepada latar sosio historis kerumunan aktor itu, dan sejauh mana kecakapan untuk
menarik kata-kata penuh arti dengan semiotika juga tergantung kepada nalar
masing-masing.
Tentu dalam tradisi manakiban Pesantren
Suryalaya, format acara telah dibakukan, urutannya sudah menjadi pakem yang
tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sesuai dengan skrip skenario yang sudah diformalkan. Yang paling
menarik, khususnya bagi saya adalah justru ketika teks-teks mankobah (bentuk tunggal
dari manakib) adalah saat petugas acara membacakan bocoran biografis Para
Penghulu di dunia tarekat: Syekah Abdul Qadir al-Jilani. Dan kita faham
mankobah itu sendiri artinya adalah dokumen penting tentang pragmen-pragmen
kehidupan sang tokoh itu sendiri. Mulai pragmen realis sampai yang surealis.
Mulai dari penggalan hidupnya yang historis sampai yang mistis.
Para aktor diberi kebebasan untuk
memahami setiap teks mankobah menurut sudut pandang maisng-masing. Kebebasan
pemaknaan ini tidak harus didisukusikan tapi sudah lebih dari cukup untuk
dihayati. Justru dengan penghayatan seperti ini akan memunculkan bukan hanya
pengkayaan pengalaman religiositas namun juga pengkayaan horizon makna termasuk
makna yang tak terduga. Dalam konteks ini tidak ada jaminan bahwa aktor yang
secara intelektual lebih cakap lebih tepat memahaminya ketika pada saat yang
sama tidak memiliki kecakapan spiritual tidak memiliki kecerdasan emosional.
Sebuah teks yang bukan hanya penuh
metafora, sarat simbol, namun juga tidak sedikit yang telah memposisikannya
dalam makom teks yang agung. Telah mengalami sakraliasi. Bahkan penulis pernah
mendengar dari seorang wakil talkin bahwa ketika teks manakin itu dibacakan
kerumuan aktor disyaratkan untuk
menyimak setiap kata-katanya sebab pada momen-momen seperti itu Tuan Sekh
datang menyebar barkahnya, menebarkan karomahnya. Pembacaan mankobah
mengingatkan kita pada tradisi rajah pembacaan pantun dalam tradisi Sunda
sebagaimana telah diteliti Ajip Rosidi.
Yang lebih menarik lagi bagi saya
justru ketika teks mankobah itu dibaca dalam bahas Sunda. Di sini menjadi
tergambrakan bagaimana Syekh Abdul Qadir al-Jilani menjadi sangat berwajah
Sunda. Para aktor yang jumlahnya ribuan yang datang dari berbagai daerah hatta
dari luar negeri imajinasi dipaksa untuk mengimajinasikan Tuan Syekh yang
secara geografis tidak sedang berada di Mesir tanah kelahirannya tapi justru di
tanah pasundan. Inilah barangkali pesan tersembunyi bagaimana Abah Anom
melakukan tarekah untuk mengakulturasikan tarekat Arab menjadi tirakat
kesundaan untuk juga pada titi tertentu
tarekat keindonesiaan. Inilah yang dahulu disebut oleh kawan lama Abah Sepuh,
Haji Hasan Mustapa, sebagai strategi paradigma tarkeat “nguyang” seperti
terbaca dalam tulisanny
“Baheula ku basa Sunda ahirna ku basa Arab. Jadi kaula
nyundakeun Arab nguyang ka Arab, ngarabkeun Sunda tina Basa Arab.. Nya basa
wayangkalangkang Tapi dalangna pribadi… Kumaha alam pribadi Nyusul-nyusul alam
batur Tangtu beda babasan Perbawa ati birahi Beda alam moal sarua rasana”
Dengan ungkapan yang
lebih mudah, tarekat tidak musti membid’ahkan tradisi lokal, tapi harus
mengakomodir tradisi itu menjadi bagian integral dari tarekat itu sendiri agar
seorang yang beragama tidak kehilangan akar kulturalnya. Sebagaimana dahulu
Tuhan ‘meminjam’ bahasa Arab dengan segala kekayaan kulturalnya untuk mewadahi
gagasannya (al-Quran). Dan apalagi sejarah telah memberikan kabar, bahwa Islam
yang datang ke Nusntara termasuk ke kawasan Parahiyangan adalah Islam berwajah
tarekat: Islam yang mampu beradaptasi dengan kearifan lokal.
Konser amaliah
Inilah yang menjadi alasan utama
mengapa proses manakiban disebut dalam tarekat di Suryalaya sebagai drama
amaliyah, bukan pentas ilmiah. Sebuah drama yang lagi-lagi sekali lagi
menghajatkan kekhusuan, keikhlasan, keheningan bukan karena untuk
mempertontonkan kecerdasan nalar. Yang terakhir ini bukan berarti tidak diberi
ruang, justru diposisikan sebagai akhir dari rangakaian dramaturgi religius
manakiban yang disebutnya sebagai hikmah ilmiah.
Dalam episode hikmah ilmiah biasanya
kasakralan manakiban sudah mulai
mencair. Halayak aktor menjadi bebas untuk tertawa ketika petugas menyampaikan pesan-pean
ilmiahnya secara jenaka, saat-saat seoarng narasumber di forum ini menawarkan
makna dari pembacaannya atas untaian teks tertutup mankobah. Dan makna-makan
yang disampaikan biasanya dihubungkan dengan persoalan politik, budaya, dan
konteks sosial mutakhir. Selepas daramuturgi itu adalah makan bersama yang
langsung dijamu sang sutradara spirtual. Antri memenuhi hajat tubuh. Tidak
saling berebutan, karena semua kabagian. Walaupun jumlahnya ribuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar