Senin, 01 Oktober 2012

PERKEMBANGAN SPIRITUAL DAN INTELEKTUAL IBNU ‘ARABI


Oleh DR. H. CECEP ALBA, MA
(Rektor IAILM Tasikmalaya)

A.    Biografi Ibnu ‘Arabi

Nama lengkap Ibnu ‘Arabi adalah Abu Bakar  Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Abdillah  at-Ţāi al-Hātimi yang terkenal dengan sebutan Ibnu ‘Arabi, nama lakobnya Muhyiddin Ibnu ‘Arabi, al-Qutub, as-Syaikh al-Akbar. Nama kunyahnya Abu ‘Abdillah. Ia   dilahirkan di kota Murcia pada tanggal 27 Ramdan tahun 560 H  (7 Agustus  1165 M).[1] Di Prancis  pada saat itu  Louis VII sedang bertahta,  pembangunan Notre Dame  de Paris  sudah berjalan dua tahun. Di Spanyol Muslim, kekuasaan  Dinasi 
al-Moravid  sedang menurun, tak lama kemudian digantikan oleh Dinasti al-Muwahhidun.  Di Mesir, dinasti lain  sedang berakhir, dinasti Ayyubiyyah  sedang disiapkan  oleh Salahuddin. Di pinggir sungai Onon di timur Siberia, Jengis Khan dilahirkan. Kurang dari satu abad,  kemudian cucunya, Hulagu Khan, akan menghancurkan  kota Bagdad dan akan membunuh khalifah terakhir dari Dinasti Abbasiah.[2]
Ketika Dinasti al-Muwahhidūn menaklukan Mursia pada tahun 567 H./1172 M.  Ibnu ‘Arabi dan keluarganya pindah ke Seville, tempat ayahnya diberi pekerjaan pada dinas pemerintahan  atas kebaikan Abu Ya’kub  Yusuf, penguasa Daulah Muwahhidūn pada saat itu.[3] Ibnu ‘Arabi menghabiskan masa kecilnya di Seville, tempat keluarganya tinggal. Di kota pusat ilmu pengetahuan itu, dibawah bimbingan sarjana-sarjana terkenal ia mempelajari al-Qur’an dengan tafsirnya, hadis, fikih, teologi dan filsafat scolastik. Seville adalah suatu pusat sufisme yang penting dengan sejumlah guru sufi terkemuka yang tinggal di sana.[4] Keberhasilan Ibnu ‘Arabi dalam pendidikannya mengantarkannya kepada kedudukan sebagai sekretaris Gubernur Seville. Pada periode itu pula ia menikah dengan  seorang wanita salihat,  Maryam. Suasana kehidupan guru-guru sufi  dan kesertaan istrinya  dalam keinginannya  mengikuti jalan tasawuf  adalah paktor penyebab yang mempercepat pembentukan kepribadian Ibnu ‘Arabi  menjadi seorang sufi. Ia memasuki jalan sufi  (tarekat) secara formal pada tahun 580 H/1184 M, saat berusia dua puluh tahun.[5]  Sementara  Michel Chodkiewicz, menyebutkan  bahwa pada saat usia Ibnu ‘Arabi berumur sekitar enam belas tahun ia masuk tarekat. Mendekati usianya yang ke dua puluh, ia sudah berhasil  melewati  seluruh tingkatan  (maqāmāt)  yang harus dilalui  oleh para salik   dalam perjalanannya menuju Tuhan. Selain itu, ia juga sudah menerima berkah yang istimewa.[6]
Ibnu ‘Arabi[7] mempunyai dua saudara yang keduanya pengamal tarekat. Saudara  pertama bernama Yahya bin Yagon yang meningglkan kedudukannya sebagai pejabat di wilayah  Tilmasan dan ia mewakafkan diri untuk berhidmah kepada seorang wali. Adapun saudaranya yang kedua adalah Abu Muslim al-Khaulani yang biasa menghabiskan waktu malamnya dengan zikir dan tasbih. Melihat latar belakang kehidupan Syaikh, begitu juga lingkungan keluarganya,  kita dapat membuat suatu asumsi yang cukup signifikan bahwa ternyata Ibnu ‘Arabi dan keluarga besarnya merupakan para pengamal tarekat. Mereka hidup zuhud, istiqamah dalam beribadah serta selalu melakukan riyādah. Banyak kejadian dari kehidupan sehari-hari menjadi wasilah kedua adik Ibnu ‘Arabi semakin sadar akan arti pentingnya bertasawuf. Pertemuan dengan ulama-ulama  yang ‘arif seringkali menyadarkan mereka sehingga mereka menempuh jalan tasawuf secara penuh. Ibnu ‘Arabi menceritakan saudaranya yang satu, yaitu Abu Muslim al-Khaulani: Saudaraku termasuk  salah seorang tokoh di daerah itu. Ia bangun  sepanjang malam, tatkala ia diserang rasa ngantuk segera ia memukul-mukul  kedua kakinya dengan satu cemeti yang ada  padanya sambil berkata: Engkau berdua lebih berhak dipukul daripada kendaraanku (kuda).[8]
Pada masa usia belajar, Ibnu ‘Arabi belum menampakkan tanda-tanda kecenderungan terhadap tasawuf bahkan yang paling ia dalami adalah belajar sastra Arab dan kesenangannya untuk berburu. Tentang kesenangan dalam berburu ia mengisahkan: Pada saat aku masih dalam kebodohan, dalam perjalalananku dan aku bersama ayahku, aku sedang berada di antara daerah Qurmunah dan Balmah (wilayah Andalusia), aku terkejut melihat seekor binatang liar sedang merumput, dan aku pun membidik untuk menangkapnya.  Aku berfikir dalam hati bahwa aku tidak akan menyakiti salah satu di antara binatang buruan  dengan panah. Tatkala  buruan tadi melihat kuda yang aku kendarai maka larilah ia ketakutan.  Akhirnya aku terpaksa melepaskan anak panah dan mengena ke salah satu di antara binatang buruan tadi  dan dalam waktu yang sama larilah himar-himar yang ada di sekitar kami.  Aku tidak tahu  faktor penyebab hal itu. Setelah aku kembali ke tarekat baru aku tahu apa yang menjadi penyebab terjadinya peristiwa itu (berlarian himar di sekelilingku), yaitu  hilangnya rasa aman dalam jiwa mereka yang rasa aman itu ada dalam jiwaku buat mereka. Sebagai telah disinggung bahwa Ibnu Arabi menikah, setelah ia diangkat menjadi sekretaris Gubernur di Pemerintahan Seville, dengan seorang wanita salihah bernama Maryam binti Muhammad bin Abdun bin Abdurrahman al-Bijai. Ia mencintai Ibnu ‘Arabi sepenuh hatinya demikian juga sebaliknya, sehingga tidak dapat disembunyikan, dalam sebagian karangan sastranya  terlukis kecintaan Ibnu ‘Arabi kepada istrinya.[9] Ibnu ‘Arabi menyatakan,  aku tidak melihat perasaan seorang pun dari ahli maqam ini kecuali keluarga Maryam binti Muhammad bin Abdun melihat seseorang  dan ia menceritakan keadaanya kepadaku, akhirnya aku tahu kalau ia termasuk ahli syuhūd (orang yang dapat melihat hal-hal yang gaib), meskipun Maryam menceritakan  berbagai keadaan yang menunjukan bahwa ia tidak kuat dan lemah di dalamnya,  tetapi ia yakin  dengan keadaan ini. Selanjutnya  istriku yang salihah pernah menceritakan bahwa pada suatu waktu ia mimpi melihat seseorang yang berjanji akan menikahinya, ia  tidak pernah melihat sosok orang itu  di  alam nyata. Laki-laki tadi bertanya: “Apakah anda bermaksud menuju  suatu jalan (tarekat)”? Aku berkata kepadanya: “Demi Allah aku bermaksud menuju tarekat, tetapi aku tidak tahu  harus bagaimana?”. Berkata Maryam bahwa laki-laki itu  mengkhabarkan kepadanya tentang  lima perkara yaitu  tawakkal, yakin, sabar, ‘azimah,  dan as-sidq (benar).  Ibnu ‘Arabi  berkata kepada Maryam; Inilah mazhab pegangan kaum.[10]
Ibnu ‘Arabi menuturkan: Suatu waktu aku sakit sehingga pingsan dan dalam kerasnya sakitku aku merasa bertemu  dengan orang-orang yang telah  meninggal, lalu aku melihat suatu kaum yang jelek dipandang mata bermaksud menyakitiku. Dalam  waktu yang sama aku pun melihat seorang laki-laki yang kuat dan harum dengan wewangian  mengusir mereka dan mempertahankanku. Aku bertanya kepadanya: Siapakah anda? Ia menjawab: Saya adalah surat Yāsīn, sedang menjagamu. Tak lama kemudian  aku pun siuman dan sadar dari pingsanku dan aku terkejut di depan kepalaku ada ayah menangis sambil membaca surat Yāsīn. Setelah ayah selesai membacanya aku menceritakan kepada ayahanda  apa yang aku saksikan.[11]
Beberapa karomah yang pernah terjadi diungkapkannya sendiri, misalnya peristiwa kematian ayahandanya: Lima belas hari sebelum meninggal, ayahku telah menginformasikan kepaku tentang kapan waktu kematiannya, bahwa ia akan meninggal hari Rabu dan memang hal itu terbukti. Setelah tiba hari kematiannya yaitu hari Rabu ia sakit keras, ia memaksakan duduk tanpa sandaran dan berkata kepadaku: Anaku!  hari ini perjalanan dan pertemuan akan dimulai. Aku berkata kepadanya: Mudah-mudahan  keselamatan menyertai perjalananmu dan Allah memberkahimu dalam pertemuanmu. Ayah merasa bahagia lalu ia berkata kepadaku: Semoga Allah membalasmu wahai anaku dengan kebaikan. Segala apa yang aku dengar darimu, engkau mengucapkannya tetapi aku tidak memahaminya, kadang-kadang aku mengingkari sebagiannya tetapi aku menyaksikannya. Kemudian nampaklah di keningnya setitik cahaya yang berbeda dengan warna kulitnya tanpa meninggalkan cacat. Cahaya tadi semakin menampakkan sinarnya  sehingga ayah pun merasakannya dan akhirnya sinar cahaya tadi meliputi seluruh wajahnya hingga seluruh tubuhnya. Aku pun mencium tangannya  lalu aku keluar dari sampingnya  dan aku berkata kepada ayah, aku hendak pergi ke Mesjid Jami. Ayah berkata: Pergilah  dan jangan kau tinggalkan seorang pun di sisiku. Tak lama kemudian berkumpulah keluarga dan anak-anak perempuanya. Setelah waktu zuhur tiba aku mendatanginya dan aku mendapatinya  dalam keadaan setiap orang yang melihatnya ragu apakah ia telah meninggal atau masih hidup. Dan setelah aku yakin tentang kepergiannya, dalam keadaan seperti ini aku mengebumikan ayah  dan baginya ada tanda-tanda kebesaran.[12]
Kepindahan Ibnu ‘Arabi ke dunia tasawuf dan tarekat, sebagai diungkapkannya sendiri, terjadi pada tahun 580 H   “Aku mendapatkan kedudukan  setelah aku masuk tarekat  pada tahun 580 H”.[13] Setelah umur Ibnu ‘Arabi  mencapai usia 30 tahun kemasyhurannya menyebar  ke seluruh wilayah Andalusia dan dunia Barat. Paktor penyebabnya antara lain, karena ia banyak bepergian dari satu kota ke kota lain baik untuk berziarah kepada para  ulama atau menemui para syaikh tarekat, untuk menghadiri diskusi atau tukar pendapat menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan masalah-masalah filsafat, teologi atau mistisisime. Di sebagian perjalanannya  tidak jarang ia sengaja mengunjungi para sufi, mursyid tarekat  dan berdiskusi dengan mereka sekitar ta’wil ayat-ayat yang berkaitan dengan teologi, hukum, panteisme dan lain-lain.  Sering pula ia menghabiskan waktunya dengan berhidmah kepada para syaikh (mursyid) untuk bertabarruk mengambil barokah (kebaikan)  dari mereka yang memiliki karômah dan kedudukan yang tinggi.[14]
Ibnu ‘Arabi pindah dari Mursia ke Asbilia pada tahun 568 H. selanjutnya beliau pindah  ke Magrib pada tahun 590 H. Di Maroko   beliau sibuk dengan tugas-tugas harian sebagai pegawai kerajaan; antara lain membuat konsep-konsep, baik untuk pidato raja atau  surat-surat biasa. Beliau tidak lama berada di tempat ini sehingga akhirnya beliau pulang kembali ke Seville untuk menetap bersama pengikutnya. Atas kehendak Allah, ia kembali lagi pergi ke Magrib untuk bekerja pada seorang raja dan beliau tinggal pada kali kedua ini selama sembilan bulan kurang beberapa hari. Selepas bekerja di kerajaan beliau mulai melakukan pengembaraannya yang panjang; pertama beliau pergi ke Maroko dan ia menjadikan Maroko sebagai tempat star (berangkat) untuk pengembaraannya di Timur Tengah. Beliau pergi ke Pes dan beliau masuk ke kota Jāyah, di kota ini beliau banyak mengunjungi para  tokoh, khususnya para sufi.
Ibn ‘Arabi  melanjutkan perjalananya ke Mesir pada tahun 597 H. Di Mesir ia bertemu dengan para penentang ajarannya. Ia menetap di Mesir untuk jangka waktu tertentu bersama murid dan pembantunya ‘Abdullah al-Habashī. Banyak percobaan  dilakukan  oleh orang Mesir yang tidak sehaluan untuk membunuhnya. Ia lolos dari maut dengan pertolongan dan perlindungan  seorang syaikh berpengaruh yang menjadi penduduk Mesir saat itu. Karenanya ia  mengakhiri perjalanan di Mesir, pulang meninggalkan Mesir dengan selamat. Penguasa Mesir  amat mencintainya dan  wali Mesir  amat senang atas kehadiran Ibnu Arabi. Di Mesir bahkan ia sempat diangkat menjadi   imam. 
Selanjutnya  Ibnu ‘Arabi  berteguh hati meneruskan perjalananya ke wilayah Hijaz  kemudian ke Makkah. Di Makkah beliau khusu’ beribadah dan sekaligus mengajar di Masjid al-Harām. Di Masjid yang dimulyakan ini beliau mencurahkan sepenuh kemampuan intelektual dan spiritualnya sehingga beliau berhasil menyusun kitab yang amat monumental yaitu kitab “al-Futūhāt al-Makkiyyah”. Dalam pada itu, ia juga menyelesaikan empat kitab yang lainnya  yaitu: Misykah al-Anwār, Hilyah al-Abdāl, Tāj ar-Rasāil dan Rūh al-Quds. Beliau meneruskan perjalanan ke Madinah, setibanya di Madinah beliau berziarah ke Raudah Nabawiyyah untuk menemui Rasulullah saw.  Ibnu ‘Arabi meneruskan perjalanan masuk ke Tāif selanjutnya ke Irak. Kota Mosul menjadi kota pertama yang ia kunjungi, ia  bertemu dan berkumpul dengan para tokoh di kota ini untuk selanjutnya beliau pergi meninggalkan Mosul menuju    Bagdad, ia sampai di kota Abu Nawas ini  pada tahun 601 H. dan beliau kembali lagi ke Bagdad, untuk yang kedua kalinya,  pada tahun 608 H.[15]
Makkah bagi Ibnu ‘Arabi bukan sekedar tempat melaksanakan ibadah haji, tawaf  mengelilingi Ka’bah dan ibadah-ibadah lain. Makkah baginya, adalah tempat meningkatkan kualitas kehidupan mistiknya. Ka’bah sebagai “pusat kosmik” merupakan tempat khusus untuk memperoleh pengalaman rohani yang tidak mungkin diperoleh di tempat lain. H. Corbin, melukiskan,  sebagaimana  dikutip oleh Kautsar Azhari Noor, peristiwa hakiki dan menentukan  hanya ditimbulkan dengan bermeditasi ”di sekitar Ka’bah” karena peristiwa-peristiwa seperti itu terjadi hanya “dalam pusat dunia”, yaitu pada kutub mikrokosmos batini, dan Ka’bah adalah pusat dunia.[16]

Kunjungannya ke Ka’bah secara teratur  untuk beribadah dan bermeditasi

membuahkan pengalaman-pengalaman rohani. Di antara pengalaman-pengalaman itu ada dua yang perlu disebutkan di sini. Pertama, ia mengalami suatu visi tentang “kemudaan abadi” yang boleh dikatakan mewakili perpaduan apa-apa yang berlawanan, concidentia oppositorum, yang dalam keseluruhannya semua ketegangan dapat  dipecahkan. Kedua, visi yang menegaskan bahwa ia adalah penutup Walāyah Muhammadiyyah.[17]
Ia kembali pergi ke Makkah  pada tahun 604 H. /1207 M. Hanya satu tahun ia tinggal di kota suci ini. Setelah itu ia pergi ke Asia Kecil melalui Aleppo. Ia sampai di  Konya, atau Quniyyah, pada tahun 607 H./1210 M. Di sana ia disambut hangat oleh Raja Kay Kaus dan penduduknya. Pengaruhnya di Konya menyebar dengan cepat di masyarakat dan khususnya di kalangan para sufi. Di kemudian hari pengaruhnya menjalar ke mana-mana dan menjadi dominan dalam sejarah perkembangan tasawuf di seluruh dunia Islam sampai hari ini. Tokoh yang paling berjasa dalam proses penyebaran ajaran Ibnu ‘Arabi   adalah Sadr ad-Din al-Qunawi (w. 673 H/1274 M), murid terdekat dan terpenting Ibnu ‘Arabi, dan menjadi komentator karya-karya gurunya itu. Beberapa ahli mengakui bahwa al-Qunawi adalah tokoh yang berhasil membantu pemaduan ajaran-ajaran Ibnu ‘Arabi dan sufisme timur.[18]
Pada tahun 608 H Ibnu ‘Arabi memasuki  Irak bermaksud menemui Syaikh Syihabuddin ‘Umar as-Suhrawardi, mursyid Madrasah Sufi di Bagdad. Diceritakan bagaimana Ibnu ‘Arabi bertemu dengan as-Suhrawardi; untuk yang pertama,  masing-masing saling memandang  dalam waktu yang agak lama tanpa sepatah kata pun keluar dari lisan keduanya, kemudian keduanya berpisah tanpa mengeluarkan ucapan sedikit pun. Setelah pertemuan ini berlalu berkatalah as-Suchrawardi kepada  para muridnya mengenai Ibnu ‘Arabi:  “Huwa bahrun ‘amīq fi  al-Haqīqah”  Dia adalah lautan yang dalam mengenai hakekat[19]
Di Bagdad banyak terjadi karomat, tajalliyat, dan isyrāqāt spiritual Ibnu ‘Arabi, sehingga karenanya berkumpulah kepadanya para pengikutnya dan para pencari hakikat berbondong-bondong  menemuinya dari berbagai pelosok.
Namun, meskipun di Bagdad ia disambut hangat oleh para pengikutnya, Ibnu ‘Arabi tidak tinggal lama di Bagdad, malah kemudian ia pergi ke Halb dan dari kota ini beliau menuju ke kota Damaskus dan dari Damaskus Ibnu ‘Arabi pergi berziarah ke Majid al-Aqsa. Berulang kali beliau pulang pergi antara Syam dan Hijaz hingga ia mengakhiri perjalanannya di Damaskus tahun 620 H., ketika umur beliau menginjak 60 tahun. Beliau menghabiskan sisa umurnya di Damaskus dengan riyādoh, mengarang dan menulis.
Raja Mu’azzam putera  Raja al-Malik al-‘Ādil menaruh kepercayaan yang amat besar  kepada Ibnu ‘Arabi. Raja Mu’azzam selalu menghadiri pengajian yang diselenggarakan Ibnu ‘Arabi dengan hidmat. Demikian juga Qadi Qudāt Damaskus, penganut Mazhab Syafi’i, yang bernama Syamsuddin Ahmad al-Khauli berhidmah kepada Ibnu ‘Arabi seperti layaknya pengabdian seorang hamba sahaya kepada majikannya. Hal ini dilakukan semata-mata karena mengagungkan ketinggian kedudukan dan keilmuan Ibnu ‘Arabi.  Al-Khauli  banyak mengambil ilmu dan hikmah dari Ibnu ‘Arabi sekaligus mengikuti sirahnya (perjalanan hidupnya). Kecuali itu,  Hakim Agung yang bermazhab Maliki menghendaki kemuliaan, tak segan-segan  ia  menikahkan anak perempuannya kepada Ibnu ‘Arabi. Dihikayatkan, bahwa ia pernah meninggalkan suatu persidangan dengan dasar teori yang ia dapatkan dari Ibnu ‘Arabi. Dalam pada itu, masih di Damaskus, Hakim Ibnu Zaki selalu memberikan keleluasaan kehidupan kepada Ibnu ‘Arabi.  Secara rutin tiap hari, ia mengirimkan tiga puluh dirham dan ia menyerahkannya ke rumah Ibnu ‘Arabi.[20] 
Di penghujung bulan Muharram tahun 627 H, -dalam kejadian  spiritual-  datanglah kepada Ibnu ‘Arabi Nabi Muhammad saw. menyerahkan kitab “Fusūs al-Hikam” dan beliau memerintahkan Ibnu ‘Arabi agar menyebar luaskan kitab tersebut kepada umat manusia. Mengenai kejadian ini Ibnu ‘Arabi menyatakan:
Pada tanggal 20 Muharam tahun 627 H. di suatu  tempat yang terpelihara di Damskus,  dalam tidurku,  aku melihat Rasulullah saw  dan di tangan beliau ada sebuah kitab, Nabi berkata kepadaku: Ini adalah kitab “Fusûs al-Hikam” ambilah dan sebarkanlah kepada umat manusia agar mereka mengambil manfaat darinya. Aku menjawab: “Aku mendengar dan  ketaatan hanya bagi Allah dan Rasul-Nya, juga bagi uli al-Amri (penguasa) sebagaimana kami diperintah untuk  berlaku demikian”. Kemudian aku mengikhlaskan niat, membulatkan tekad dan kesungguhan untuk memperkenalkan kitab ini sebagaimana didiktekan oleh baginda Rasulullah saw kepadaku  tanpa dikurangi atau  ditambah sedikitpun.[21]
Di Damaskus, Ibnu ‘Arabi beserta keluarganya  menghabiskan sisa  hidupnya dengan tenang, tentram dan sakinah. Para murid dan pengikutnya berkeliling di sekitarnya. Ibnu ‘Arabi menyusun kitab, menyampaikan wejangan-wejangan (mau’izah) dan pemikiran-pemikiran falsafahnya hingga ahir hayatnya. Beliau meninggal di kota itu pada malam Jum’at tanggal 27 Rabi al-Akhīr tahun 638 H. bertepatan dengan  tanggal 16 Agustus 1240 M. Beliau di makamkan di kaki gunung Qasiun di luar kota Damaskus.
Ibnu ‘Arabi  meninggalkan dua anak yaitu Sa’duddin  Muhammad yang dilahirkan pada bulan Ramdan tahun 618 H /1221 M. Ia seorang sastrawan sufisme  besar yang  terkenal, ia mempunyai balai tempat menampilkan karya-karya seninya. Sa’duddin meninggal pada tahun 656 H dan dimakamkan di luar  kota Damaskus di kaki gunung Qasiun  bersebelahan dengan ayahnya, Ibnu ‘Arabi.  Dan anak yang satu lagi adalah ‘Imāduddin Abu ‘Abdillah Muhammad, ia meninggal di Madrasah As-Sālihiyyah dan juga dimakamkan di sebelah ayahandanya berdekatan dengan saudara tuanya. Ibnu ‘Arabi juga memiliki seorang putri bernama Sayyidah Zainab. Menurut Ibnu ‘Arabi,  sejak kecil, anak putrinya Zainab telah sering mendapatkan  intuisi (ilham) dan mukasyafah (terbuka hijab).[22]

B.     Akar-akar  dan Perkembangan Spiritual Ibnu ‘Arabi

 

Pada awal kehidupannya, Syaikh yang agung  ini menghapal al-Qur’an, mempelajari tafsirnya, dan mendalami maknanya,  mendengarkan hadis dan meriwayatkannya. Dengan kedua dasar keilmuan ini ia dapat menguasai ilmu-ilmu syari’ah. Kehidupan spiritualnya, ia warisi dari lingkungan keluarganya karena ia memang  berasal dari keluarga yang mulia, tumbuh dan dibesarkan di tengah-tengah keluarga yang mulia. Kakeknya Abdullah al-Hātimi adalah seorang panglima perang yang gemilang, kakeknya yang lebih dekat adalah seorang hakim di Andalusia, ayahnya sendiri adalah seorang ulama yang mengamalkan ilmunya yang selalu menempuh jalan menuju Tuhannya (pengamal   sebuah tarekat).

Selanjutnya Ibnu ‘Arabi  menyatakan: “Allah telah memberiku nikmat yang besar, aku sendiri tidak tahu bahwa kabar gembira itu untuku, aku ditemani oleh seorang Imam  dan khalifah al-Qutb,  dimana ia melarangku ketika aku menemuinya, dari bersandar kepada Syaikh yang manapun yang aku temui”. Selanjutnya ia menyatakan: “Janganlah engkau menyandarkan diri kecuali kepada Allah. Tidak ada seorang pun yang memiliki kekuatan dalam hal  apa yang kamu ada padanya, tetapi Allah lah yang memberimu kekuasaan untuk memeliharanya dan menaklukannya. Ceritakanlah kelebihan orang yang engkau temui jika engkau mau tetapi janganlah engkau menyandarkan diri  kecuali kepada Allah”. Selanjutnya Ibnu ‘Arabi  menuliskan bahwa Allah telah membukakan kepadanya satu rahasia dari rahasia-rahasia-Nya ketika aku berada di kota Pes Maroko pada tahun 574 H. aku menikmatinya, tetapi aku tidak tahu bahwa hal itu bagian dari rahasia-rahasia-Nya yang tidak dibukakan kepada yang lain,[23] lalu aku ditegur karenanya oleh kekasihku  (Allah),   dan aku pun tidak  bisa menjawab kecuali diam.  Hanya saja aku berkata: Peliharalah  hal itu menyangkut orang yang engkau menitipkan sesuatu padanya, jika padamu ada selainnya sebab engkau mampu sementara aku tidak mampu. Aku telah menitipkannya kepada lebih dari delapan belas orang laki-laki; Ia berkata kepadaku; Aku menguasainya lalu ia menghabarkan kepadaku, bahwa ia mencabut dari  dada mereka dan tulang rusuk mereka  tentang hal itu, segala puji bagi Allah dimana Allah tidak menyiksaku dengan ketakutan dan keterhalangan   seperti halnya disiksa selainku.[24]
Dengan demikian, sewaktu masih kecilnya  Ibnu ‘Arabi telah cukup kuat pandangan ruhaninya  melihat ufuk yang amat tinggi yaitu ufuk tauhid yang dicari yang haq dan hidup di ufuk sana selamanya  serta sibuk dengan zikir kepada-Nya lalu naik ke tingkatan pencapaian tanpa berhenti. Dan dalam perjalanan spiritual ini ia sibuk dengan ţā’ah (keta’atan) dan qurbah (pendekatan diri) serta ia melepaskan diri dari berbagai kesibukan, ia menyerahkan kepada ayahnya apa-apa yang ia miliki (secara materi)  lalu ia dawām (terus menerus) melaksanakan apa-apa yang ia diciptakan untuknya dan secara fitri ia dipersiapkan untuknya. Dalam semua ini ia dijaga dari kemungkinan keluar dari koridor Syari’at Muhammad.
Pada suatu waktu ia bertemu dengan seorang Syaikh Mursyid[25] suatu tarekat, syaikh mursyid tersebut mengajari Ibnu ‘Arabi  pada suatu zikir yang khas yang mesti ia amalkan dalam khalwahnya. Lalu Ibnu ‘Arabi  melaksanakan petunjuk syaikh mursyid tadi  sehingga terbukalah kepadanya ilmu-ilmu ladunni yang amat luas sebagai yang diikrarkan oleh syaikh itu sendiri. Misalnya ia mengetahui bahwa ia adalah benar dalam pencarian (suluk). Dan ia pun tahu bahwa yang diberi ilmu serupa ini pada masanya  tidak sendirian alias banyak, antara lain Ibnu Rusyd di Cordova.   Ia bersyukur dapat bertemu dengan  Ibnu Rusyd pada masanya dan Ibnu Rusyd adalah salah seorang fakih yang sufi yang terbuka kepadanya ilmu-ilmu ladunni.
Dalam salah satu wasiatnya Ibnu ‘Arabi pernah menyatakan kepada murid-muridnya: Hendaklah kalian melakukan riyādah sebelum khalwat (bersemedi). Riyādoh adalah suatu  proses pembinaan akhlak, meninggalkan kemewahan dan kesombongan, dan sanggup menanggung ażā (derita). Sesungguhnya manusia jika  keterbukaannya (kasyf al-hijab) mendahului riyādahnya maka tidak akan ada orang yang mengalami hal serupa ini kecuali jarang sekali.[26]
Di antara paktor yang membantu Ibnu ‘Arabi  selamat dari cacatnya perubahan, rusaknya lapaz, pengakuan  batil, dan penyia-nyiaan haq, bahwa ia tidaklah  terganggu selama dalam proses perolehan ilmu-ilmu yang dicari dengan ilmu-ilmu ‘aqliyyāh jadaliyyah yang seringkali mempengaruhi salik (orang yang menempuh jalan menuju Tuhan)  dari  memperoleh ilmu-imu hakekat. Menyangkut hal ini, Ibnu ‘Arabi mengutarakan:
Barang siapa  mengenal Allah dengan Allah maka sungguh ia telah betul-betul mengetahui (ma’rifah), dan  barang siapa yang mengenal Allah melalui alam  maka ia mengetahui-Nya sejauh yang diberikan alam kepadanya tidak lebih.[27]

Selanjutnya ia menyatakan:

Ketahuilah bahwa di antara manusia ada orang yang sibuk mencari dalil dan melakukan penelitian secara mendalam, tetapi tatkala batinnya memberi isyarat sesuatu segera ia menapikannya. Ujung perilaku orang  serupa ini  adalah ia diam setelah terlebih dahulu ia lelah. Seolah-olah orang  seperti ini  telah dipastikan umurnya habis dalam tafakkur tentang sesuatu yang sebenarnya tidak layak untuk ditafakkuri dan ia sibuk mencari tempat yang sebenarnya dilarang oleh Allah.[28] 

Di antara keutamaan Allah (karunia Allah) kepadaku adalah Allah menjagaku dari bertafakkur tentang Zat Allah, aku tidak mengenal Allah kecuali melalui firman-Nya, berita-Nya dan bukti-bukti lainnya, sehingga menyangkut Zat Allah, fikiranku diliburkan. Dan fikiranku bersyukur kepadaku atas hal ini. Lalu ia berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah menjagaku karena-Mu dari tasarruf  dan kejenuhan   memikirkan perkara yang tidak perlu bagiku, dan aku
telah berjanji kepada diriku untuk tidak bertafakkur tentang Zat-Mu ya  Allah bahkan aku mengalihkan kesungguhanku  pada i’tibar (proses pengambilan pelajaran dari fenomena yang ada) dan  akupun berjanji  mengenai hal itu. Bagi Allah segala puji karena pengalihan kesibukan yang ia diciptakan bukan untuknya
dan penggunaan dalam kesibukan yang ia diciptakan untuknya”.[29]
Allah berfirman:
                ثم اورثنا الكتاب الذي اصطفينا من عبا دنا       (فاطر:32)

“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih dari hamba-hamba-Kami ” (Fātir: 32)

Interpertasi terhadap ayat di atas  Ibnu ‘Arabi menyatakan: Ketahuilah sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidaklah memilih seorang hambanya kecuali Ia menjaganya sebelum memilihnya dari menyelam dalam ilmu nazar dan Allah menghalanginya dari ilmu nazar tersebut sekaligus Allah memberikan kepadanya  daya untuk dapat beriman kepada Allah dan kepada segala yang datang dari Allah melalui lisan Rasulnya. Sebab sesungguhnya pemilik an-nazar al-‘aqli meskipun bahagia, ia tidak akan selamanya ada pada  tingkatan orang yang lurus yang tidak ada padanya ilmu tentang Allah  kecuali melalui iman dan taqwa. Dan inilah warisan para Nabi dalam sifat ini.
Untuk lebih mendalami bagaimana perjalanan spiritual Syaikh al-Akbar, perlu kita telusuri perjalanannya yang panjang, pemikirannya yang luas, substansi  karya-karyanya yang tajam serta pertemuan-pertemuannya dengan para mursyid tasawuf di masanya. Sebelum penulis angkat pertemuan Syaikh dengan mursyid-mursyid di masanya, adalah lebih baik kalau terlebih dahulu penulis utarakan keberhasilan Syaikh al-Akbar  dalam menempuh suluk yakni maqamat-maqamat yang beliau lalui serta ahwal-ahwal yang beliau capai, manzilah-manzilah, tajalli, nur dan rahasia-rahasia yang terungkap kepadanya.
al-Futūhāt, misalnya  merupakan karya spiritual tuan Syaikh yang di dalamnya termuat berbagai persoalan mulai dari bahasan ilmu pengetahuan, ibadat,  mu’amalat, ahwal, manazil, munazalat, dan maqamat. Tiap-tiap bagian dari pokok-pokok bahasan di atas ada inti pembahasannya, rahasia-rahasia, dan ilmu-ilmunya. Sistimatika pembahasan al-Futūhāt sendiri bukanlah perbuatan Syaikh al-Akbar sendiri  melainkan merupakan ilham ruhani sebagai halnya para wali telah mendapatkannya. Ilmu-ilmu yang banyak sebagaimana di atas, ahwal yang maha luas, maqamat, manazil, munazzalat, tajalli yang berbilang dan bermacam-macam, semua itu merupakan perkara  yang diperoleh Syaikh, sebab Syaikh    sebagaimana  manusia yang sederajat dengannya,  tidak menuliskan dan tidak mengucapkan sesuatu  melainkan dari zauq (rasa) yang ada pada hati suci mereka, hal yang hadir  dalam hati mereka  berupa  masyhad tertentu di hadapan mereka.[30]
Dalam perjalanan spiritualnya, Ibnu ‘Arabi banyak menyisihkan waktu untuk ţalab al-‘ilm, berkumpul dengan para tokoh, ulama dan para mursyid, dan bepergian dari satu wilayah ke wilayah yang lainnya, dari satu tempat ke tempat lainnya. Dalam perjalanan pertamanya di Seville ia bertemu dengan Syaikh Abu Ja’far al-‘Arabi. Syaikh Ja’far berwasiat kepadanya agar ia dapat meninggalkan berbagai kesibukan dan sebaliknya musti  istiqamah dalam mencari kebenaran. Ibnu ‘Arabi pun  berpegang teguh atas wasiatnya sehingga dibuka baginya rahasia-rahasia. Kata Ibnu ‘Arabi: Jika aku masuk menemui Syaikh Abu Ja’far, ia mengatakan: “Selamat datang anak yang baik. Semua anaku nifak kepadaku dan menginkari kebaikanku kecuali kamu, sebab kamu mengakuiku dan mengakui kebaikanku, semoga Allah tidak melupakanmu”.[31]
Di antara sufi besar yang ia temui adalah Syaikh Abu Ya’qub  Yusuf bin Yakhlif al-Kûmi al-‘Abasi radiya Allah ‘anhu. Ibnu ‘Arabi berkata tentang Abu Ya’qub. “Pada suatu waktu aku bertemu dengan Abu Ya’qub dalam tidurku, dadanya nampak terbelah, di dalamnya ada lampu yang bersinar seolah-olah matahari. Ia berkata ya Muhammad mendekatlah, aku pun  mendekatinya dengan membawa dua wadah putih yang besar. Kemudian beliau memuntahkan susu  ke dalam wadah itu hingga penuh. Kemudian ia berkata kepadaku : Minumlah maka akupun meminumnya. Dengan barkahnya,  rohaniku  berkembang seperti yang aku rasakan”.[32]
Di antara banyak penuturannya (pada usia yang amat muda)  tidak ada yang lebih istimewa  ketimbang hikayatnya  tatkala berjumpa dengan Ibnu Rusyd. Ia menceritakan:  Pada suatu hari aku memasuki kota Cordova  dan bertemu dengan hakimnya, yaitu Abu Walid Ibnu Rusyd. Ia bersuka cita menyambut kedatanganku  karena ia mendengar apa yang telah aku dapatkan  dalam penyendirianku, ia amat ta’jub atas apa yang ia dengar. Ketika aku masuk ke ruangannya   segera ia berdiri karena menghormatiku seraya langsung memelukku dan berkata kepadaku “ya”, aku menjawab: “ya”. Maka ia bertambah ceria  karena aku mengerti apa yang ia maksud. Kemudian aku merasakan sesuatu  yang membuat ia gembira dengan hal itu, aku berkata kepadanya “tidak”, maka ia langsung diam dan berubah warna  mukanya serta ragu-ragu dengan apa yang ia miliki.  Ia bertanya bagaimana aku bisa menemukan perkara tentang penyingkapan Ilahi dan emanasi Tuhan. Apakah Dia memberi kita  penglihatan  itu, aku menjawab: “ya tidak”. .. Ia mengetahui apa yang aku isyaratkan kepadanya…[33]
Di antara orang suci yang ditemui Ibnu ‘Arabi adalah  adalah Syaikh Salih al-‘Adawi radiya Allahu ‘anhu. Kata Ibnu ‘Arabi aku bersahabat dengannya beberapa tahun, aku selalu hapal apa-apa yang ia ucapkan karena sedikitnya ia bicara. Ia mempunyai anak laki-laki yang selalu dekat dengannya  dan ia pun sering meramal hal-hal yang akan terjadi di masa mendatang dan aku pun dapat mengambil manfaat dari padanya. Pada suatu waktu ia menceritakan kepadaku perkara-perkara yang terkait dengan hak ku yang akan terjadi di masa mendatang, maka aku merasa ta’jub karena atas semuanya aku dapat melihatnya dan tidak ada satu perkara pun yang tidak tepat.
Di antara sufi besar yang Ibnu ‘Arabi  temui adalah Syaikh Abu al-Hajjaj Yusuf as-Sibli. Ibnu ‘Arabi berkata: Aku melihat dia banyak barkahnya  dan ia termasuk orang yang bisa berjalan di atas air. Tidaklah aku atau  siapapun yang masuk menemuinya kecuali aku mendapatinya sedang membaca al-Qur’an, ia tidak memegang apapun kecuali al-Qur’an.
Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Jumhur radiya Allahu ‘anhu termasuk sufi besar yang Ibnu ‘Arabi temui untuk mengambil barkahnya. Ibnu ‘Arabi berkata tentang pribadinya: “Ia adalah seorang manusia suci yang suka menghindar dari makhluk, menyukai bersmedi dan ‘uzlah, ia seorang yang wara’, zuhud, mengembara kepada Allah dan berada bersama Allah”.[34]
Pamannya sendiri, Syaikh Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad bin al-‘Arabi at-Ţāi, termasuk sufi besar yang sering ia kunjungi. Ibnu ‘Arabi berkata:  Pada suatu hari  aku masuk ke rumahnya dan duduk bersamanya, ia berkata: “Fajar telah terbit”. Aku bertanya kepadanya “Dari mana paman tahu tentang hal itu” ? Ia menjawab: “Anaku sesungguhnya Allah mengarahkan angin (udara) dari bawah ‘arasy melalui surga dan angin tersebut berhembus setiap kali fajar terbit dan hembusan wanginya dapat dicium oleh setiap orang yang beriman saban hari”.
Di antara sufi besar yang ia temui adalah Syaikh Abu Ahmad as-Salawi radiya Allahu ‘anhu, Ibnu ‘Arabi berkata: Abu Ahmad tiba di Seville dan pada saat itu aku sedang berada di bawah bimbingan guruku Abu Ya’qub. Keadaan Abu Ahmad rahimahu Allah adalah seorang sufi yang kuat keadaannya dan ia dekat dengan Abu Mudin. Seterusnya Ibnu ‘Arabi berkata: Aku tinggal sebulan penuh dengan Syaikh Ahmad as-Salawi di mesjid Ibnu Jarrad. Pada suatu malam aku bangun untuk salat malam lalu aku wudu dan pergi ke   lantai atas mesjid. Aku melihat Syaikh As-Salawi sedang tidur di dekat pintu atap mesjid, sedang cahaya memancar ke langit. Aku tertegun melihatnya dan aku tidak tahu apakah cahaya itu dari langit  yang turun kepadanya  atau justru dari Syaikh As-Salawi yang memancar  tembus ke langit. Aku terus-terus berdiri dan merasa ta’jub tentang keberadaannya hingga ia bangun kemudian  mengambil wudu dan berdiri untuk melakukan salat tahajjud. 
Di antara mereka yang sengaja ditemui Ibnu ‘Arabi, juga  tercatat As-Syaikh Abu Abdillah bin Zain di Sevilla. Tentang Syaikh tersebut, Ibnu ‘Arabi mengutarakan  bahwa dia adalah seorang ahli ijtihad, pekerja keras, sederhana dalam hidupnya, ia membaca al-Qur’an dan mempelajari ilmu nahwu di Masjid Al-‘Adis Sevilla, ia tidak pernah menaruh rasa dendam kepada siapapun. Ia mendalami banyak karya-karya Al-Gazali. Suatu malam ia membaca karangan Abu al-Qasim bin Ahmad yang menentang ajaran Al-Gazali. Kaget tiba-tiba matanya tak dapat melihat, segera ia bersujud kepada Allah, bersikap tadarru’ dan ia bersumpah bahwa ia tidak akan lagi membaca kitab-kitab  yang menentang ajaran Al-Gazali termaksud, seta merta tiba-tiba Allah mengembalikan  penglihatannya seperti semula.
Masih banyak lagi tokoh-tokoh sufi yang Ibnu ‘Arabi temui dan ia berguru kepada mereka  atau paling tidak Ibnu ‘Arabi bertabarruk kepada mereka sebagaimana yang terjadi dalam beberapa kasus, dan kelihatannya tidak mungkin semuanya penulis angkat dalam tulisan ini. Beberapa nama dapat disebut, misalnya, As-Syaikh Abu Muhammad Abdullah bin Ibrahim al-Maliki, Syaikh Abu Ishaq Ibrahim bin Ahmad bin Ţarif al-‘Abasi, Syaikh Abu al-Abbas bin Tājah, Syaikh Abu al-‘Ashi Abu Abdillah al-Bāji, Syaikh Abu Zakaria Yahya bin Hasan al-Husnā, Syaikh Abdussalam al-Aswad dan Syaikh Musa al-Mu’allim  juga Syaikh Abu Abdillah al-Murābiţi, Syaikh Maimun at-Tūnisī.
Ibnu ‘Arabi sangat senang berbicara  tentang komunikasinya dengan para nabi terdahulu dan ajaran-ajaran yang diterimanya dari mereka, ia mengutarakan:
Ketahuilah ketika kebenaran telah nampak padaku, dan diperlihatkan kepadaku para rasul dan para nabi  yang semuanya adalah manusia, dari mulai  Adam hingga Muhammad saw.  Dalam sebuah penyaksian  yang pada waktu itu, aku sedang berada di Cordova tahun 586 H (1190 M.). Tidak seorang pun dari para nabi mengajakku berbicara  kecuali Nabi Hud as. Ia memberitahuku tentang perkumpulan mereka,  aku melihat sosok Nabi Hud   sangat bijaksana dalam setiap masalah serta mempunyai pengetahuan luas atas masalah-masalah termaksud. Sebagai bukti atas ke-kasyafan-nya terhadap masalah-masalah tersebut, firman Allah menyatakan: “Tidaklah suatu binatang melata pun kecuali Dia-lah yang memegang ubun-ubunya. Sesungguhnya Tuhanku ada  di atas jalan yang lurus”.  (Hud:  56). Penghargaan apa yang lebih mulia ketimbang ini[35]


Berdasarkan perjalanan spiritual Ibnu ‘Arabi sebagaimana digambarkan dalam uraian di atas, nampaknya dapat dipormulasikan bahwa Ibnu ‘Arabi kecuali
lahir dari kalangan orang suci, hidup di tengah-tengah  keluarga suci, dan juga bersahabat dan mencintai orang-orang suci, juga sejak usia mudanya ia sudah mulai menampakkan kecenderungan terhadap spiritualitas Islam.  Dalam perjalanan mistiknya ia menempuh jalan yang sama sebagaimana  yang dijalani sufi-sufi besar lainnya yakni menempuh  cara yang tidak keluar dari koridor syari’at yang dibangun di atas landasan ketaqwaan, memperbanyak melakukan sunat-sunat, meninggalkan rukhsah-rukhsah sebisa mungkin, mengendalikan nafsu yang ada dalam diri (mujāhadāt an-nafs), membersihkan  hati sehingga terpatri di dalamnya ilmu-ilmu dan ma'rifah ladunniyyah yang berkaitan dengan kehidupan dan proses kembali kepada Tuhan.
Ilmu yang paling mulia yang beliau ambil dari para sufi yang beliau temui dalam perjalanan spiritualnya adalah ilmu  yang berkaitan dengan Tuhan, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya sehingga  dengan ilmu ini taklid dalam iman dibersihkan dan hasilah keyakinan  yang sempurna dalam ma’rifat kepada Tuhan.
Bagi Ibnu ‘Arabi,  kebahagiaan, berkaitan erat dengan iman dan ilmu yang sahih. Ilmu yang benar (sahih)  adalah ilmu yang tetap bersama  iman. Ilmu menyangkut hak makhluk meskipun baginya ada kemuliaan yang sempurna yang tidak diketahui kedudukannya, tetap dipandang tidak memberi kemuliaan dan taqarrub Ilahi kecuali jika dilandasi iman. Cahaya iman di dalam diri makhluk lebih mulia dari pada cahaya ilmu yang tidak ada imannya. Apabila iman dapat menghasilkan  ilmu maka cahaya ilmu yang dihasilkan dari cahaya iman lebih tinggi  dan dengannya seseorang akan memiliki kelebihan. Allah mengangkat derajat orang-orang yang diberi ilmu dari kalangan orang-orang beriman beberapa darajat atas orang-orang yang beriman yang tidak diberi ilmu. Dan yang dimaksud adalah ilmu yang berkaitan dengan ilmu tentang Tuhan Allah  (ma’rifatullah).

C.  Karya-karya Intelektual Ibnu ‘Arabi
Dalam pengembaraan spiritualnya, Ibnu ‘Arabi banyak menghasilkan karya-karya ilmiah yang dinilai para peneliti, amat tinggi nilai intelektualnya sehingga karenanya, sulit membedakan mana karya intelektual Ibnu ‘Arabi dan mana karya spiritualnya. Karena apa yang ia tulis, kecuali materinya menggambarkan kajian yang mendalam secara filosofis,  juga cara penelitian dan penulisannya seringkali menggambarkan pendekatan   mistis yang boleh jadi hasil dari sebuah pendekatan spiritual melalui riyādah, dan mujāhadah. Fusûs al-Hikam, misalnya, merupakan  karya ilmiah yang berasal dari ilham (intuisi) yang secara khusus diberikan Rasulullah kepada Ibnu ‘Arabi sewaktu beliau berada di Damaskus.[36] Demikian juga kitab besar yang ia tulis “al-Futûhāt al-Makkiyyah” merupakan karya dari sebuah penyingkapan (al-Kasyf) tatkala beliau melihat keagungan Tuhan di Masjid al-Haram. Dengan demikian, dalam paparan ini, penulis tidak akan membuat garis pemisah antara karya intelektual dan karya spiritual Ibnu ‘Arabi. Kedua masalah dimaksud, nampaknya akan merupakan pembeda dari segi  isi (obyek materia dan forma) antara satu karya dengan karya lainnya.
Menurut Muhammad Ibrahim Muhammad Salim, karya tulis Ibnu ‘Arabi tidak kurang dari empat  ratus judul buku. Di Perpustakaan al-Kutub al-Misriyyah ada sebuah katalog khusus yang memuat nama-nama karya tulis Ibnu ‘Arabi. Bahkan  seorang penulis kitab “al-Burhān al-Azhar fi Manāqib as-Syaikh al-Akbar” disamping menyebutkan sebagian besar karya-karya Ibnu Arabi,  juga ia mencatat nama-nama pensyarah terhadap karya Ibnu ‘Arabi yaitu “Fusus al-Hikam”.   Menurut penelitiannya tidak kurang dari tiga puluh enam pensyarah.[37]
Namun menurut Brockelmann, karya Ibnu ‘Arabi  kira-kira 150 judul yang masih ada. Selanjutnya ia  menginformasikan bahwa dari katalog Perpustakaan Kerajaan Mesir di Cairo, terdapat kira-kira Sembilan puluh judul sisa karya Ibnu ‘Arabi  yang masih ada dan kebanyakaannya masih berbentuk manuskrip (MSS). Ibnu ‘Arabi sendiri diperkirakan pernah menyebut angka 289 tulisan di dalam sebuah catatan yang ditulisnya pada tahun 632 H /1239 M. Berbeda dengan data di atas, Jami mengatakan bahwa Ibnu ‘Arabi menulis lebih dari 500 buah buku besar dan kecil.[38]  Sedangkan as-Sya’roni mengurangi jumlah yang disebut Jami sebanyak seratus buah.
Sebagai telah disinggung bahwa di antara karya Ibnu Arabi yang amat monumental adalah Kitab al-Futûhat al-Makkiyyah dan Kitab Fusûs al-Hikam. . Nama lengkap kitab  yang disebut pertama adalah Kitab al-Futūhāt al-Makkiyyah fi Ma’rifat  al-Asrār al-Mālikiyyah wa al-Mulkiyyah. Ia mengaku bahwa kitab ini didiktekan Tuhan melalui malaikat yang menyampaikan ilham. Karya ini mulai ia tulis di Makkah pada tahun 598 H/ 1202  M. dan selesai di Damaskus pada tahun 629 H/1231 M.[39]  Kitab al-Futūhāt al-Makkiyyah memuat berbagai persoalan mulai dari masalah teologi, mistisisme, fikih dan falsafah. Kitab ini terdiri atas lima ratus enam puluh bab dalam empat jilid besar. Menurut perhitungan William.C. Chittick, al-Futūhat memenuhi tiga puluh tujuh  volume atau 18.500 halaman untuk keseluruhan teks dalam edisi  kritis Osman Yahia.[40]
Kitab yang disebut terakhir, Fusūs al-Hikam, meskipun tidak terlalu besar tetapi  merupakan karya Ibnu ‘Arabi yang amat penting. Itulah sebabnya terhadap  kitab ini  banyak para fakar yang mencoba mensyarahkannya. Karya ini disusun tahun 627 H/ 1230 M, sepuluh tahun sebelum ia wafat.[41] Kitab Fusūs al-Hikam mengandung dua puluh tujuh bab. Setiap  bab menggunakan  nama seorang nabi untuk judulnya. Pencantuman nama nabi sebagai judul setiap bab sesuai dengan kebijaksanaan (hikmah) yang dijelaskan  dalam setiap bab. Setiap nabi, yang disimbolkan dengan fas (pengikat permata pada cincin), menggambarkan  suatu aspek tertentu dari kebijaksanaan ilahi yang terjelma (tajalli)  pada setiap nabi itu, yang menjadi lokus penampakan diri (majla) Tuhan. Sesuai  dengan judulnya,  Fusūs al-Hikam, karya ini bertujuan untuk memaparkan  aspek-aspek tertentu kebijaksanaan Ilahi dalam konteks kehidupan person dua puluh lima nabi dan rasul[42]
Boleh  dikatakan, bahwa kandungan  utama gagasan Ibnu ‘Arabi dalam kitabnya  Fusūs al-Hikam adalah  menjelaskan  hubungan setiap nabi dengan asal dan sumber ilmunya yang tak lain adalah Insan Kamil atau al-Haqiqah al-Muhammadiyyah. Hal ini  memberikan kejelasan kepada kita, bahwa setiap Nabi dipengaruhi oleh salah satu nama Ilāhi yang dalam kitab  ini disebut “hikmah”
 Hanya saja sesungguhnya Nabi Muhammad saw. dipengaruhi oleh nama “Allah”, nama yang  menghimpun segenap nama Ilahi. Itulah sebabnya Nabi Muhammad adalah prototipe insan kamil yang menjadi ekspresi Nur Muhammad dalam makrokosmos.  Para penulis syarah Fusūs bersaksi bahwa Ibnu ‘Arabi adalah seorang ulama tasawuf yang istiqamah, lurus aqidahnya, dan begitu luas  ilmunya, dan tinggi  kedudukannya.[43]
Di antara kitabnya yang cukup berharga adalah kitab “Tanzīl al-Amlāk”. Di dalamnya Ibnu ‘Arabi menjelaskan tentang rahasia ibadat, dan berbagai rahasia syari’at yang lainnya yang ia ungkap jelaskan  dalam lima puluh lima bab. Kitab ini semula merupakan makhtūtāt (manuskrip) dengan judul al-Tanzālat al-Masūliyyah, sekarang kitab ini sudah dicetak dan diterbitkan dengan judul “Tanzīl al-Amlāk” oleh Penerbit Dār al-Kutub al-Misriyyah.
Kitab Musyāhid al-Asrār al-Qudsiyyah, juga merupakan kitab yang amat penting. Kitab yang disebut terakhir, telah disalin kembali  oleh penerbit Dār al-Kutub al-Misriyyah. Kitab ini memuat tentang esensi rahasia-rahasia  dan perasaan-perasaan yang amat dalam yang harus dihirup dan dihayati oleh para tokoh  ahli hakekat dalam rangka mengenal Allah (al-ma’rifah) 
Karya-karya Ibnu ‘Arabi, sebagai telah dijelaskan, ada yang masih berupa manuskrip dan ada yang sudah dicetak dan dipublikasikan. Selain yang telah diungkap terdahulu, berikut ini, penulis ungkap kitab-kitab penting Ibnu ‘Arabi yang telah dicetak penerbit dan dipublikasikan.
1.      Kitab Mawā’qi’ an-Nujūm wa Maţāli’ Ahillāt al-Isrār wa al-‘Ulūm. Kitab ini telah ditahqiq dan diterbitkan secara luas oleh Älam el- Fikr Book Shop, Cairo tahun 1998. Kitab ini mengungkap secara mistis tentang hidayah, astrologi, hati,  zikir dan beberapa uraian tentang akhlak termasuk di dalamnya etika terhadap guru dan mursyid. Kitab ini ditulis Ibnu ‘Arabi pada  tanggal 11 Ramdan, tahun 595 H (1199 M.).  Kitab ini sengaja diberi judul “Mawaqi’ an-Nujūm” yang ia banggakan diambil dari  sumpah Allah dalam surat al-Wāqi’ah.  Selanjutnya ia mengatakan: “Barang siapa yang mendapatkan kitab ini, maka hendaknya berpegang pada taufīq Allah (pertolongan) karena ia merupakan manfa’at  paling besar, dan saya tidak bisa memberitahukan  kepada anda tentang kedudukannya.  Hanya saja aku bermimpi dalam tidurku selama dua kali berturut-turut tatkala Dia berkata kepadaku: ‘Nasihatilah hamba-hamba-Ku’. Ini adalah nasihat besar yang aku nasihatkan  kepadamu dan Allah  adalah Zat yang Maha Pemberi  Taufiq (pertolongan)”.
2.      Kitab ‘Anqā  al-Magrib. Tulisan ini merupakan karya yang asing sekali. Tidak sembarang orang dapat menyelami kedalaman rahasia yang terdapat di dalamnya kecuali para pengamal   tasawuf. Kitab ini disyarahkan, antara lain dalam kitab yang berjudul at-Tauqī’āt.
3.      Majmu’āt ar-Rasāil.  Kitab kecil ini telah diterbitkan oleh Penerbit al-Maktabah at-Tijāriyyah  Midan al-Azhar. Sesuai dengan namanya, asalnya materi kitab ini berupa makalah-makalah yang pernah Ibnu ‘Arabi sampaikan dan atau ia tulis dalam berbagai kesempatan. Selanjutnya secara sisitimatis karya ini dipadukan dan dikodipikasikan oleh pemerhati fikiran-fikiran Ibnu ‘Arabi dan kemudian diterbitkan.
4.      Misykāt al-Anwār fi Ahādis asy-Syārifah. Kitab ini memuat dan menjelaskan 101 buah hadis  kudsi yang  berkaitan dengan falsafah dan mistisime Islam. Penjelasannya  amat mendalam dan diungkap  dalam bahasa yang singkat tetapi padat (ījāz).  Di dalam muqaddimah kitab ini, Ibnu  ‘Arabi menjelaskan bahwa hadis kudsi sama dengan al-Qur’an diturunkan oleh Malak Jibril, keberadaannya terikat oleh lafaz yang diturunkan dari Lauh al-Mahfūz bahkan penukilannya pun secara mutawatir. Perbedaannya dengan al-Qur’an adalah  tidak sah salat dengan membaca hadis kudsi, tidak haram menyentuhnya  bagi orang yang lagi haid, junub dan atau nifas. Demikian juga tidak termasuk kafir orang yang menginkarinya dan hadis kudsi tidak terkait dengan mu’jizat Nabi.[44]
5.      Muhādarah al-Abrār wa Musāfarah al-Akhyār.
6.      Majmu’āt al-Rasāil al-Ilāhiyyah.
7.      ad-Dīwan al-Kabīr. Di dalamnya ia mengungkap syi’ir-syi’ir sufistik yang mencakup esensialitas dan kema’rifatan.
8.      Turjumān al-Asywāq. Kitab ini disyarahkan oleh Syaikh al-Akbar sendiri dengan nama Zakhāir al-‘Alaq Syarh Turjumān al-Asywāq, dan juga telah diterbitkan oleh  Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah Beirut Libanon. Matan kitab ini,  berupa syi’ir-syi’ir yang indah sekali, antara lain  berbicara tentang cinta, keindahan, a’amāl (perbuatan-perbuatan yang dicintai Tuhan),   al-maqāmāt, al-musyāhadāt dan ar-rûhiyyāt, juga kerinduan kepada Ilahi, dan menangis untuk mencari kesucian.
9.      Al-Insān al-Kāmil, al-Qutub al-Gaoś al-Fard. Kitab ini memang berisi konsep-konsep Ibnu ‘Arabi menyangkut insan kamil, al-gauś, al-Qutb dan lain-lain.  Sebenarnya kitab ini ditulis oleh Mahmud al-Gurāb yang diambil semuanya dari karya-karya dan pemikiran Ibnu ‘Arabi yang berserakan dalam berbagai karangannya. Rujukan utama kitab ini, sebagaimana  diangkat dan diakui  oleh  penulisnya sendiri adalah al-Futūhāt al-Makkiyyah, kitab al-Isrā, kitab an-Najāt fi Syarh Kitab al-Isra, kitab Zahāir al-‘Alaq Turjumān al-Asywāq, kitab ‘Aqlāt al-Mustaufiz, ad-Dîwan, kitab Tadbîrāt al-Ilāhiyyāt dan Kitab  Manzil al-Qutb.
10.  al-Khalwah al-Mutlaqah. Kitab ini berupa risalah yang tidak terlalu besar. Isinya mengutarakan tentang proses pendekatan diri kepada Tuhan, dalam bentuk  khalwah. Khalwah secara etimologis adalah bersemedi. Sedangkan yang dimaksud adalah seorang salik mengasingkan dirinya dari keramaian dunia untuk bisa bertaqarrub kepada Allah secara khusu’. Misalnya, cara khalwah itu disebutkan, seorang salik tidak boleh membunuh binatang apapun, harus selalu dalam keadaan suci dari hadas kecil dan besar, tidak bicara, makan sekedarnya  asal tidak lapar supaya tidak mengganggu. Dalam kitab ini pula disebutkan syarat-syarat tempat berkhalwah dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kesempurnaan al-khawah al-mutlaqah.
11.  Kitab al-‘Abādilah. Kitab ini unik sekali membahas nama-nama Abdullah dan rahasia dibalik nama-nama itu. Misal pembahasan dalam kitab ini: Perkara yang pertama kali muncul dari hadirat Ilahi adalah nama. Perkara yang pertama kali nampak dari huruf adalah  Ba. Sesuatu  yang pertama kali nampak dari maujudat  adalah  jauhar (substansi). Perkara yang pertama kali muncul dari jauhar adalah cahaya. ‘Ard (acsident) yang pertama kali kelihatan adalah harakah (gerak). Sifat yang pertama kali nampak dari padanya adalah al-haya (sifat malu). Ilmu yang pertama kali diterima adalah  al-‘ilm bi Allah, kemudian Allah melihat diri-Nya dalam ilmu itu. Selanjutnya Ibnu ‘Arabi menyatakan: al-‘Ālim diambil dari kata al-‘alāmāt. Setiap haqiqat  ada alamatnya (tandanya) yang menunjukan hakikat ketuhanan.  Terhadap hakikat itu  disandarkan keberadaannya. Dan kepada-Nya pula tempat kembalinya segala perkara.[45]
12.  Kitab al-Wasāya. Kitab ini ditahqiq oleh Muhammad ‘Izzah, dan diterbitkan oleh Penerbit al-Maktabah at-Taufîqiyyah Mesir. Kitab ini menghimpun nasihat-nasihat Ibnu ‘Arabi bagi para murid khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya. Materinya sendiri berupa etika kehidupan dalam hubungannya dengan Tuhan, manusia dan alam sekitarnya.
13.  Rasāil Ibnu Arabi. Kitab ini ditahqiq oleh Muhammad Izzah dan diterbitkan serta dipublikasikan oleh penerbit yang sama dengan Kitab al-Wasāya, al-Maktabah at-Taufiqiyyah. Kecuali materi tasawuf dan filsafat metafisik yang dimunculkan, juga kitab ini  menguraikan spiritualitas huruf-huruf dalam bahasa Arab dan term mistisisme Islam. Kitab ini diahiri oleh Ibnu ‘Arabi dengan penjelasan istilah-istilah tasawuf.
14.  Kitab Dīwan Ibnu ‘Arabi. Kitab ini berisi puisi-puisi ciptaan Ibnu ‘Arabi yang berkaitan dengan berbagai permasalahan keagamaan dan kehidupan. Kitab ini ditahqiq oleh Ahmad Hasan Bāj dan diterbitkan oleh Dār al-Kutub  al-‘Ilmiyyah Beirut. Sebagian besar puisi-puisi Ibnu ‘Arabi ini telah dimuat dalam kitabnya al-Futūhāt. Begitu sulit memahami  karya sastra Ibnu ‘Arabi maka Ahmad Hasan kecuali menahqiqnya juga ia mencoba mensyarahkannya agar gagasan yang terdapat di dalamnya   dapat dipahami oleh siapa saja yang membacanya.
15.    ar-Risālah al-Wujûdiyyah. Sesuai dengan namanya kitab ini berisi sebuah risalah yang secara spesifik menjelaskan makna hadis “Man ‘arafa nafsahu fa qad ‘arafa rabbahu”. Dari penjelasan hadis ini selanjutnya Ibnu Arabi mengajak kepada pembaca untuk memahami konsep wahdat al-wujūd yang merupakan ide dasar dalam berbagai pemikiran falsafahnya. Menjelang pembahasan akhir dalam risalah ini. Ibnu ‘Arabi mengungkap sebuah puisi mistiknya sebagai berikut:
Aku mengenal Tuhan dengan tuhan---tanpa kurang dan tanpa cacat
Zatku adalah Zat-Nya secara haq--- tanpa ragu dan tanpa syak

Tidak ada batas antara keduanya --- Diriku menampakan yang gaib

Semenjak diriku mengenal-Nya--- dengan tidak bercampur  dan gundah
Aku  sampai seperti sampainya yang dicintai --- tanpa jauh dan dekat
Dan aku pun mendapatkan  pemberian yang banyak – tanpa harus berbuat dan tanpa usaha
Diriku tidak fana kepada-Nya – dan tidak  rusak kerinduan kepadaNya.[46]
16.  Syajarah al-Kaun. Kitab ini berceritera tentang keunikan person Muhammad dalam hubungannya dengan Allah, manusia dan alam secara keseluruhan.  Kitab ini amat menarik banyak pemerhati falsafah Islam. Itulah sebabnya banyak orang yang mengkajinya  secara serius, misalnya Abdurahman Hasan Mahmud. Sarjana Barat yang mendalami materi ini, antara lain  A Jeffery, ia menerjemahkan kitab ini ke dalam bahasa Inggris dengan judul   “Ibnu Arabi’s Shajarāt al-Kawn”. Demikian juga Gloton ke dalam bahasa Prancis  dengan judul  L’Arbre du Monde.[47]
17. Kitab al-‘Aqlah al-Mustaufîz.  Kitab ini berisi teori fisika Ibnu ‘Arabi dan kaitannya dengan manusia, kesempurnaan manusia, penciptaan akal pertama. Masalah ‘arasy, lauh al-mahfūzh, tingkatan ilmu, pembicaraan malaikat, ruh, jagat  raya, mu’jizat,  para nabi dan lain-lain.
18. Insyā ad-Dawāir.  Kitab ini berbicara  sekitar macam-macam al-ma’dûmāt, (perkara-perkara metafisik), tingkatan benda-benda maujūdāt, hakikat segala sesuatu dan sebab-sebab pertumbuhan dan perkembangan ilmu.
19. at-Tadbīrāt al-Ilāhiyyah fi Islāh al-Mamlakah al-Insāniyyah. Buku ini mengupas tentang sistem pemerintahan dalam Islam. Agak unik memang, Ibnu ‘Arabi merupakan sosok manusia ensiklopedis. Ia mampu membahas tasawuf dan falsafah secara mendalam, fikih dan tafsir secara mumpuni. Demikian juga masalah teori kepemimpinan dan sistem pemerintahan, seperti yang ia ungkapkan dalam kitab ini. Kitab ini diterbitkan oleh Penerbit ‘Alam al-Fikr. Midan Sayyidina al-Husain al-Azhar as-Syarīf.
20. Risālah al-Akhlāq. Kitab kecil  termaksud ditahqiq oleh Hasan Abdurahman. Gagasan kitab  ini menyatakan bahwa keutamaan manusia terletak dalam akhlaknya. Pada dasarnya akhlak mazmumah ini  ada pada setiap manusia, demikian juga akhlak mahmudah. Usaha manusia adalah bagaimana agar akhlak mahmudah itu lebih dominan dalam dirinya sehingga dia menjadi insan kamil. Untuk dapat menempatkan akhlak mahmudah lebih dominan dalam dirinya menurut Ibnu ‘Arabi adalah ia harus dapat mengenal dan menguasai nafsu yang ada dalam dirinya. Nafsu-nafsu dimaksud adalah nafsu asy-syahwāniyyah, an-nafs al-gadabiyyah dan an-nafs an-nātiqah. Selanjutnya dalam risalah ini juga dijelaskan macam-macam akhlak dan cara-cara berlatih agar dapat berakhlak secara baik. Akhirnya  sifat-sifat manusia sempurna yang mencakup kebaikan akhlak merupakan  bahasan penutup dalam rislah ini.
21. Aqidah fi at-Tauhīd atau ‘Aqidah ahl al-Islām. Kitab teologis ini ditahqiq oleh Abdurahman Hasan Mahmud dan diterbitkan oleh Maktabah ‘Ālam al-Fikr Cairo. Materinya sendiri terutama membahas tentang masalah-masalah keyakinan meliputi apa yang wajib diyakini, bagimana cara kita meyakini (iman) yang baik dan benar, juga apa saja hal-hal yang dapat merusak iman.
22. al-Anwār fīma Yamnahu Sāhib al-Khalwah min Asrār li Ibn ‘Arabi. Tulisan Syaikh yang Besar ini ditahqiq oleh penahqiq yang sama dengan yang sebelumnya Abdurahman Hasan Mahmud dan diterbitkan oleh Maktabah ‘Alam al-Fikr Cairo Mesir.
23.  Tafsīr al-Qu’ran al-Karīm, terdiri dari dua jilid. Tafsir ini menggambarkan epistemologi Ibnu ‘Arabi dalam cara memahami kalam Tuhan. Metoda penafsiran yang ia munculkan berbeda dengan metoda yang dipergunakan oleh mufassir lainnya. Pola penafsiran yang ia pergunakan dalam memahami al-Qur’an merupakan  rintisan awal bagi munculnya tafsir-tafsir yang kemudian disebut tafsir sufistik. Tafsir sufistik atau disebut juga tafsir isyari sufi merupakan pengembangan dari pemaknaan al-Qur’an yang bersifat esoteris. Pemaknaan kalam Tuhan secara esoteris hanya dapat diketahui oleh orang-orang yang suci hatinya. Proses pensucian hati dimaksud  caranya adalah dengan melaksanakan wajibat secara sempurna, mendawamkan nāfilat secara baik dan melaksanakan riyadah secara istiqamah. Dan itulah langkah-langkah yang dilakukan oleh para sufi. Tafsir Ibnu ‘Arabi inilah  yang merupakan obyek kajian penulis untuk mengungkap bagaimana sebenarnya epistemologi Ibnu ‘Arabi dalam memahami kalam Tuhan. Karena penafsiran Ibnu ‘Arabi tidak hanya ia tuangkan dalam karya tafsirnya ini, maka karya lainnya terutama al-Futūhāt al-Makkiyyah, penulis teliti sebagai bahan kajian primer juga. Dan sekali-kali penafsiran beliau dalam Fusūs al-Hikam juga akan diangkat sebagai data sekunder. Sehingga dengan bersumberkan tiga  karya primer Ibnu ‘Arabi  tadi penulis berharap dapat menggambarkan  karakteristik penafsiran Ibnu ‘Arabi dalam cara memahami kalam Tuhan.
24.      Karya-karya Ibnu ‘Arabi yang lainnya yang telah dipublikasikan  oleh Maktabah ‘Alam al-Fikr Cairo misalnya Istilāhāt as-Sūfiyyah, al-Fanā fi al-Musyāhadah, al-Yaqīn, al-Isfār fi Natāij al-Asfār, Taflīsu Iblis, al-Qasam al-Ilāhi bi al-Ism ar-Rabbānī, Insyā ad-Dawāir, at-Tadbîrāt al-IIāhiyyāt, Mawāqi’ an-Nujūm, al-Ba, al-Ya, al-Alif, al-Jallālah, Ayyam as-Sya’ni, Min Ushūl al-Fiqh dan al-Isyrāf fī al-Maqām al-Asrā.
25.      Di antara karya-karya Ibnu ‘Arabi yang belum dipublikasikan, menurut Muhammad Ibrahim Muhammad Salim, antara lain adalah Kitab “at-Tauqī’āt”.  Kitab  ini merupakan kumpulan risalah-risalah Ibnu ‘Arabi. Karya yang lainnya adalah kitab Syuzūn al-Masjūn. Kitab ini merupakan kitab yang unik yang  mengulas secara mendalam tentang rahasia-rahasia  segala ciptaan dan mengupas pula tentang ilmu pengetahuan yang konvensional. Kedua manuskrip ini, menurut Muhammad Ibrahim Muhammad Salim, dapat dilihat di Perpustakaan “Dār al-Kutub al-Misriyyah”.[48]
            Pendekatan penulisan karya-karya Ibnu ‘Arabi, khususnya kitab al-Futūhāt al-Makkiyyah,  seperti pengakuannya sendiri, memang berbeda dengan pendekatan yang dipakai oleh penulis sufi yang lain. Ia merupakan ketersingkapan (kasfy) dan didikktekan langsung oleh Tuhan. Menyangkut pendekatan termaksud Ibnu ‘Arabi menyatakan: Kitab ini bukanlah sebuah ‘ruang’ bagi apa yang diperoleh melalui pembuktian dari kekuatan-kekuatan replektif, tapi ‘ruang’ bagi apa yang diberikan oleh Tuhan melalui ketersingkapan.[49]            Masih dalam masalah yang sama ia mengatakan: Kitab ini tidak berbicara tentang persoalan-persoalan yang bersifat konsideratif dan reflektif. Subyeknya hanyalah ilmu-ilmu yang diperoleh melalui ketersingkapan yang diberikan oleh Tuhan.[50] Bahkan ia mengaku semua kitab yang ia susun menggunakan pendekatan yang sama dengan kitab al-Futūhāt. Secara terbuka ia menyatakan:
            Kitab-kitab yang kami susun –kitab ini maupun kitab-kitab yang lain—tidak mengikuti alur penyusunan biasa, ataupun sistematika yang diterapkan oleh umumnya pengarang .. Hatiku merapat pada pintu Kehadiran Tuhan, menantikan dengan penuh harap apa yang akan hadir ketika pintu terbuka. Hatiku miskin dan membutuhkan, tanpa ilmu … Ketika sesuatu menampakkan diri pada hati dari balik tabir, hati segera tunduk dan menjadi tenang dan terikat pada larangan.[51]

Berkaitan dengan kualitas karya-karya intelektual Ibnu ‘Arabi, Syaikh Muhyiddin Fairuzzabadi, penulis kitab al-Qamus, pernah ditanya, apakah baik membaca karangan-karangan Ibnu ‘Arabi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut,  Syaikh Fairuzzabadi  secara khusus menulis sebuah buku dengan judul al-Ightibāt fi Muwālayah Ibni al-Khayyaţ  yang isinya, sebagai yang dikutip Abu Bakar Atjeh, antara lain sebagai berikut:
Adapun Syaikh yang maha besar itu ( Ibnu ‘Arabi) dengan tidak ragu-ragu adalah seorang ulama yang berjalan di atas jalan Allah. Ilmu dan hasil karyanya menunjukan bahwa ia seorang mukmin yang mengadakan sungguh-sungguh penyelidikan terhadap masalah-masalah hakekat yang nyata, pelik, berbagai hikmah mengenai ibadah-ibadah secara mendalam. Buah tangannya dan usaha-usahanya merupakan hasil ciptaan yang gilang gemilang, merupakan lautan ilmu pengetahuan yang luas, yang di dalamnya penuh mutiara-mutiara yang kilau kilauan dan indah permai untuk diketahui. Rupanya Tuhan telah memperuntukan kurnia ilham kepada hambanya yang semacam itu untuk dipergunakannya.[52]

Selanjutnya Syaikh Fairuzzabadi menulis; Di antara keistimewaan Ibnu ‘Arabi ialah bahwa jika ada orang yang membaca dan menela’ah kitab-kitabnya pasti jiwa orang itu bertambah besar, pasti ia dapat mengatasi persoalan-persoalan yang pelik yang harus dipecahkannya. Hal semacam itu tidak mungkin dijumpai kecuali oleh orang-orang yang dianugrahi rahmat atau karunia ilmu yang langsung dari pada-Nya, sehingga ia peroleh kasyaf dan terbuka matanya dari ketertutupan hijab. Ia telah menulis tidak kurang dari empat ratus kitab, di antaranya ialah Tafsir al-Qur’an al-Karīm. Dengan tidak ragu-ragu dapat kita katakan bahwa ia adalah seorang wali dan seorang siddiq.
Dalam rangka membela Ibnu ‘Arabi dari serangan musuh-musuhnya, Fairuzzabadi kemudian menulis;  Banyak orang-orang mencoba mengujinya. Saya fikir, demikian Fairuzzabadi berkata, bahwa kebodohan ini akan membawa orang itu kepada sikap menuduh Ibnu ‘Arabi munafiq, yang tidak layak diucapkan untuk tokoh agung ini, hanya karena kurang perhatian dan pengertian  tentang kepribadiannya, dan hanya karena tidak dapat memahami kata-kata mutiara yang diucapkannya. Orang semacam ini belum beruntung, belum dapat mengenyam buah fikiran Ibnu ‘Arabi karena kesempitan dadanya.[53] Semoga Allah menambah manfa’at terhadap karya-karya ilmiah Ibnu ‘Arabi untuk pencerahan intelektual dan spiritual manusia moderen dewasa ini.


[1]        Abu al-‘Ala ‘Afifi, dalam pengantar kitab Fusūs al-Hikam karya Ibnu ‘Arabi, Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, tth, hal. 5. Muhammad Ibrahim Muhammad Salim, Takyîd as-Sûfiyyah, fī al-Majmū’ah al-Hātimiyyah, (Mesir : Maţba’ah Hamadah al-Hādisiyyah, 1997), hal 10.  Baca pula Tafsīr al-Qur’an al-Karīm karya yang dinisbahkan kepada Ibnu ‘Arabi, juz I,  hal. 1. Dalam pengantar Kitab Tafsīr al-Qur’an al-Karīm,  tertulis bahwa Ibnu ‘Arabi  dilahirkan  pada tanggal 17 Ramdhan 560 H. bertepatan  dengan 28 Juli tahun 1165 M. Di Barat ia disebut Ibnul ‘Arabi. Sementara di dunia timur ia disebut Ibnu ‘Arabi (tanpa al), untuk membedakan  antara Muhyiddin dengan Abu Bakar bin al-‘Arabi. Lihat: Dāirāt al-Ma’ārif, karya al-Bustāni, Juz I, hal 599.  Nafhat at-Tāib, karya al-Muqri, juz II, 175. al-Bidāyah wa an-Nihāyah, karya Ibnu Kasir,  juz 13, hal. 156. Tetapi anehnya  dalam beberapa sumber, ketika menyebut Ibnu Arabi secara lengkap, ia adalah Abu Bakar Muhyiddin bin ‘Arabi, Muhammad bin Muhammad  bin Ahmad bin Abdillah  at-Ţāi, al-Hātimi al-Andalusī, as-Sûfi. Lihat! Muhammad Ibrahim Abdurrahman, Manhaj al-Fakhr ar-Rāzi baina Manāhiji  mu’āsirihi, (Madinah an-Nasr: As-
Sadr li hidmat at-Tibā’ah, 1989), hal. 44. Pengantar Tafir al-Qur’an al-Karīm karya Ibnu ‘Arabi, hal 7. Husain az-Zahabi, at-Tafsîr  wa  al-Mufasirūn, juz II, hal 340. 
[2]     Michel Chodkiewicz, Seal of the Saints Prophetood  and Sainthood  in the Doctrine of Ibn Arabi, tr. Dwi Surya Atmaja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hal. 12. 
[3]     Kautsar Azhari Noer, Ibnu Al-‘Arabi (Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan), (Jakarta: Paramadina, tahun 1995,  hal 18).  (Imam Syamsuddin bin Musaddad menerangkan bahwa Ibnu ‘Arabi  adalah seorang anak yang cerdas, teliti, banyak mengetahui ilmu pengetahuan dalam segala bidang, cepat menangkap sesuatu dengan pikirannya, termasuk anak termaju  dan terpintar  dalam negrinya. Di antara gurunya ialah Ibnu Zarqum, Ibnu al-Jaddi  dan Abd. Al- Walid al-Hadrāmī. Di Magrib ia berguru pada Muhammad bin Abdillah, pernah juga bertemu dan berguru kepada  Abu Muhammad Abd al-Mun’im bin Muhammad al-Khazrajī.
[4]   Ibnu ‘Arabi mula-mula belajar al-Qur’an pada  Abu Bakar  bin Khalaf dan ketika usia tujuh tahun ia sudah berkenalan dengan kitab al-Kāfi. Ia banyak meriwayatkan hadis  dari Abdul Hasan bin Muhammad bin Syuraih ar-Rāi’ni melalui  ayahnya. Kitab ini dibaca, dan dipelajari    dengan dipandu seorang ulama besar Ali Qasim asy-Syarrāt al-Qurtubi di Seville. Ibnu ‘Arabi mempelajari  kitab  “at-Taisīr li al-Ladduni” dari Ali Abu Bakar Muhammad bin Abu Jumrah. Lalu ia pun berguru kepada  Ibnu Zarqum Abu  Muhammad Abdul Haq al-Isybilī al-Azdī. Ibnu ‘Arabi pernah juga mengikuti pelajaran hadis dari Abdul Qasim al-Khazrani dan ulama-ulama lain, serta khusus mempelajari kitab Sahih Muslim pada Syaikh Abdul Hasan bin Nasr pada bulan Sawal tahun 606 H. Banyak ulama-ulama yang memberikan ijazah kepadanya, diantaranya Hāfiz as-Salafi, Ibnu Asākir dan Abu al-Faraj ibn al-Jauzī.
[5]     Kautsar Azhari Noer, Wahdat al-Wujud,  hal. 18.  Futûhāt al-Makiyyah,  Jilid 2. hal. 425.
[6]     Ibnu ‘Arabi, al-Futūhāt al-Makiyyah  juz II, 436. Keseriusannya dalam tasawuf, ia menghasilkan tulisan-tulisan mendalam dalam bidang tasawuf antara lain kitab “al-Jāmi wa at-Tafsîl Haqāiq at-Tanzîl”, kitab al-Juzwah al-Muqtabisah wa al-Khatarāt al-Muqtalisah, kitab Kasyf  al-Makna  fi Tafsîr al-Asmā al-Husnā, Kitab Ma’ārif al-Ilāhiyyah dan lain-lain.
[7]    Bedakan  Ibnu ‘Arabi  dari  Ibnul ‘Arabi (468-543 H.),  yang disebut pertama adalah penulis al-Futūhāt al-Makkiyyah sementara  yang disebut kedua adalah Abu Bakar bin al-‘Arabi. Nama lengkapnya adalah al-Imam al-‘Allāmah al-Faqih Muhammad bin Abdillah  al-Ma’afiri al-Andalusi al-Isbili yang dikenal dengan sebutan Ibnul ‘Arabi al-Maliki. Ia menulis tafsir corak fikih  dalam mazhab Maliki,  “Ahkām al-Qur’an”. Karya yang lainnya dalam bidang tafsir adalah “al-Qānūn fi Tafsir al-Qur’an  al-‘Aziz”. Ia selain ahli dalam bidang tafsir, juga ahli dalam bidang hadis, fikih dan usul al-Fiqh.

[8]     Ibnu ‘Arabi, al-Futūhāt,  juz II, hal. 23.
9     Ibnu ‘Arabi, al-Futūhāt al-Makiyyah, III, 311.


10    Ibnu ‘Arabi, al-Futūhāt, IV, 638.
[11]    Ibnu ‘Arabi, al-Futūhāt, IV, 648.
[12]    Ibnu  Arabi, al-Futūhāt, I, 289. 
[13]   Ibnu ‘Arabi, al-Futūhāt, II, 559.  

[14]    Ibnu ‘Arabi, al-Futūhāt, III,  573..
[15]    Muhammad Ibrahim Muhammad Salim, Ta’yîd as-Sūfiyyah fi al-Majmū’ah  al-Hātimiyyah, Matba’ah    Hamadah al-Hādisah, tth. hal. 12. 
Kautsar Azhari Noor,  Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan,  hal 21. Lihat  pula H. Corbin, Creative Imagination in The Sufism of Ibnu ‘Arabi, diterjemahkan oleh R. Manheim (Priceton: Priceton University Press, 1969), hal 52-53.


[16]  Kautsar Azhari Noer, Wahdat al-Wujud, hal 89
[17]  Ibnu ‘Arabi, al-Futūhāt  al-Makiyyah, juz I, hal.  47- 48.

[18] Kautsar Azhari Noer, Wahdat al-Wujud,  hal. 22.
[19] Ibnu ‘Arabi, Tafsīr al-Qur’an al-Karîm, juz I, hal,  6.
[20]    Ibnu ‘Arabi, al-Futûhāt,  I, hal. 9. 
[21]    Ibnu ‘Arabi,  al-Futūhāt, juz I, hal. 9.
[22] Ibrahim Muhammad Salim, Ta’yīd as-Sūfiyyah fi Majmu’at al-Hatimiyyah, Beirut:  Maj’ma’ah al-Hadisah, tth,  hal. 30.
[23]  Yang dimaksud adalah bahwa Ibnu ‘Arabi mendapat ilmu ladunni . Ilmu ladunni ini, beliau peroleh setelah beliau melakukan riyādoh. Makanya ia berkata,   riyadohlah sebelum khalwat.
[24]    Muhammad Salim, Ta’yîd as-Sūfiyyah fi al-Majmū’āt al-Hātimiyyah, hal 32. 

[25] Tidak ada keterangan siapa Syaikh  Mursyid yang Ibnu ‘Arabi maksudkan. Kemungkinan adalah salah seorang mursyid dalam tarekat Qādiriyah, karena memang ada keterangan yang menyatakan bahwa tarekat yang menjadi pegangan keluarga Ibnu ‘Arabi adalah Qadiriyyah.
[26]    Ibrahim M Salim, Ta’yīd as-Sūfiyyah,   hal. 33.
[27]    Ibrahim M Salim, Ta’yīd as-Sūfiyyah,   hal. 33.
[28]    Ibrahim M Salim,  Ta’yîd as-Sûfiyyah,  hal. 34. 
[29]   Ibnu ‘Arabi, al-Futūhāt, juz. IV.  bab 558, hal. 197.
[30]    Kata “hāl, yang jama’nya “ahwāl”, menurut Ibnu Arabi adalah sesuatu yang datang ke dalam hati tanpa usaha dan kasb.  Dikatakan: Hāl dapat merubah sifat-sifat orang yang bersangkutan. Dan memang ahwāl, jama dari lafaz  hāl merupakan perolehan bukan hasil dari usaha. Sedangkan “maqām” adalah sesuatu yang diperoleh karena usaha. Maqamat secara terminologis adalah terpenuhinya hak-hak yang riel secara syara' dengan sempurna. Jika seorang salik melakukan mu'amalat, mujahadat, riyādoh sesuai dengan aturan syara’  secara sempurna dan optimal maka pada suatu waktu pelakunya akan sampai pada maqam tertentu dan disebutlah ia sebagai pemilik maqam. Adapun yang dimaksud tajalli, menurut Ibnu Arabi, adalah  sesuatu yang terbuka bagi hati-hati orang-orang tertentu berupa cahaya kegaiban. Keterbukaan dimaksud berbeda-beda; Di antaranya ada yang berkaitan dengan cahaya makna yang terbebas dari materi makrifat dan asrâr (rahasia). Di antaranya ada yang berkaitan dengan cahaya di atas cahaya. Di antaranya ada yang berkaitan dengan cahaya  ruh-ruh yaitu malaikat. Di antaranya ada yang berkaitan dengan cahaya angin, cahaya tabi’at, cahaya nama-nama  dan yang lainnya. Masing-masing cahaya termaksud jika terbit dari ufuk dan sesuai dengan mata hati yang selamat dari kebutaan, dan penyakit-penyakit hati yang lainnya maka dibukalah dengan semua cahaya itu apa yang terbuka kepadanya. Lalu karenannya ia dapat menentukan substansi setiap makna, ia dapat menentukan kaitan  makna-makna tadi dengan gambaran lapaz-lapaz dan kalimat-kalimat yang menunjukan atasnya. Yang dimaksud manzil dan munazzalah adalah dua eksistensi yang terbuka bagi keduanya susunan yang khas mengenai turunnya rahasia-rahasia  dan tempat-tempat turunnya bagi orang ‘arif. (Lihat: al-Futūhāt,  juz II, hal. 576  ). Lihat pula Mun’im al-Haqqāni,  kitab al-Mu’jam as-Sûfi, (Cairo: Dār ar-Rasyād, tahun 1997), hal. 413.
[31]    Muhammad Ibrahim, Ta’yîd as-Sûfiyyah,  hal. 44.
[32]    Muhammad Ibrahim, Ta’yid as-Sūfiyyah,  hal. 44.  
[33]   Ibnu ‘Arabi,  Fusūs al-Hikam, hal. 225.
[34]    Muhammad Ibrahim, Ta’yīd as-Sūfiyyah, hal.  47.
[35] Goldziher, Mazāhib at-Tafsīr, hal. 264.

[36] Ibnu ‘Arabi, Fusūs al-Hikam, I, hal. 17.
[37]    Muhammad Ibrahim, Ta’yid as-Sūfiyyah,  hal. 90.
[38]    Lihat. AE. Afifi, Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi, Judul Asli, Mistical Philosopy of Muhyiddin Ibnu Arabi, tr. Syahriri Mawi dan Nandi Rahman, (Jakarta: Gaya Media Pratama, th. 1995), hal. 3.

[39] Lihat. AE. Afifi, Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi, Judul Asli, Mistical Philosopy of Muhyiddin Ibnu Arabi, tr. Syahriri Mawi dan Nandi Rahman, (Jakarta: Gaya Media Pratama, th. 1995), hal. 3
[40]    Kautsar Azhari, Wahdat al-Wujud, hal. 25.
[41]    Ibnu ‘Arabi,  Fusūs al-Hikam, (Cairo: al-Maktabah al-Azhariyyah li at-Turaś, 1997), hal, 11.
[42]    Kautsar Azhari, Wahdat al-Wujud,  hal. 28.
[43]  Di antara para pensyarah  kitab Fusūs al-Hikam  adalah Sadr ad-Din al-Qunawi,  Muayyid ad-Din al-Junadi, al-Jāmi, Sa’ad ad-Din al-Fargani, Dawud al-Qusaeri, al-Qasāni, Abdullah Busnawi, Bali Afandi Sufyah, Qurah Basya Wali,  al-Imam an-Nabilasi, Sadruddin Barkah,  Ruknuddin as-Sirazi, Afif ad-Din at-Tilmasi, Kamal ad-Din az-Zamlakani, Bir Ali al-Hindi, Bayazid ar-Rūmī, Muzaffar ad-Din as-Syirazi, Mahmud Wadadi. Khawzah Yarasa, Sayyid Ali al-Hamdani, Muhammad bin Ali al-Qādi,  Mustafa Maknawi Afandi, Amir Ali, Zia ad-Dîn al-Isfahani, Muhammad bin Muslih at-Tibrizi, Muhammad Qutb ad-Din az-Zanbiqi. Baca! al-Abādilah, hal. 8.
[44]    Lihat! Kitab Misykāt al-Anwār fîma ruwiya ‘an Allah subhanahu min al-Akhbar. (Mesir : Maktabah Al-Qahirah, 1999), hal. 3.
[45]    Ibnu ‘Arabi, al-Abādilah,  hal. 42.
[46]   Ibnu ‘Arabi, al-Risālah al-Wujūdiyyah, (Cairo: Maktabah al-Qāhirah, tth.), hal. 13.
[47]    Kautsar Azhari. Wahdat al Wujud,  hal. 28. Lihat dalam catatan kakinya, Ibnu ‘Arabi, L’Arbre du Monde, diterjemahkan oleh M Gloton (Paris: Les Deux Oceans, 1982).
[48]    Muhammad Ibrahim Muhammad Salim, Ta’yīd as-Sûfiyyah fi al-Majmū’at al-Hātimiyyah  (Maţba’ah al-Hādisah, 1997), hal. 91.
[49] Ibnu ‘Arabi, al-Futūhāt, juz II, 389.
[50] Ibnu ‘Arabi, al-Futūhāt, juz II, hal. 389.
[51] Ibnu ‘Arabi, al-Futūhāt,  juz I, hal. 59.
[52]  Abu Bakar Atjeh, Wasiat Ibnu ‘Arabi, Kupasan Hakikat dan Ma’rifat dalam Tasawuf Islam,  (Jakarta: Lembaga Penyelidikan Islam, 1976), hal. 15.
[53]   Abu Bakar Atjeh, Wasiat Ibnu ‘Arabi, hal. 15.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar